Home » » Menghadapi Gangguan dan Rayuan

Menghadapi Gangguan dan Rayuan

Menghadapi Gangguan dan Rayuan
(Abu Umar Abdillah)

Keberhasilan dakwah islam akan diraih oleh da’i yang tahan banting, memiliki semangat yang tinggi, enerjik, tegar, tak goyah oleh rayuan maupun siksaan, tabah di masa sulit dan tak tergiur oleh limpahan kekayaan.
Karena tabiat dakwah akan menghadapi rintangan dan kendalai, terkadang berupa gangguan dan siksaan atau terkadang berupa bujukan dan rayuan. Keduanya membutuhkan kesabaran agar roda dakwah tetap berputar, karena jika dia gagal, orang lain yang lebih baik akan menggantikannya dan selanjutnya ia menjadi sampah perjuangan, na’uzu billah.

Menghadapi Gangguan dan Penderitaan 
Nabi kita yang paling fasih mendakwahkan Islam, paling tepat argumennya, paling ahli memilih kata yang paling pas untuk obyek dakwah pun tak luput dari celaan dan gangguan dari penentang dakwah. Bahkan Beliau saw. paling awal dan paling banyak mengalaminya di antara umat ini.

Ketika Beliau saw. menyeru manusia di pasar-pasar "Katakan la ilaha illallahu, kalian akan selamat", pamannya sendiri Abu lahab mengikuti persis di belakangnya sembari berkata: "Jangan percaya, dia pendusta!" atau kata-kata yang semisal dengan itu.

Adapun gangguan fisik, ketika beliau berdakwah di Tha’if, bukan saja dakwahnya tidak didengar, bahkan orang-orang bodoh dan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu hingga darah mengucur membasahi sendal Beliau.

Beliau juga pernah dikatakan majnun (gila), tukang sihir, penya’ir dan julukan buruk lainnya. Inilah tabiat dakwah yang akan dijumpai pula oleh para da’i penerus dakwah Nabi, meski dengan kadar yang tak persis sama. Sehingga diperlukan beberapa sarana agar juru dakwah tidak menjadi futur di saat menghadapi kondisi yang semisal dengan itu. Di antara sarana-sarana tersebut adalah:

Pertama, yakin dengan balasan yang baik dari Allah. Bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan jerih payah dan kesabarannya, meskipun hanya terkena satu duri di jalan-Nya. Apalagi kesabaran yang ditempuh oleh juru dakwah adalah bersifat ikhtiyari, yakni dia menyadari dari awal bahwa rintangan dan kesulitan akan dia hadapi ketika terjun di medan dakwah ilallah, namun ia memilih maju, padahal seandainya dia mundur mungkin bisa menghindar dari resiko tersebut. Kesabaran yang seperti ini lebih utama dari sabar idhthirari yang memang tidak ada pilihan lain, sabar karena terpaksa seperti ketika mendapatkan musibah. Artinya, kalaupun dia tidak bersabar, apa yang hilang tak akan kembali, yang mati takkan hidup kembali. Firman Allah:

"Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An Nahl: 96)

Kedua, Menyadari bahwa hidayah di tangan Allah. Banyak di antara da’i yang akhirnya ngambek begitu melihat obyek dakwah tak mau mendengar seruannya. Jika dia menyadari bahwa hidayah taufiq bukanlah wewenang dia, namun hak mutlak Allah, niscaya menjauhnya orang tak menjadikannya putus asa dalam dakwah. Bahkan Nabi sendiri tak dapat menjadikan pamanda beliau Abu Thalib mendapat hidayah, meski beliau telah mendakwahi dan menginginkan hidayah turun kepadanya:

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk."(QS Al-Qashash 56)

Ketiga, menghibur diri dengan kisah orang yang teguh dalam dakwah. Jika kita perhatikan jalan hidup para juru dakwah yang sabar dan berbagai macam siksaan dan ujian yang mereka hadapi dan mereka rasakan, niscaya akan membantu kita untuk tegar di atas jalan dakwah. Al-Qur’an dan As-Sunnah telah banyak menyebut tentang kisah-kisah para Nabi dan orang-orang shalih sebagai penghibur bagi Nabi dan kaum mukminin. Agar menjadi teguh hati mereka dalam menghadapi ujian dan fitnah. Allah Ta’ala berfirman:

"Dan semua kisah dari Rasul-Rasul yang Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; (Hud: 120)

Renungkanlah bagaimana ketegaran Mush’ab bin Umair, duta pertama dalam Islam. Resiko berat beliau hadapi sejak awal keislamannya, apalagi menjai da’i utama ketika itu. Pemuda yang dahulunya memakai pakaian paling halus, wewangian paling harum, paling dimanja orang tua akhirnya harus hidup miskin mengenakan pakaian yang kasar, lantaran diboikot orang tuanya sejak keislamannya. Ketegarannya terpelihara hingga ajalnya. Di hari Uhud, tangan kanannya yang memegang panji terputus, lalu beliau memegangnya panjinya dengan tangan kirinya lalu tangan kirinyapun ditebas musuh hingga putus. Beliau memegang panji dengan lengannya hingga syahid.

