Biografi Imam At-Tirmidzi
Written by : Budi Yahya Al-Qudsy
Nasab Beliau
Nama Imam al-Tirmidzi amat panjang, yakni Abu
Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Sulami al-Dharir
al-Bughi al-Tirmidzi.
Tahun dan Tempat Kelahiran
Beliau dilahirkan pada tahun 209 H di desa
Tirmidz, sebuah kota kuno yang terletak di
pinggiran sungai Jihon (Amoderia), sebelah utara Iran .
Sosok Imam At-Tirmidzi
Imam al-Tirmidzi merupakan figur yang cerdas,
tangkas, cepat hafal, zuhud, juga wara'. Sebagai bukti kerendahan pribadi,
beliau senantiasa mencucurkan air mata, sehingga kedua bola matanya memutih
yang berdampak kebutaan pada masa tuanya. Dengan adanya musibah kebutaan inilah
beliau juga disebut al-Dharir (yang buta).
Tentang sejak kapan terjadinya musibah kebutaan
kedua mata Imam al-Tirmidzi, banyak terjadi silang pendapat. Ada sebagian yang menyatakan beliau buta
sejak lahir, sementara ulama yang lain menyatakan ketika usianya mulai senja.
Tapi mayoritas ulama sepakat, beliau tidak buta sejak lahir, melainkan musibah
itu datang belakangan. Yusuf bin Ahmad al-Baghdadi menuturkan, “Abu Isa
mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir usianya.”
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmizi diakui oleh para ulama
keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai
seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti
kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh
al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin
Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi
berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya
telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru.
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia,
mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya
menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku.
Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang
mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya
untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia
membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri
pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada
tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah
engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa
yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku
pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah
engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya
meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan
empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib,
lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya
dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat
orang seperti engkau."
Pengembaraan Ilmiah
Sejak
usia dini, Tirmidzi sudah gemar mempelajari dan mengkaji berbagai disiplin ilmu
keislaman, baik fiqh maupun hadits. Dalam rangka mempelajari dan mengkaji
ilmu-ilmu inilah, beliau harus mengembara ke berbagai wilayah Islam. Tirmidzi
tercatat pernah mengembara ke Khurasan ,
Iraq , dan
Hijaz.
Dalam lawatannya itu, Tirmidzi banyak
mengunjungi ulama-ulama besar untuk mendengar hadits yang kemudian dihafal dan
dicatat untuk kemudian dikumpulkan dalam sebuah kitab yang tersusun secara
sistematis. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakan
secara efektif.
Guru-Guru Beliau
Selama perjalanan pengembaraannya, Imam
al-tirmidzi belajar dari banyak guru. Di antaranya: Ziyad bin Yahya al-Hassani
(wafat 254 H), Abbas bin Abd al-`Adhim al-Anbari (w 246), Abu Said al-Asyaj
Abdullah bin Said al-Kindi (w 257), Abu Hafsh Amr bin Ali al-Fallas (w 249),
Ya`qub bin Ibrahim al-Dauraqi (w 252), Muhammad bin Ma`mar al-Qoisi al-Bahrani
(w 256), dan Nashr bin Ali al-Jahdhami (w 250 H).
Imam-imam di atas, selain tercatat sebagai
guru-guru Imam al-Tirmidzi, juga tercatat sebagai guru Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai, dan Imam Ibn Majah. Dan hanya sembilan
guru inilah yang masing-masing menjadi guru Imam Hadits yang enam.
Selain berguru kepada imam di atas, Imam
al-Tirmidzi sebelumnya juga memiliki beberapa guru, antara lain; Abdullah bin
Muawiyah al-Jumahi (w 243), Ali bin Hujr al-Marwazi (w 244), Suwaid bin Nashr
bin Suwaih al-Marwazi (w 240), Qutaibah bin Said al-Tsaqafi Abu Raja (w 240),
Abu Mush`ab Ahmad bin Abi Bakr al-Zuhri al-Madani (w 242), Muhammad bin Abdul
al-Malik bin Abi al-Syawarib (w 244), Ibrahim bin Abdullah bin Hatim al-Harawi
(w 244), dan Ismail bin Musa al-Fazari al-Suddi (w 245). Tirmidzi juga belajar
kepada Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Dawud.
