Dalam mendefinisikan makna ijtihad,
ada beberapa versi definitif yang diberikan oleh para ulama, namun subsatansinya tetap sama.
Yaitu : berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan sebuah kesimpulan hukum
dengan cara mengambil istinbath (kesimpulan) dari nash-nash syar’i yang
sudah ada.
Hukum sebuah ijtihad satu dengan
yang lainnya bisa berbeda, tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Terkadang hukum ijtihad menjadi wajib bagi seorang mujtahid, sunah, makruh
bahkan bisa menjadi haram, tergantung pada faktor yang mempengaruhinya. Dibawah
ini akan dijelaskan, beberapa hukm
ijtihad bila ditinjau dari dua segi, yaitu :
1. Hukum
ijtihad secara global ( umum )
2. Hukum
ijtihad secara rinci.
Hukum ijtihad secara umum.
Secara umum hukum berijtihad bagi
mujtahid yang telah memenuhi kriteria untuk berijtihad adalah boleh,
sebagaimana pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
Di antara dalil yang menunjukan bahwa ijtihad secara umum
boleh adalah :
Firman Allah :
{وَدَاوُدَ
وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ
الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ.فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ......} )الأنبياء 78 – 79 (
Artinya
: Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing
kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh
mereka itu, (QS. 21:78) .Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman
tentang hukum(yang lebih tepat)……… (QS. 21:79)
Hukum ijtihad secara rinci.
Secara rinci hukum ijtihad
terbagi menjadi beberapa macam. Terkadang hukum suatu ijtihad menjadi wajib,
haram, sunnah, makruh, dan terkadang bisa menjadi mubah. Hal ini tergantung
pada faktor yang mempengaruhinya.
Diantara faktor yang mempengaruhi hukum bagi suatu ijtihad adalah : keahlian
seorang mujtahid dalam berijtihad, jenis masalah yang dihadapi seorang
mujtahid, kebutuhan terhdadap suatu ijtihad dan waktu pelaksanaannya. Perincian
dari hukum ijtihad adalah sebagain
berikut :
1. Wajib hukumnya
berijtihad, jika ada mujtahid yang ahli dalam berijtihad, sedangkan permasalahan yang ada adalah permasalahan
yang memerlukan ijtihad, kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengetahui hukum
suatu masalah, sedangkan waktu yang ada sangat sempit. Syikh Muhammad Al
Khudlori menyebutkan bahwa wajib itu ada dua : Wajib ‘Aeni dan Kifai.
2. Mustahab hukumnya berijthad,
jika ada mujtahid yang ahli untuk berijtihad, namun tidak ada masalah yang
membutuhkan ijtihad, dan waktu yang ada
masih sangat luas. Pendapat Syikh Muhammad Al Khudlori juga sama.
3. Haram hukmnya berijtihad, jika
mujtahid tidak ahli dalam masalah
tersebut, tidak ada kebutuhan ijtihad, atau mujtahid tersebut ahli tapi masalah
yang dihadapi adalah masalah yang tidak boleh untuk berijtihad tentangnya, di
karenakan ada nash atau ijma’ berkenaan dengan masalah tersebut.
4. Makruh hukumnya berijtihad ,
jika ada seorang mujtahid yang ahli
dalam suatu masalah, namun masalah tersebut masih lama kejadiannya.
5. Mubah hukumnya berijtihad, jika
ada seorang mujtahid yang ahli dalam suatu masalah yang dimungkinkan
kejadiannya, namun waktunya masih sangat luas.
ISHOBAH adalah kalimat yang masih global. Kalimat ishabah
terkadang mempunyai maksud, ishobatul hak. Dan terkadang
mempunyai maksud, ishabatul ajru
wa tsawab.
Oleh karena itu, pembahasan ini terbagi menjadi dua point :
yaitu kedudukan mujtahid ditinjau dari makna ishabatul hak dan kedudukan
mujtahid ditinjau dari makna ishabatul ajru.
Point pertama : Ishabatul haq.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang
ketepatan seorang mujtahid dalam berijtihad, di tinjau dari makna ini, kita
perlu mengetahui terlebih dahulu kedudukan al-hak menurut Allah . Apakah
al-hak menurut Allah Ta’ala satu atau berbilang? Karena dengan mengetahuinya
kita bisa mengambil kesimpulan tentang kedudukan seorang mujtahid dalam
berijtihad.
Jika al-haq menurut Allah hanya satu, tidak
diragukan lagi bahwa tidak semua mujtahid benar. Artinya sebagian mujtahidin
ada yang benar dan sebagian yang lain ada yang salah. Ada kemungkinan ia jatuh
pada kesalahan dalam mengambil suatu kesimpulan hukum.
