Delapan Butir Mutiara Hidup
Hamid Ahmad
Arkian, sufi Asy-Syibli dalam hidupnya telah melayani 400 guru. “Aku sudah membaca empat ribu hadis. Di antara hadis-hadis itu, kupilih satu untuk aku amalkan, sedang hadis-hadis yang lain aku acuhkan. Sebab, setelah aku renung-renungkan, kusimpulkan bahwa keselamatan diriku ada pada hadis tersebut. Kukira, ilmu orang-orang dulu dan orang-orang sekarang teringkas di dalamnya. Karena itu aku cukupkan diriku dengannya. Hadis dimaksud ialah sabda Rasulullah s.a.w. kepada sahabat-sahabat beliau, “Beramallah untuk duniamu sesuai dengan maqam (posisi)-mu di dunia. Beramallah untuk akhiratmu menurut kadar kelanggenganmu di dalamnya. Beramallah untuk Allah sesuai dengan kadar kebutuhan-Mu pada-Nya. Dan baramallah untuk neraka sesuai dengan kadar kesanggupanmu menanggungnya.”
Anakku, jika kamu mengamalkan hadis ini, kamu tidak memerlukan ilmu yang banyak. (Maksud hadis tadi: Kalau kamu termasuk dalam maqam orang yang harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan pokok, kamu harus bekerja sungguh-sungguh karena mencukupi kebutuhan diri dan keluarga itu wajib. Kalau kamu tergolong maqam guru, kamu harus banyak mengajar. Kemudian sadarilah bahwa kamu akan kekal di akhirat. Tak ada akhir, tak ada kematian di akhrat. Karena itu, beramallah untuknya dengan sungguh-sungguh.
Lalu kamu tahu kan, kamu sangat membutuhkan Allah karena hanya Allahlah yang bisa memberi manfaat ataupun madharat pada siapapun. Makanya, kamu harus beramal dengan sungguh-sungguh guna meraih ridha-Nya.
Kamu pun tahu, kamu tidak sanggup menanggung siksa api neraka. Karena itu, jangan coba-coba melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskanmu padanya, pen.)
Kekasih Sejati
Cobalah renungkan cerita berikut ini. Konon, Hatim Al-Asham berguru pada Syaqiq Al-Balkhi. Kata Syaqiq, “Kamu telah berguru padaku selama tiga puluh tahun. Apa yang engkau peroleh dari situ?”
“Aku mendapat delapan faedah, dan itu cukup bagiku karena aku berharap bakal meraih keselamatan darinya.”
“Apa saja itu?” tanya Syaqiq.
Hatim lalu merinci kedelapan faedah tersebut. “Pertama,”
ujarnya, “aku coba perhatikan orang-orang. Kulihat mereka saling berkasih-kasihan, saling mencinta satu sama lain.
Ada yang mencinta sampai kekasihnya menderita sakit parah yang mengantarnya ke kematian. Ada yang mencinta sampai kekasihnya terbujur di liang lahat. Setelah itu, sang kekasih ditinggal sendirian di dalam kubur, tak seorang pun ikut serta (masuk ke dalamnya). Dari situ saya berpikir, ‘Ah, dia ini bukan kekasih sejati karena dia tidak ikut menemani dia di dalam kubur. Kekasih sejati mustinya terus menghiburnya sampai kapan pun.’ Ternyata, tidak ada yang menemani kita sampai ke liang kubur kecuali amal saleh kita. Inilah, pikirku, kekasih sejati. Makanya, amal saleh kujadikan kekasihku, supaya dia menjadi pelita yang menerangiku di dalam kubur, menghiburku dan tidak meninggalkanku sendirian di sana.
Budak Nafsu
Faedah kedua, saya lihat orang-orang menuruti hawa nafsu mereka. Mereka buru-buru mengejar keinginan-keinginan mereka. Lalu saya merenungkan firman Allah, ‘Dan adapun orang yang takut pada maqam Tuhannya dan mencegah nafsu menuruti hawa (perintah jelek)-nya, maka sorga adalah tempat kembalinya.’ (An-Nazi’at: 40-41) Saya yakin bahwa Al-Quran itu benar, karena itu aku lekas-lekas melawan hawa nafsu saya, dan saya mengerahkan segala daya untuk memeranginya (mujahadah). Aku terus melakukan hal itu sampai nafsu tergiring untuk menyenangi taat kepada Allah dan tunduk pada-Nya.
