Mempertanyakan Keislaman Bank Syari’ah
Menjamurnya
bank syari’ah atau perbankan Islam akhir-akhir ini adalah sebagai konsekwensi
logis dari penolakan sebagian kaum muslimin atas riba bank konvensional yang
dianggap ribawi. Perbankan Islam telah menjadi istilah yang cukup dikenal baik
di negara Islam maupun di negara Barat (sekuler).Lembaga tersebut juga menjadi
alternatif bagi para Muslim untuk bertransaksi karena dianggap sebagai suatu
bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan bebas bunga
kepada para nasabahnya.
Para pendukung perbankan Islam berpendapat bahwa bunga
adalah riba dan haram hukumnya. Sosialisasi di berbagai media membentuk opini
masyarakat Muslim dengan mengatakan bahwa bank syari’ahlah yang syar’i sementara bank konvensional adalah bank yang
ribawi.Padahal opini yang disosialisasikan oleh media tersebut tidak bisa
dianggap mewakili ulama’ atau cendikiawan dan masyarakat muslim yang mengatakan
bahwa bunga bank konvensional bukanlah riba. Maka, jika bank konvensional
dianggap ribawi, pertanyaan selanjutnya adalah sudah syar’ikah bank syari’ah?
Abdullah Saeed dalam buku ini-dengan tidak bermaksud
untuk membunuh eksistensi bank syari’ah-mencoba menawarkan suatu interpretasi
kontekstual atas riba yang diawali dengan upaya pembuktian dan kritik atas
klaim-klaim kesyar’ian bank Islam dengan melakukan penelitian pada bank Islam
di sejumlah negara Muslim. Saeed memulai penelitiannya dengan melakukan kritik
atas interpretasi tradisional tentang riba yang dihadirkan oleh kaum
Neo-Revivalis. Interpretasi tradisional tersebut menyimpulkan bahwa bunga yang
dipraktekkan oleh bank konvensional adalah nama lain dari riba yang diharamkan
oleh al-Qur’an.Sehingga bunga dan praktek perbankan konvensionalpun sama
haramnya dengan ribayang harus dihindari oleh umat Islam. Sebagai gantinya,
umat Islam harusmemilih bank dan lembaga keuangan yang bebas bunga untuk
berkontrak.Kaum Neo-Revivalis mengatakan bahwa sesuatu yang dapat dikatakan
sebagai bunga adalah berdasar pada bentuk legal riba seperti yang dinyatakan
dalam fiqih. Riba dimaknai secara literal tanpa memperhatikan aspek
sosio-historisdiharamkannya riba.
Menurut pandangan ini, karena al-Qur’an telaah menyatakan
bahwa hanya pokok pinjaman yang harus diambil oleh kreditur, maka tidak ada
pilihan lain selain menafsirkan riba secara literal. Oleh karena itu,
kedzalimaan bukanlah ukuran untuk menentukan sesuatu dianggap riba atau bukan
dalam transaksi utang-piutang. Apapun alasannya, pemberi pinjaman tidak berhak
menerima tambahan melebihi dan di atas pokok pinjaman.
Diilhami dari hal inilah kaum Muslimin mendirikan bank
Islam dengan melahirkan produk-produk jasa pengganti bunga, diantaranya
mudlarabah dan musyarakah, dua produk jasa ini adalah suatu sistem bagi hasil,
atau yang dikenal dengan profit and loss sharing (PLS). Dengan dua produk ini,
bank syari’ah tidak beroperasi dengan bunga melainkan berbagi hasil bersama
nasabah, baik bagi untung maupun rugi.
Akan tetapi, relitasnya bank Islam mengalami kesulitan
untuk menerapkan sistem PLS tersebut karena resiko yang dipikul oleh bank cukup
tinggi. Sehingga bank berusaha merevisi bentuk dan isi mudlarabah dan
musyarakah yang pada akhirnya berbeda dengan teori fiqih.Fenomena ini pada
ahirnya mendorong bank-bank Islam intuk mencari suatu alternatif pengganti
yaitu murabahah.
