Sejarah Singkat Partisipasi Individu dalam Masyarakat
Sebelum kita dapat mendisikusikan tentang sebuah bentuk demokrasi,
yang benar-benar memberikan kesempatan untuk semua anggota masyarakat terlibat
di dalamnya dan kemudian juga sekaligus menegakkannya, paling tidak kita
mencoba memahami bagaimana partisipasi anggota masyarakat berkembang hingga
sekarang.
Demokrasi dikatakan Abraham Lincoln: "Pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat." Pernyataan ini memang sangat terbuka,
dalam arti orang bisa terjebak dalam perdebatan untuk mengartikan siapa itu
rakyat. Ataupun, justru kalimat ini menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam
kenyataannya, pada saat Lincoln mengatakan hal itu, demokrasi tak lebih sebuah
klaim atas keseluruhan masyarakat. Sementara Lincoln mempromosikan emansipasi
kaum kulit hitam, ia sendiri adalah wakil dari elemen masyarakat yang memiliki
kendali atas alat-alat pemenuhan hajat hidup mayoritas rakyat (pabrik-pabrik
dan perkebunan). Apakah para budak kulit hitam yang "diemansipasikan"
kemudian memiliki kendali atas pabrik-pabrik? Apakah para buruh pada saat itu
memiliki hak yang sama dengan para manajer dan pemilik saham dalam menentukan
kerja di dalam sebuah pabrik?
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus
diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan
hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya
adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.
Demokrasi
Yunani, Demokrasi Para Pemilik Budak
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola
pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata
demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan).
Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya
adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang
kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti
inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang
bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik
dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk
seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka
ataupun menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan
penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun,
harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya
untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka
menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada
penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah
perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan
prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani )
bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya, tapi sebenarnya terbelah didalam
dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Pada awalnya wargakota yang miskin (mereka
disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak
politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih
posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan
demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota
yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang
ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai
diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada
Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga
negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan
budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena
orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk
warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota:
yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena
sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan
kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan
kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara
berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja
kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat
dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini menyebabkan
para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian
berkembang.
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa
demokrasi model Yunani, demokrasi bagi minoritas untuk menundukkan mayoritas
bukanlah demokrasi yang sejati.
Kekuasaan
Tirani
Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian
terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena
penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan
sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat
memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, ketika kita melihat sebuah tirani kita hanya terfokus
pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama
berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari
sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan
terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius
Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng
merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat.
Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi
apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para
legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak
terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun
memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas
dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan
pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan
pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik
colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka
akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.
Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar
belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala
tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para
bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan
pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan,
apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Jelas bukan, mereka adalah
justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air
mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik
(perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan
ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari
minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.
Ketika Soeharto berkuasa, apakah Soeharto sendirian dalam merebut
kepresidenan dari Soekarno? Jangan lupakan peranan Nasution dan jendral-jendral
lainnya yang merebut kursi kepemimpinan MPRS! Jangan lupakan “jasa” para
komandan-komandan wilayah militer yang melancarkan jalan Soeharto dengan
membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI serta memenjarakan jutaan
lainnya!
Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi
demokratis? Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas
masyarakat yang menginginkan hak-hak khusus dan kekayaan pribadi. Seorang tiran
dapat muncul dan pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas
masyarakat yang ingin memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas
mayoritas masyarakat, maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis.
Kekuasaan tirani adalah wujud kasar kekuasaan minoritas di atas mayoritas.
Kritik
atas Demokrasi Liberal dan Demokrasi Indonesia Sekarang
Ketika kita mendengar kata demokrasi, sebagian besar kita
akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Dan ini juga tampaknya
menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada di pemilu dan
parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan parlemen. Tak
heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun represi rejim Soeharto,
maka gegap gempita rakyat menyambutnya. Saat itulah rakyat bisa ikut campur ke
dalam DPR melalui partai-partai yang bisa menawarkan janji perbaikan hidup.
Terlepas dari adanya maksud-maksud dalam pendanaan kemeriahan tersebut, gegap
gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu bukanlah sesuatu yang berdasar hanya
pada bayaran. Lebih jauh daripada itu, itulah ekspresi kebebasan mereka setelah
dalam kehidupan normal mereka selalu diwarnai oleh represi militeristik dari
institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde Baru.
Namun ketika kita pertanyakan: Apakah Rejim Orde Baru demokratis?
Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu
bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi.
Seorang demokrat liberal akan berteriak, “Tapi itu karena adanya Orde Baru!”