Murid-Murid Beliau
Karena kehebatannya dalam disiplin ilmu hadits,
tak pelak lagi, banyak orang yang ingin menyerap dan mengkaji kedalaman
pengetahuannya dengan menjadi muridnya. Mereka yang tercatat mengambil hadits
dari Imam al-Tirmidzi di antaranya: Makhul bin al Afdhal, Muhammad bin Mahmud
Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin muhammad al-Nafsiyyun, al-Haisam bin Kulaib
al-Syasyi, dan Ahmad bin Yusuf al-Nasafi. Dan yang terpenting adalah Abi
al-Abbas al-Mahbubi Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Marwazi (w 346) yang
meriwayatkan karya terbesar Imam al-Tirmidzi, Jami' al-Tirmidzi.
Namun demikian, ternyata ada sementara ulama
yang menganggap bahwa Imam al-Tirmidzi merupakan sosok yang tidak diketahui
asal-muasal dan jatidirinya (majhul al-hal), sehingga --secara otomatis--
periwayatannya ditolak begitu saja. Pandangan seperti inilah yang antara lain
dilontarkan
Statemen Kontroversial Imam Ibn Hazm
al-Dhahiri.
Statemen Ibn Hazm al-Dhahiri yang cukup
kontroversial dan bertolak belakang dengan pandangan mayoritas ulama ini telah
membuat geger, terutama di lingkungan ulama hadits. Bahkan Ibn Hazm banyak
mendapat kecaman, antara lain datang dari Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab
Tahdzib al-Tahdzib. Dalam kitab itu sikap Ibn Hazm al-Dhahiri dianggap sebagai
satu wujud kesombongan terhadap kedudukan para ulama yang telah masyur.
Imam al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I'tidal
fi Naqd al-Rijal, mengatakan, “Al-Tirmidzi adalah al-hafidh (ahli hadits) yang
kondang, penulis kitab al-Jami' terpercaya dan disepakati periwayatannya.”
Sedangkan pandangan Ibn Hazm al-Dhahiri tentang kemajhulan Tirmidzi disebabkan
ia tidak mengenal dan mengetahui pribadi Tirmidzi beserta hasil-hasil karyanya,
seperti al-Jami' dan al- Ilal.
Sementara itu, Ibn Katsir dalam karyanya
al-Bidayah wa al-Nihayah menuturkan, “Pandangan Ibn Hazm tentang kemajhulan
al-Tirmidzi tidak akan mengurangi keunggulannya. Sikap ini tidak akan
merendahkan pribadi al-Tirmidzi di kalangan para ulama. Bahkan sebaliknya akan
menurunkan derajat Ibn Hazm sendiri dalam pandangan para ulama.”
Komentar ulama Atas Beliau
-
Al-Hafidh
Abu al-Fadhl al-Maqdisi mengatakan, “Aku mendengar Imam abu Ismail Abdullah bin
Muhammad al-Anshari berkata `Menurutku, kitab Jami' al-Tirmidzi lebih
bermanfaat ketimbang kitab Shahih karya al-Bukhari dan Muslim, karena kedua
kitab Shahih karya al-Bukhari dan Muslim ini kurang dapat dipahami kecuali oleh
orang yang mempunyai pengetahuan mendalam. Sementara kitab Jami' al-Tirmidzi
dapat bermanfaat bagi semua orang, karena ia sekaligus mensyarahi (menjelaskan)
maksud dari hadis-per hadis.“
-
Abu Ali
Manshur bin Abdullah al-Khalidi menuturkan bahwa al-Tirmidzi berkata, “Setelah
selesai disusun, kitab ini aku perlihatkan kepada ulama-ulama Hijaz , Iraq
dan Khurasan. Mereka semua menerimanya. Maka siapa yang menyimpan kitabku ini
di rumahnya, seolah-olah di dalam rumah itu ada seorang Nabi yang selalu
berbicara.”
-
Al Hafidh
Ibn al-Katsir menuturkan, “Ini adalah kitab Imam al-Tirmidzi yang paling bagus
dan paling banyak manfaatnya, paling bagus susunannya, dan paling sedikit
pengulangannya. Di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak dijumpai di dalam kitab
lain, berupa penyebutan mazhab-mazhab, segi-segi pengambilan dalil (istidlal),
dan macam-macam hadits dari yang shahih, hasan, dan gharib. Di dalamnya juga
dijelaskan tentang jarh dan ta'dil (evaluasi negatif dan positif atas rawi-rawi
hadits).”