Namun apabila kebenaran menurut Allah
adalah berbilang / banyak maka semua mujtahidin adalah benar tanpa terkecuali.
Maksudnya semua mujtahid yang berijtihad pasti benar karena kebenaran menurut
Allah itu berbilang tidak hanya satu. Mudahnya semua mujtahid yang berijtahad
itu benar walau hasil ijtihad mereka berbeda satu dengan yang lain. Para ulama
terbagi menjadi dua golongan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Masing-masing
golongan memberikan alasan dan dalil yang menjadi pijakan pendapat mereka.
Masing-masing dari golongan tersebut adalah :
Golongan pertama: Kebenaran menurut Allah itu satu, artinya
tidak semua mujtahid benar.
Golongan pertama: Kebenaran menurut Allah itu satu, artinya
tidak semua mujtahid benar.
Point
kedua : Ishabatul ajru
Ijtihad
bila dilihat dari sisi usaha dan jeri payah yang dilakukan oleh seorang
mujtahid maka akan terbagi kedalam dua pembagian:
1].
Mujtahid Muthlak
Yaitu seorang mujtahid yang telah
sampai derajat ( baca: boleh ) untuk berijtihad dalam segala persoalan .
2].
Mujtahid Juz`i
Yaitu seorang mujtahid yang belum
sampai pada derajat mujtahid muthlak. Namun ia hanya mempunyai kemampuan
berijtihad dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan dalam perkara-perkara yang
lainnya ia tidak diperbolehkan.
Kemudian
bila ijtihad tersebut dilihat dari segi illah ( sebab-sebab ) timbulnya hukum
terbagi menjadi 3 bagian:
1].
Tahqiqul Manath
2].
Tanqikhul Manath
3].
Takhrijul Manath
Tahqiqul Manath : Yaitu apabila
hukum yang diberikan syariat kepada suatu kasus itu bersifat umum, maka seorang
mujtahid akan melihat apakah keumuman itu juga berlaku terhadap perkara-perkara
yang lain atau tidak. Seperti perintah untuk menghadap kiblat atau kesaksian
dua orang saksi yang adil. Maka seorang mujtahid akan melihat dan menimbang
apakah orang yang sedang sholat juga harus menghadap kiblat atau tidak? Dan
apakah si fulan itu seorang yang adil atau tidak? Dan ini adalah model ijtihad yang tidak diperselisihkan lagi keapsahanya oleh para ulama`.
Tanqikhul Manath : Adalah usaha
untuk mencari illah ( sebab timbulnya suatu hukum ), seperti apabila syari`t
menentukan illah atas sebuah hukum ( baca: kasus ). Kemudian timbul sifat-sifat
lain yang tidak disebutkan oleh syara` dalam kasus tersebut, maka seorang mujtahid harus membuang
sifat-sifat yang tidak ada kaitannya dengan kasus tersebut serta menyisakan
sifat-sifat yang ada hubungannya dengan kasus tersebut.
Takhrijul Manath : Sebenarnya
takhrijul manath tidak jauh berbeda dengan qiyas, yaitu perpindahan ( baca: menyamakan ) dari hukum asal kepada
hukum kedua lantaran adanya kesamaan manath[1] diantara
keduanya. Sebagai contoh adalah berlakunya hukum haram pada nabidz, para
mujtahid melihat keharaman pada nabidz sebagaimana pada khomr karena adanya
kesamaan dari sebab timbulnya hukum tersebut, yaitu bisa menyebabkan mabuk bagi
si peminum.
Al
Ijtihad bila ditinjau dari sisi persoalan yang diijtihadkan oleh seorang
mujtahid, baik persoalan itu telah lampau atau pun persoalan kontemporer terbagi menjadi dua:
1]. Persoalan-persoalan yang belum
pernah dibahas sebelumnya oleh para ulama`.
2]. Persoalan-persoalan yang sudah
pernah dibahas sebelumnya oleh sebagian para ulama`.
Al
Ijtihad bila dilihat dari usaha yang dikerahkan oleh seorang mujtahid dibagi
menjadi dua bagian:
1]
Ijtihad Tam
2]
Ijtihad Naqis
Urgensitas Syarat
syarat Ijtihad
Mujtahid adalah seorang ahli fiqih yang mengeluarkan segala
kemampuannya untuk sampai kepada sebuah hukum syare’at. Ia harus memiliki
kemampuan sebagai acuan untuk melahirkan hukum hukum syare’at dari
pendekatannya.