Kenyataan
Lemahnya Kontrol Rakyat
Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat, pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai
pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai
politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos
kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kampanye, partai-partai lama
berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan
membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat Indonesia begitu percaya
bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan
menguntungkan rakyat.
Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang
membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat.
Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki
kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR
1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk
kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan
kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum
penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.
Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme,
hal yang berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi.
Kebijakan-kebijakan peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan
untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara
liberal. Dan justru kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga
perwakilan rakyat mereka.
Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum
yang berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah
sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para
bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis
(pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I,
mendirikan Republik Inggris, dan di dalamnya sebuah sistem parlemen yang
anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di
revolusi Perancis, meski dengan intervensi rakyat pekerja yang lebih besar.
Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual,
pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang
sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan isi parlemen
seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama demokrasi.
Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh
pemilu sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi
dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap
mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah
lemah.
Pemerintah
dan Masyarakat
Ketika
desakan untuk terlibat dalam politik dari kaum pekerja Eropa terhadap para
penguasa negeri-negeri mereka semakin mendekati garis revolusi, hak untuk ikut
memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan
berorganisasi diberikan. Ilusi yang ingin dibuat adalah rakyat berperan dalam
penentuan kebijakan negara. Bahkan dalam abad 20 ini, seorang buruh ataupun
petanipun dapat masuk ke dalam parlemen. Partai-partai buruh diperbolehkan untuk
ikut pemilu dan masuk parlemen. Lalu apakah kemudian ini sudah demokratis?
Contoh
Indonesia dapat menjelaskan hubungan pemilu, parlemen, dan pemerintah. Tanggal
20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menjadi kepala pemerintahan. Di parlemen,
kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis, baik yang asli ataupun yang
gadungan. Namun, apakah negara Indonesia saat ini akan tunduk kepada mayoritas
rakyatnya? Meskipun rakyat kemudian bisa masuk ke dalam parlemen, selama
birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat menjadi dagelan
populisme belaka. Kabinet di masa tahun 1950an datang dan berganti, anggota
parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan
bersenjata, kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan pemda-pemda
menjadi demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak.
Mereka memang diisolasikan dari awal dari pengaruh pemilu dan intervensi
konstitusional masyarakat lainnya. Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi
seperti pemilihan kepala desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada
camat dan bupati yang semuanya dididik oleh pendidikan birokrat dan selalu
menjadi birokrat, pelaksana negara yang tidak dikontrol langsung oleh
masyarakat yang ia perintah.
Ketika kita amati metode rekrutmen pegawai negeri, contohnya, kita
lihat untuk menjadi pegawai yunior dalam sebuah kementrian, harus melalui
sebuah ujian. Aturan ini tampaknya sangat demokratik. Tetapi, tidak semua orang
dapat mengikuti ujian apapun untuk tingkat manapun. Ujian untuk menjadi pegawai
yunior sebuah biro kecil pemerintahan tidak sama dengan ujian untuk posisi
sekretaris jendral sebuah kementrian atau kepala staf tentara. Selintas, ini
juga kelihatan normal-normal saja.
Tapi, sebuah tapi yang besar, ujian-ujian ini memiliki
tingkat-tingkat yang memberikan ujian-ujian tersebut sifat selektif. Anda harus
punya gelar tertentu, anda harus sudah mengambil kursus-kursus tertentu, untuk
dapat mengambil posisi-posisi tertentu, khususnya posisi-posisi penting. Sistem
seperti itu akan menyisihkan sejumlah
besar orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi ataupun
setingkatnya, karena kesempatan yang sama untuk pendidikan sebenarnya tidak
ada. Kalaupun ujian pegawai negeri terlihat demokratis di permukaan, ia juga
sebuah instrumen yang selektif yang hanya akan menerima orang-orang yang tunduk
kepada penguasa atau berasal dari kaum penguasa itu sendiri.
Setelah kita lihat awal dan hasil dari parlemen dan pemilu,
dapatlah terlihat dengan nyata di hadapan kita: Tak satupun negara demokrasi
liberal ataupun liberal malu-malu seperti Indonesia yang demokratis, tunduk
kepada kehendak mayoritas masyarakat. Negara-negara tersebut justru kemudian
menjadi alat pemaksa kehendak minoritas terhadap mayoritas.
Penindasan
oleh Si Kuat atas Si Lemah
Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan
politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh
lebih dalam, ke dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya
demokrasi liberal, bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru
terletak di pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar,
keluarga-keluarga dalam masyarakat kita.
Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan anggota-anggota
masyarakat sebagai sebuah kesatuan dalam memperoleh kebutuhan sehari-harinya.
Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi, dengan kata lain
urusan perut. Tetapi ini tidak sesempit urusan perut belaka, justru
hubungan-hubungan yang terjadi antar manusia dalam memenuhi urusan perut itulah
yang mendirikan masyarakat.
Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap
mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar,
dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya. Di dalam sebuah perusahaan, yang
menentukan saat bekerja, saat istirahat, saat berlibur, perencanaan produksi,
perencanaan penjualan, dan yang paling penting pembagian upah, adalah pemilik
perusahaan yang pada prinsipnya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh.
Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara)
ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya dalam
keadaan gelombang pemogokkan besar-besaran. Namun begitu posisi buruh melemah,
maka para pimpinan perusahaan (tentu saja mereka adalah para pemilik modal)
langsung mencabut konsesi tersebut dan mengkonsumsi seluruh keuntungan yang
diperoleh perusahaan. Padahal, seluruh keuntungan itu tak akan ada tanpa adanya
kerja kaum buruh.
Demokrasi
Kerakyatan
Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa manusia ke dalam
kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar
manusiawi?
Pertama, demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala
pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus menjadi
alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak
lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan
dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di
dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara
dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus
kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua
anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan
berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat
negara.
Kedua, demokrasi ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati
mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan
atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi
penghargaan berlebihan terhadap kerja mental dan kerja manual, tetapi
menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah
melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan
sebagai satu kesatuan (kolektif).
Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi
itu sendiri, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat.
Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu
argumen dengan mayoritas lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan
tanggung jawab menjalankan keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat
yang mereka lakukan boleh mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam
proses pengambilan keputusan berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang
benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak
hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses
keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus
dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan
sebagai Demokrasi Kerakyatan.
Partisipasi
Semua Individu
Dalam mewujudkan dirinya,
demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap
individu. Siapapun yang ingin memastikan terjadinya demokrasi kerakyatan harus
memastikan adanya kesempatan dan kemauan untuk setiap individu berpartisipasi
aktif. Karenanya, negara yang melandaskan dirinya kepada demokrasi kerakyatan
haruslah memiliki ciri sebagai berikut.
Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif
dan legislatif. Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum
sekaligus menegakkannya. Singkatnya, masyarakat di setiap tempat kehidupan
mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus
menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan
terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan
nyata, yang semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian,
pemerintahan daerah, dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada
dewan-dewan (parlemen). Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal.
Tidak akan cukup hanya mengganti musyawarah semu dengan musyawarah yang lain,
jika tidak satupun yang berubah mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini
haruslah memiliki kekuasaan eksekutif
Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat
setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat
tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga
dipilih. Tentu saja akan sangat mengejutkan untuk negara seperti Indonesia.
Tapi pada negara demokrasi liberal tertentu, AS, Swiss, Kanada, ataupun
Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah peran-peran publik.
Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan,
pemilihan pejabat publik harus juga dibarengi dengan hak untuk menarik kembali
pada semua kasus, misalnya menurunkan pejabat yang tidak memuaskan setiap saat.
Lalu, kendali permanen dan ketat atas penjalanan peran-peran negara
harus dilakukan, dan pemisahan antara yang menjalankan kekuasaan negara dan
masyarakat yang diatasnamakan dalam kekuasaan tersebut, dibuat sekecil mungkin.
Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara konstan dari
pejabat terpilih, untuk mencegah orang memegang jabatan secara permanen.
Penjalanan peran negara, dalam skala luas, harus dilakukan secara bergantian
oleh warga secara keseluruhan.
Lenyapnya
Diskriminasi dan Penghargaan Atas Kesetaraan Antar Manusia
Untuk menjamin dirinya tak lagi membiarkan penindasan yang kuat
terhadap yang lemah, dalam menjalankan prosesnya demokrasi kerakyatan harus
menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang
didasarkan kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap
pertama, negara harus melindungi kaum-kaum yang selama ini didiskriminasi oleh
sistem penindasan yang ada. Dan ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan
orang-orang cacat harus dilarang.
Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam proses penjalanan fungsi
negara. Tidak ada gaji yang sangat tinggi. Tak satupun pejabat, anggota dewan
perwakilan dan legislatif, individu yang menjalankan sebuah kekuasaan negara,
menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah
satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencegah orang dari mencari
jabatan sebagai cara untuk memperkaya diri dan menghisap dari masyarakat, dan
tentunya satu-satunya cara untuk menyingkirkan pemburu karir dan parasit yang
ada pada mesyarakat sebelumnya.
Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh
hukum saja, tetapi didorong oleh fasilitas-fasilitas negara. Untuk menjamin
arah kesetaraan ini, negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakannya kepada
penyediaan lapangan pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum
seperti sekolah, rumah sakit, dapur bersama, transportasi massal, binatu
swalayan, penitipan bayi, dan tempat-tempat rekreasi di setiap wilayah tinggal
yang dibangun dan kemudian dikelola bersama oleh masyarakat di wilayah
tersebut. Dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan
pendidikan.
Ketika kebutuhan pangannya terpenuhi, tak seorangpun akan terpaksa
menjajakan tenaganya kepada orang lain dan kesempatan untuk membeli tenaga
(mempekerjakan) orang lain akan relatif kecil. Namun ini juga harus diikuti
dengan kewajiban setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan,
maka tiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan
dan kerjanya di dalam masyarakat. Salah satu alat diskriminasi saat ini adalah
pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Kesempatan yang sama dalam
pendidikan juga akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi
dimonopoli oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi menjadi milik masyarakat dan
dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Mayoritas
Di Atas Minoritas
Hal yang paling prinsip dalam
menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat
kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh
anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang,
namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian
mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu
menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat
seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas
masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa
dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan
dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam
gedung parlemen.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas
rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak
dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara
saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah
diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan
parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari
kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam
perintah-perintah minoritas.
Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin,
selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas
mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja
pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui
permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.
Kesadaran
Masyarakat Baru, Kepentingan Bersama Di Atas Kepentingan Pribadi
Setiap anggota masyarakat saat ini bertindak dan berpikir
secara individual, hanya tentang diri mereka sendiri dan sebatas untuk diri
mereka sendiri. Ini disebabkan oleh kerja-kerja mereka dapat dilakukan secara
individu dan ketegangan yang sangat tinggi dari persaingan untuk bertahan
hidup. Konflik-konflik sosial yang horisontal selalu terjadi antara dua
kepentingan individual yang berbeda. Tapi harus dipahami juga, bahwa mayoritas
masyarakat masih sebenarnya bekerja dalam sebuah kekolektifan, yang sudah jauh
lebih modern dari kolektivitas “gotong royong”. Di dalam pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan
telah terbukti bahwa kerja-kerja dalam group (“teamwork”) baik dalam unit-unit
yang kecil maupun unit-unit yang besar mampu mendongkrak produktivitas. Tetapi
mereka masih direpresi dan dikecoh oleh ideologi-ideologi usang dan kolot seperti
demi kepentingan bangsa, kesatuan dan persatuan, kebajikan relijius, dan
beban-beban parasit masyarakat seperti hubungan keluarga tradisional pedesaan.
Namun, inilah landasan berdirinya Demokrasi Kerakyatan:
Kolektivisme untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Dari mulai urusan
pembersihan lingkungan sampai penyediaan taman kanak-kanak, dari kerja-kerja di
dalam pabrik-pabrik sampai berhubungan dengan dunia internasional.
Kolektivisme membuat semua orang menyerahkan segala
kemampuan mereka untuk masyarakat dan mendapatkan segala kebutuhan mereka dari
masyarakat. Demi kemajuan masyarakat, anggota-anggota masyarakat harus
menyumbangkan kerja-kerja sukarela yang diarahkan oleh negara untuk membangun
fasilitas-fasilitas umum yang akan mereka gunakan dan kelola bersama.
Kerja-kerja sukarela inilah yang nantinya merubah masyarakat dan memperdalam
kolektivisme tadi, sehingga posisi kepentingan bersama di atas kepentingan
individu bukan sekadar slogan tetapi juga kenyataan dan kesadaran masyarakat.
Dewan
Rakyat, pewujud Demokrasi Kerakyatan
Kita
telah bicara tentang bermacam-macam bentuk demokrasi, tentang perubahan
masyarakat, dan tentang demokrasi kerakyatan. Tapi bagaimana mewujudkannya? Apa
alatnya? Apakah kita bisa memakai struktur negara yang ada sekarang?
Untuk
menjawabnya kita harus membuka kepala kita, singkirkan semua
pemahaman-pemahaman kolot dan kuno tentang masyarakat dan negara, lihatlah
kenyataan di sekitar kita yang selalu diwarnai oleh penderitaan dan pemaksaan
kehendak, dan pikirkan logika yang ditawarkan oleh demokrasi kerakyatan.
Pertama,
perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat,
terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh minoritas penguasa negara
dan modal.