-
Abdurrahman bin Muhammad al-Idrisi menuturkan, “Muhammad bin Isa bin Saurah
al-Tirmidzi al-Dharir adalah seorang imam dalam ilmu hadits yang pendapatnya
banyak dirujuk para ulama. Beliau
mengarang kitab al-Jami', al-Tawarikh (sejarah), dan al-UIlal. Sosok yang alim
lagi brilian (cemerlang) ini diakui kekuatan hafalannya.”
-
Al-Hakim
Abu Ahmad menukil dari gurunya, Ahmad, “Ketika Imam Muhammad bin Ismail
al-Bukhari meninggal, ia tidak meninggalkan seorang ulama yang menjadi
penggantinya di Khurasan selain Imam al- Tirmidzi yang dalam pengetahuannya,
luhur dalam ke-wara'-an dan kezuhudan. Imam al-Tirmidzi senantiasa menangis
sehingga beliau menjadi buta pada tahun-tahun terakhir.”
-
Abu Ya'la
al-Khalili pernah menuturkan bahwa Tirmidzi merupakan figur penghafal dan ahli
hadits yang mumpuni dan telah diakui oleh para ulama. Beliau mempunyai kitab al-Jami'
dan al-Jarh wa al-TaUdil. Ia dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya, dan
sebagai ulama yang menjadi panutan, serta berpengetahuan luas. Kitab Jami'-nya
al-Tirmidzi merupakan bukti nyata atas keagungan reputasinya tentang hadits.
Kiranya perlu kita ketahui bersama bahwa
hadits-hadits yang dikritik karena diduga palsu hanyalah hadits yang menyangkut
fadlail al-a'mal (keutamaan amal). Apabila pengkritik memandangnya sebagai
hadits palsu, maka Imam al-Tirmidzi sendiri tidak memandang demikian. Sebab,
hampir semua ahli hadits, termasuk Imam al-Tirmidzi, tidak mau meriwayatkan
hadits palsu yang telah diketahui kepalsuannya secara nyata.
Integrasi Hadits-Fiqih
Sebelum munculnya Imam al-Tirmidzi, kualifikasi
Hadis hanya terbagi menjadi Hadits Shahih dan Hadits Dhaif. Shahih adalah
hadits yang antara lain diriwayatkan oleh rawi yang kuat hafalannya (dhabith),
dan wajib diterima guna diamalkan. Sementara dhaif merupakan hadits yang antara
lain diterima dari rawi yang mempunyai daya ingat lemah, dan periwayatannya
harus ditinggalkan.
Imam Tirmizi, di samping dikenal sebagai ahli
dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya,
ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas.
Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan
kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya
mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman
dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap
sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang
yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan
kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai
dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang
dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila
seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu
membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Imam Tirmizi memberikan penjelasan sebagai
berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: " apabila seseorang dipindahkan
piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan
itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang
dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil."
Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang lain berkata:
"Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal
‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama
(muhil)." Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan:
"Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim."
Menurut Ishak, maka perkataan "Tidak ada
kerugian atas harta benda seorang Muslim" ini adalah "Apabila
seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun
ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda
orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu."
Dari sini, Imam al-Tirmidzi mempunyai pemikiran
yang sangat brilian. Ketika suatu hadits diriwayatkan oleh rawi yang standar
hafalannya di bawah rawi Hadits Shahih, namun masih unggul dibanding rawi
Hadits Dhaif sehingga hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali, namun
lemahpun tidak`, maka beliau mengkatagorikan periwayatan seperti ini kepada
tingkat hasan. Oleh karenanya, Imam al-Tirmidzi-lah orang yang sangat berperan
membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dhaif. Sebelum beliau tidak seorang
ulamapun yang menyinggung-nyinggung tentang istilah hadits hasan. Dan ungkapan ini banyak sekali
kita temukan dalam karya besar beliau.