Kaum Neo-Revivalis berpandangan bahwa al-Qur’an
mengizinkan jual beli dengan sistem laba dan hal tersebut dianggap sebagai
murabahah. Karena tidak ada pembatasan legal jumlah laba yang boleh diambil
seseorang dari suatu penjualan, maka bank-bank Islam secara teoritis bebas
menentukan berapapun mark-up suatu kontrak murabahah.
Bank-bank Islam cenderung menafsirkan riba sebagai
sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial, yaitu
kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan oleh peminjam dalam
utang-piutang. Mereka berargumen bahwa setiap tambahan karena tenggang waktu
yang diberikan untuk membayar utang bukanlah riba. Padahal teknik mark-up dan
batas laba dalam perdagangan dan sewa adalah nama lain bunga (hal.143)
Pembiayaan murabahah yang harga kreditnya lebih tinggi
jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan yang mendorong secara
tidak langsung pada penilaian waktu pada uang. Hal ini secara logika menggiring
pada kehalalanbunga..
Fenomena tersebut mendorong kaum modernis untuk
berijtihad dan melakukan reinterpretasi kontekstual atas riba sesuai dengan
prinsip moral syari’ah seperti kejujuran, keadilan dan kesetaraan. Dari
perspektif ini, ketidakadilanlah yang akhirnya menentukan suatu tambahan
dikatakan riba atau tidak. Suatu tambahan dalam transaksi keuangan yang
diberikan kepada kreditur hanya semata-mata tambahan bukanlah riba. Apabila hal
ini diterapkan dalam bunga bank modern, maka tidak semua jenis bunga adalah
riba kecuali hanya jenis bunga yang mengandung ketidakadilan pada salah satu
pihak yang melakukankontrak.
Oleh karena itu, setiap transaksi berdasarkan bunga yang
mengandungketidakadilan harus diharamkan sebagai riba. Sama halnya dengan suatu
transaksi yang meskipun tidak secara eksplisit mengandung elemen bunga tetaapi
mengarahpada ketidakadilan salah satu pihak dapat dianggap sebagai transaksi
ribawi.
Termasuk dalam hal ini adalah keadaan suatu transaksi
tertentu, pihak-pihak yang terlibat, kekuatan relatif satu pihak atas pihak
yang lain maupun lingkungan ekonomi dan sosial terjadinya transaksi tersebut.
Semua itu menentukan apakah sebuah transaksi tertentu harus diharamkan sebagai
riba.Praktek bank-bank Islam menunjukkan bahwa mereka tidak mampu menghapus
bunga dari transaksi mereka yang akhirnya dipraktekkan dengan berbagai nama dan
samaran. Para ekonom Islam belum berhasil mengembangkan sutu pembiayaan yang
bebas bunga yang cukup praktis bagi landasan perbankan modern.
Oleh karena itu, kaum modernis mencoba melakukan
reinterpretasi kontekstual yang tidak legalistik dan formalistik atas riba
dengan memperhatikan aspek sosio-historis diharamkannya riba. Interpretasi ini
mengatakan bahwa sebab diharamkannya riba adalah adanya kedzaliman dan tindakan
tidak manusiawi. Jika sebab tersebut tidak ada dalam praktek bank konvensional,
maka hal tersebut bukan termasuk bunga yang diharamkan al-Qur’an (hal.61)
Akhirnya, dalam perbankan, memiliki label Islam saja
tidak cukup untuk menjadi suatu bank Islam. Akan tetapi, lembaga perbankan
tersebut harus menjadi lembaga yang manusiawi, mampu membuat oraang memiliki
akses pada dana berdasarkan syarat yang manusiawi dan dengan biaya yang pantas.
Perbankan seperti inilah yang diperlukan untuk membantu meningkatkan taraf
hidup masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Penulis: Hermin Sriwulan
Penulis adalah Mahasiswa FAI Unmuh Malang, Peneliti pada
eL-SAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) Malang dan Kabid IPTEK IMM Cabang
Malang [iwul@myquran.com ]
0 comments:
Post a Comment