Berdasarkan
pengertian ini, orang yang memiliki pengetahuan terhadap hukum hukum syare’at
namun tidak mampu untuk melahirkan kesimpulan hukum dari dalil dalil yang ada,
tidak bisa disebut sebagai
mujtahid.[lihat alijtihad / Madkur / 105]. Dalam Islam, seorang mujtahid
memeliki kedudukan yang tinggi. Ia berdiri menggantikan posisi Nabi s karena ia
mewarisi ilmu kenabian, menyampaikannya kepada umat manusia, dan menjadi
seorang yang memberikan pengajaran dan petunjuk kepada mereka. Sebagaimana
diungkapkan dalam sabda Rosululloh s :
إِنَّ الْعُلَمَاءَ
وَرَسَةُ الْأَنْبِيَاءَ وَإِنّ! الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّسُوا دِيْنَارًا
وَلاَ دِرْهَمًا وَرَثُوا الْعِلْمَ
“ Sesungguhnya para
ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhya para Nabi itu tidak akan
mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu. { H.R.Abu daud, At
tirmidzi, dan ahmad. Ibnu Hiban, Al hakim dan selain mereka berdua menshohihkan
hadist ini. Al Bukhori juga meriwayatkan hadist ini dengan redaksi hampir
mirip. Lihat Fathul bari / Ibnu hajar Al Asqolani / juz 1 hal 169 }
Syarat syarat Diterimanya Ijtihad terangkum dalam tiga hal
yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak melakukan ijtihad. Tanpa ketiga hal
yang dimaksud, ijtihadnya ditolak meski ia sebenarnya mampu untuk memahami dan
mengambil kesimpulan. Ketiga syarat itu adalah ; Islam, Taklif, dan Adil.
Berikut penjelasan kami tentang ketiga syarat itu.
Pertama : Islam
Kedua : Taklif
Ketiga : Adil
Syarat
syarat sahnya ijtihad terepresentasikan ketika pada diri seseorang terdapat
sejumlah hal, yang mampu membangun kemampuan nalar fikih dan pemahaman yang
benar pada dirinya, dan yang membuatnya mampu mengambil kesimpulan dengan cara
cara yang benar. Satu persatu akan kami bicarakan syarat syarat itu berikut
penjelasannya.
Pertama : Memahami Al Qur’an
Kedua
: Memahami Sunnah
Ketiga
: Memahami Bahasa Arab
Keempat
: Memahami Ushul Fiqih
Kelima
: Mengetahui Masalah masalah yang sudah Menjadi Ijma’ Ulama
Keenam
: Mengetahui Situasi Masanya
Ketujuh
: Mencurahkan Kemampuan sekuat tenaga
Kedelapan
: Bersandar Dengan Dalil
Syarat Syarat Yang Harus Ada Dalam Masalah Yang
Diijtihadkan
Pertama : Hendaknya masalah itu tidak terdapat dalam Nash
atau Ijma’ ‘ulama
Kedua : Hendaknya Nash Yang Dimaksud [Dalam Sebuah
Permasalahan] Mengandung Ta’wil.
Ketiga: Hendaknya masalah yang diijtihadkan tidak termasuk
dari masalah masalah Aqidah, karena sesunguhnya adanya ijtihad dan qiyas itu
khusus dalam masalah masalah ijtihadi.
Keempat: Hendaknya Masalah Yang Diijtihadkan Adalah Masalah
Yang Sedang Berkembang, Atau Masalah Yang Akan Terjadi, Atau Suatu Masalah Yang
Sangat Dibutuhkan Pemecahan [Penyelesaiyan
Para ahli ushul fiqih masih
menyimpan beberapa persyaratan lagi diluar syarat syarat yang telah disebutkan
diatas, diantaranya:
1.Menguasai
Dasar Dasar Agama
2.Menguasai
Cabang Cabang Fiqih
3.Menguasai
Dalil Aqli
Apabila ada seorang mujtahid yang
berijtihad untuk pribadinya sendiri dengan hukum tertentu, lalu
dhan(ijtihadnya) berubah, maka ia harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dan
perkara-perkara yang sudah ditetapkan dengan hukum tersebut.
Apabila seorang mujtahid sekaligus
hakim memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya, namun setekah itu ia merubah
ijtihadnya pada perkara yang sama, maka apabila ijtihadnya itu menyelisihi
dalil qath’i (mutlaq) baik dari nash, ijma’ atau qiyas (yaitu jika ‘illah dalam
nash tersebut dijelaskan atau dalil tersebut telah memutuskan perkara dengan
menghilangkan atsar pembeda antara yang ashli/pokok dan far’i/cabang) maka
menurut pendapat para ulama’, ia harus membatalkan/mencabut pendapatnya. Hal
itupun berlaku untuk seorang hakim atau mujtahid yang menyelisihi
pendapat/hujjahnya.