Menghadapi Bujuk Rayu 
Tak selalunya ujian hadir dalam bentuk yang menyeramkan, menakutkan atau menyakitkan. Karena target setan adalah menggagalkan dakwah Islam, maka segala upaya ditempuh.

Belum tentu orang yang sanggup bertahan menghadapi kekerasan dia juga sanggup menghadapi rayuan. Bukankah telah banyak contoh, juru dakwah yang berteriak lantang menyerukan kebenaran, akhirnya mlempem ketika sudah duduk di kursi empuk. Ia bahkan berdiri sebagai pembendung dakwah yang dahulu pernah ia perjuangkan.

Kemungkinan ini selalu terbuka bagi para juru dakwah. Sebagaimana hal ini juga pernah dialami oleh Nabi yang ditawari dengan kedudukan raja, diberi harta dan disuruh memilih wanita yang disukainya jika mau menghentikan aktivitas dakwahnya. Tawaran tersebut disampaikan kepada Nabi melalui paman beliau, Abu Thalib. Akan tetapi dengan lantang beliau menjawab: "Demi Allah wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kanan saya dan bulan di tangan kiri saya agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, sekali-kali aku tidak akan menghentikannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa."

Untuk tahan dalam menghadapi ujian berupa rayuan ini hendaknya seorang da’i menjadikan akhirat sebagai cita-citanya tertinggi. Hendaknya dia memahami kecilnya nilai dunia bila dibandingkan dengan akhirat, Nabi bersabda:

"Seandainya nilai dunia di sisi Allah sepadan dengan satu sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan setetes airpun untuk orang kafir." (HR Tirmidzi) Alangkah indahnya ungkapan ahli bijak:

Sesungguhnya Allah mempunyai hamba yang cerdas cendikia
Mereka mentalak dunia karena takut cobaannya
Mereka merenunginya, lalu setelah tahu hakekatnya
Ia bukanlah rumah abadi bagi yang hidup di dalamnya
Maka mereka anggap dunia sebagai samudera
Sedang amal shalih laksana bahtera yang mengarunginya

Ketegaran Abdullah bin Hudzafah 
Cukuplah kisah sahabat yang mulia, Abdullah bin Hudzafah menjadi teladan bagi juru dakwah dalam menghadapi segala bentuk rayuan dan juga ancaman. Di masa Umar z, beliau sempat ditawan oleh Heraklius di Romawi. Heraklius memanggilnya dan bertanya: "Wahai Abdullah, maukah engkau beralih ke agama Nasrani lalu aku akan memberikan separuh kerajaan Romawi ini kepadamu." Belia menjawab: "Wahai Heraklius, demi Allah seandainya engkau berikan kepadaku separuh kerajaanmu, ditambah lagi dengan separuh kerajaanmu, ditambah lagi dengan seluruh jazirah Arab, sekali-kali aku tidak akan meninggalkan Islam ini walaupun sekejap mata."

Melihat beliau tetap bersikeras menolak tawaran tersebut Heraklius berkata: "Kalau begitu, aku akan membunuhmu." "Silakan", jawab Abdullah. Lalu disiapkanlah periuk besar yang berisi air mendidih, ketika beliau didekatkan di bibir periuk tersebut tiba-tiba menangis. Maka tersenyumlah Heraklius karena menyangka beliau takut. Diapun bertanya kepada beliau tentang sikap terakhirnya. Tanpa diduga, jwaban beliau: "Apakah Anda mengira saya menangis karena takut akan kamu panggang di air ini? Sungguh aku memangis karena hanya memiliki satu nyawa, padahal aku ingin memiliki nyawa sebanyak bilangan rambut saya lalu semua dipanggang di jalan Allah."

Heraklius tersentak mendengar jawabannya. Ketika sudah kehabisan cara, dia menawarkan kepada beliau agar sudi mencium jidatnya dengan imbalan beliau akan dibebaskan. Tawar menawar terjadi, akhirnya seluruh kaum muslimin yang ditawan Heraklius sekitar delapan puluhan orang disetelah Abdullah mencium jidat Heraklius. Setelah mereka sampai kepada Umar, beliau menyuruh yang hadir untuk mencium jidat Abdullah bin Hudzafah dan beliau yang memulainya. Wallahu a’lam



Diterbitkan Oleh : Al Masjidiy Jurnal News Network

Al Masjidiy Murupakan kumpulan dari tulisan-tulisan yang ada dalam beberapa buletin dan artikel ilmiah, soalnya admin pernah menjadi pemred beberapa buletin di Kota Metro Lampung dan Kota Bekasi. Saat ini admin Fokus pada pengembangan media online. Admin juga menerima tulisan dari pembaca melalui email: almasjidiy@gmail.com

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Terima Kasih Telah Membaca Artikel Ini ::

0 comments:

Post a Comment

Opini Terbaru