Kedua,
perubahan bentuk demokrasi ini adalah perubahan yang revolusioner sekaligus
evolusioner. Pada saat awal pertumbuhannya, proses pendidikannya kepada massa
rakyat, dan pengorganisasiannya akan berkembang secara evolusioner dalam
pertambahan jumlah massa aktif, terdidik dan terorganisasi. Namun di saat-saat
tertentu ia akan berlipat ganda seperti jamur di musim hujan, dan dengan
segera, bahkan terkesan dengan sangat mendadak, menjadi kekuatan yang dapat
menjadi alat mayoritas rakyat untuk mewujudkan demokrasi sesejati-sejatinya.
Perwakilan
dan Partisipasi
Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa
besar, ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam
proses permusyawaratan. Sama dengan demokrasi liberal, demokrasi kerakyatan
juga menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat
sebuah masyarakat. Namun perwakilan ini tidak boleh mengalahkan prinsip
partisipasi penuh dan aktif setiap anggota masyarakat dalam mengatur dan
mengarahkan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di dalam Demokrasi
Kerakyatan, permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan
terkecil adalah wujud dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap
anggota masyarakat terfasilitasi. Ini berbeda dengan konsep perwakilan
demokrasi liberal di mana demokrasi langsung lebih bermakna pemilihan dan
pemungutan suara tanpa permusyawaratan yang sebenarnya.
Para wakil-wakil rakyat dalam Demokrasi Kerakyatan adalah
orang-orang yang bertanggung jawab kepada massa di bawahnya, sehingga bila ia
tidak dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh yang memilihnya, ia bisa
setiap saat digantikan oleh masyarakat yang memilihnya.
Wakil-wakil masyarakat inilah yang menjalankan fungsi-fungsi negara,
terutama dalam mengkoordinasikan anggota-anggota masyarakat lainnya dalam
kerja-kerja sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota
masyarakat secara kolektif, yaitu kesamaan kebutuhan-kebutuhan secara individu.
Pengorganisasian masyarakat yang menggunakan permusyawaratan
langsung dan permusyawaratan perwakilan inilah adalah wujud negara dan
masyarakat yang kembali dipersatukan, keduanya menjadi tidak berbeda dengan
jelas. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara. Dan organisasi
para pelaksana fungsi-fungsi negara ini sesuai dengan konsep perwakilannya kita
namakan saja Dewan Rakyat.
Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat yang
ada sekarang. Ia harus dibangun di dalam masyarakat sekarang dan ditegakkan
oleh mayoritas masyarakat. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, ia harus
dibentuk dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, ia harus
bisa memasukkan massa yang lebih luas, dan ia bergerak sebagai alat perjuangan
mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang
sejati.
Kekuasaan
Legislatif sekaligus Eksekutif
Jaminan kedua atas sifat-sifat kerakyatan dan tetap berjalannya
fungsi-fungsi koordinasi masyarakat adalah digabungnya fungsi eksekutif dan
legislatif dalam Dewan Rakyat. Sekali lagi, masyarakat di setiap tempat
kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus
menjalankan kerja politik dan ekonomi.
Dalam setiap periode tertentu masyarakat mengadakan permusyawaratan,
baik yang langsung di setiap tempat (lokal) kehidupan masyarakat ataupun yang perwakilan
untuk mengkoordinasikan lokal-lokal dan regional-regional yang ada, untuk
mengevaluasi kerja-kerja dan keadaan obyektif yang telah terjadi untuk kemudian
merumuskan program kerja masyarakat ke depan: kebutuhan apa saja yang harus
dipenuhi, fasilitas apa saja yang harus dibangun, dan bagaimana keduanya harus
dijalankan.
Setelah perencanaan masyarakat ini tuntas, maka ia harus dijalankan
oleh setiap anggota masyarakat dengan pengawasan orang-orang yang dipilih, para
wakil-wakil masyarakat, untuk menjamin dijalankannya rencana bersama tersebut
dengan dengan ketepatan dan kedisiplinan. Tanpa adanya pengawasan sangat wajar
jika orang lupa menjalankan tugas-tugasnya sehingga program-program bersama
kemudian justru terbengkalai dan masyarakat juga yang merugi.
***
Dewan Rakyat dan Demokrasi Kerakyatan adalah satu hal yang tak dapat
dipisahkan, seperti tak bisa dipisahkannya teori dan praktek dalam kehidupan
sehari-hari kita. Adalah tugas kaum demokrat radikal untuk mengorganisasikan
massa rakyat untuk membangun dewan rakyat dan sekaligus mewujudkan demokrasi
sejati, demokrasi kerakyatan.
0 comments:
Post a Comment