Peran Imam al-Tirmidzi yang
lain yang juga sangat penting adalah penyatuan antara paradigma hadits dan fiqh
dalam satu kitab. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, sebagaimana kita ketahui,
tidak menjadikan kitabnya sebagai ajang perbandingan antara berbagai mazhab
fiqh. Kedua Imam Hadits itu hanya mencantumkan hadits-hadits semata, tanpa
sedikitpun memberikan pen-syarah-an, apalagi menukil berbagai pendapat Imam
mazhab. Berbeda dengan Imam al-Tirmidzi yang mengintegrasikan antara hadits dan
fiqh. Hal inilah yang menjadi keistimewaan sekaligus pembeda antara kitab Jami'
al-Tirmidzi dengan kitab-kitab hadits yang lain.
Bukan Sektarian
Kalau kita lihat, kitab Jami'
al-Tirmidzi selalu menampilkan perbandingan pendapat antarmazhab. Perbandingan
ini selalu di-bareng-kan tatkala beliau menuliskan sebuah hadits. Bahkan,
karena banyaknya memuat perbandingan fiqh, kitab al-Tirmidzi ini nyaris
terkesan sebagai kitab fiqh, bukan kitab hadits. Statemen seperti ini tidaklah
berlebihan, mengingat setiap hadits selalu diperjelas melalui metode pemikiran
fiqh.
Namun demikian, bukan berarti
al-Tirmidzi merupakan figur sektarian, berpegang pada salah satu mazhab
sebagaimana disalah pahami oleh sebagian ulama Mazhab Hanafi di mana beliau
dianggap sebagai pengikut Mazhab Syafi'i. Semua itu merupakan pandangan yang
keliru, karena beliau tidak terikat sedikitpun oleh salah satu mazhab, baik
Hanafi, Maliki, Syafi'i, maupun Hambali. Beliau merupakan tokoh ynag hanya
mengikuti Sunah-sunah Nabi saw, seorang mujtahid yang tidak ber-taqlid
(mengikut) kepada siapapun.
Ketidakberpihakan Imam
al-Tirmidzi pada salah satu pemikiran mazhab fiqh ini dapat dipahami dengan
tidak adanya unsur pengunggulan terhadap salah satu pandangan mazhab di dalam
kitabnya. Seandainya beliau berafiliasi pada Mazhab Syafi'i, niscaya beliau akan
mendominasikan pandangan-pandangan Imam Syafi'i dalam karyanya. Begitu juga
kalau beliau bermazhab Hanafi, Maliki, atau Hambali. Tapi ternyata hal seperti
ini tidak pernah dilakukannya. Bahkan terkadang pandangan-pandangan mereka
(para Imam Mazhab) juga mendapat kritikan dari al-Tirmidzi. Ini merupakan salah
satu bukti bahwa pandangan beliau tidak sektarian.
Karya-karyanya
Imam Tirmizi banyak menulis
kitab-kitab. Di antaranya:
- Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan
Sunan at-Tirmidzi
- Kitab Al-‘Ilal
- Kitab
At-Tarikh
- Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
- Kitab
Az-Zuhd
- Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar
dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam
Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu
"Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia
hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmizi, dinisbatkan
kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama
pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan
gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmizi.
Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmizi
memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya
dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku
perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz,
Irak
dan Khurasan,
dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang
selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya
meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan,
da’if,
garib
dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam
kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh
ahli fiqh.
Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia
meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan
periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu
memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata:
"Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan."
Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan),
kecuali dua buah hadits, yaitu:
- "Sesungguhnya Rasulullah SAW
menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya
sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
- "Jika ia peminum khamar, minum
lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama
menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para
ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar
ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama
tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin
dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu
Munzir.
Hadits-hadits dha’if
dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il
al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat
dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan)
hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi
hadits-hadits tentang halal dan haram.
Tutup Usia
Sedangkan pendapat yang benar
adalah sebagaimana dinukil oleh al-hafidh al-Mizzi dalam al-Tahdzib dari
al-Hafidh Abu al-Abbas Ja'far bin Muhammad bin al-Mu'taz al-Mustaghfiri yang
mengatakan “Abu Isa al-Tirmidzi wafat di daerah Tirmidz pada malam Senin 13
Rajab 279 H. Beliau wafat pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Uzbekistan.“
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Semoga Allah Swt menerima segala jerih
payah beliau dalam menyebarluaskan Sunnah-sunnah Nabi saw.
Maraji' :
1.
Sunan At-Tirmidzi
2.
Siyaru A'lam Nubala'
0 comments:
Post a Comment