Remah-remah Dunia
Faedah ketiga, saya amati semua orang berlomba untuk mengumpulkan remah-remah dunia kemudian (setelah berhasil) menggenggamnya erat-erat. Saya coba merenungkan firman Allah , ‘Apa yang ada di sisimu akan rusak, dan apa yang di sisi Allah itu kekal.’ Saya pun segera menyalurkan harta dunia yang ada pada saya untuk mendapat ridha Allah.
Saya agikan harta saya itu kepada kaum fakir miskin, sehingga jadilah dia tabunganku di sisi Allah.
Apa Kemuliaan?
Keempat, saya perhatikan, ada sebagian orang yang mengira bahwa kemuliaan itu ada pada banyaknya pengikut dan anak buah, sehingga dia tertipu dengannya. (Dia pun jadi congkak karena memiliki banyak pengikut. Dia menganggap dirinya sebagai pemimpin sejati karena pengaruhnya benar-benar mengakar, karena dia dikelilingi orang-orang yang butuh padanya, pen.). Ada yang menyangka bahwa
kemuliaan itu ada pada melimpahnya harta benda dan banyaknya anak, lalu mereka membanggakan hal-hal itu.
Sebagian lagi menganggap kemuliaan terdapat pada kemampuannya untuk meng-ghashab (merampas) harta orang lain dan berbuat zhalim pada mereka serta menumpahkan darah mereka. Ada pula yang menyangka bahwa yang namanya kemuliaan itu ialah berbuat boros dan menghambur-hamburkan harta. Saya pun mencoba merenungkan firman Allah, ‘Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.’ (Al-Hujurat: 13) Saya lalu memutuskan untuk memilih takwa saja karena saya berkeyakinan bahwa Al-Quran itu benar, sedang dugaan mereka itu salah dan sesat.
Hasud
Kelima, saya melihat orang-orang saling mencela satu sama lain. Mereka saling menggunjing satu sama lain. Dan semua itu saya dapati merupakan rasa hasud dalam hal harta, pangkat dan ilmu. Lantas saya berpikir tentang firman Allah SWT, “Kami membagi-bagi rezeki mereka di antara mereka ereka dalam kehidupan dunia.” (Az-Zukhruf: 32) Dari sana, tahulah saya bahwa pembagian itu dari Allah. Sejak
itu, saya tidak mau lagi memendam rasa hasud pada
siapapun, dan saya pun ridha dengan pembagian Allah
Ta’ala.
Musuh Sejati
Faedah keenam, saya lihat orang-orang saling bermusuhan satu sama lain karena satu dan lain sebab, karena satu dan lain kepentingan. Maka saya merenungkan firman Allah, ‘Sungguh syetan itu bagi kalian adalah musuh, maka jadikanlah dia musuh.’ (Fathir: 6) Dari situ saya tahu bahwa kita tidak boleh memusuhi siapapun selain syetan.
Faedah ketujuh, saya amati setiap orang berusaha
sungguh-sungguh dan membanting tulang untuk mendapatkan makanan pokok dan mengais rezeki sampai terkadang mereka melanggar barang syubhat dan barang haram. Mereka bahkan tak segan menghinakan diri mereka dan merendahkan martabat
mereka. Lalu saya merenungkan firman Allah, “Dan tidak satu pun dari yang melata di bumi kecuali atas
(tanggungan) Allah rezekinya.” Dari sini saya tahu bahwa rezeki saya sudah ditanggung oleh Allah. Sejak itu, saya menyibukkan diri saya dengan beribadah pada-Nya, dan saya matikan ketamakan (pengharapan) saya pada selain-Nya.
Tawakal
Faedah kedelapan, saya lihat tiap-tiap orang bergantung pada makhluk. Sebagian bergantung pada dinar dan dirham (uang tunai), sebagian pada barang berharga dan kekuasaan, sebagian pada keahlian dan keterampilan, sebagian lagi bergantung pada sesamanya. Lalu saya merenungkan firman-Nya, ‘Dan barangsiapa bertawakal pada Allah, maka Dia akan mencukupinya. Sungguh Allah melaksanakan
urusan-Nya. Sungguh Dia telah menjadikan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.’ (Ath-Thalaq: 3) Sejak itu saya
putuskan untuk bertawakal kepada Allah, karena Dialah yang mencukupi saya, dan Dialah sebaik-baik wakil (tempat bergantung).”
Empat Kitab Suci
Setelah mendengar uraian Hatim, Syaqiq berkata,
“Mudah-mudahan Allah memberi pertolongan padamu. Aku telah membaca Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran. Kulihat, ajaran keempat suci ini berkisar pada delapan butir faedah ini.
Dengan demikian, barangsiapa telah mengamalkannya, dia telah melaksankaan ajaran empat kitab suci sekaligus.”
0 comments:
Post a Comment