Adapun jika pendapat tersebut pada
perkara ijtihadi atau dalil-dalil yang dhanni maka ijtihadnya yang pertama
tidak batal, karena jika ia membatalkannya maka akan timbul keraguan ummat pada
hukum syar’i serta menghilangkan ketetapan hukum dan keyakinan pada ijtihad
tersebut. Hal ini juga menyelisihi maslahat yang ditimbulkan dari ijtihadnya
sehingga menimbulkan perselisihan diantara ummat.
Jika sekiranya seorang hakim
diperbolehkan membatalkan ijtihadnya ketika ia sudah metetapkannya maka akan
menimbulkan perselisihan setelah ijtihad yang baru diberlakukan. Hal itu juga
menghilangkan hikmah dari adanya perbedaan pendapat, sebagaimana yang dikatakan
oleh al-Q Adapun yang
menguatkan tidak adanya pembatalan ijtihad, sebagaimana yang diriwayatkan dari
Umar bin Khattab ketika memutuskan perkara “hijriyah” yang intinya bahwa
saudara kandung itu tidak mendapatkan bagian dari harta warisan karena ashabul
furudl telah menghabiskan seluruh harta warisan tersebut, sebagaimana jika
seorang wafat lalu meninggalkan suami, ibu, saudara seibu dan saudara kandung.
Namun setalah itu beliau berijtihad bahwa bagian saudara kandung dan saudara
seibu adalah 1/3 bagian dari harta warisan. Ketika perbedaan 2 ijtihad tersebut
ditanyakan kepada beliau maka ia menjawab, “Itulah (ijtihad yang pertama) yang
telah kami putuskan dan sekarang yang kami putuskan.”
Ternyata beliau tidak membatalkan
ijtihadnya yang pertama dan hanya menetapkannya pada masa yang lalu saja.
Perkara Perkara
Penting Seputar Ijtihad
Pertama: Tidak
Boleh Ada Suatu Masa Yang Kosong Dari Orang Yang Menegakan Syare’at Alloh
Subhanahu Wa Ta'ala Dengan Hujah Hujah Syar’ie
Kedua: Sesungguhnya Perbedaan
[Khilaf] Dalam Masalah Ijtihadi Menjadi Suatu Rahmat Bagi Umat Ini, Jika
Perbedaan Ini Difahami Menurut Qo’idah Syar’ie.
Ketiga: Hukum Hukum Dalam Masalah
Ijtihadi.
Ø Tidak boleh mengingkari pendapat
yang berselisih, terlebih lagi memfasikan orang yang berselisih, mencercanya
serta mengkafirkannya.
ØDibolehkan mengingkari masalah
ijtihadi dengan jalan menjelaskan hujjah serta menjelaskan sebuah masalah itu
dengan jelas.
ØSesungguhnya seorang mujtahid tidak
boleh baginya mengharuskan orang selainnya untuk mengikuti pendapatnya.
ØSesungguhnya selain seorang
mujtahid boleh baginya mengikuti salah
satu dari dua pendapat jika nampak keshohihannya, kemudian boleh baginya
meninggalkan pendapat yang pertama dan mengamalkan pemdapat yang kedua jika
dalail pendapat yang kedua itu dianggap paling benar.
ØTidak dibenarkan bagi seorang
mujtahid menetapkan kebenaran pendapatnya, menyalahkan pendapat yang
menyelisihinya dalam permasalahan yang membutuhkan ta’wil.
ØSesungguhnya perbedaan perbedaan
dalam masalah ijtihadi tidak mengeluarkan orang yang berselisih didalamnya dari
lingkaran iman, jika mereka mengembalikan landasan pijakannya kepada Alloh dan
RosulNya.
ØSeorang mujtahid wajib baginya
mengikuti apa yang diijtihadkannya, tidak boleh meninggalkannya kecuali jika
tampak kesalahannya pada pendapat yang pertama.
Ø Sesungguhnya seorang mujtahid dalam
masalah masalah ijtihadi mendapatkan satu pahala dan dua pahala jika ia
bertaqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dalam berijtihad.
ØSesungguhnya masalah masalah
ijtihadi secara umum bersifat Dzonny.
Keempat: Jika Diketahui Bahwa Masalah
Ijtihadi Mepunyai Hukum Hukum Khusus, Wajib Dibedakan Antara Masalah Masalah
Ijtihadi Dan Masalah Masalah Khilafiyah.
Kelima: Ijtihad Tidak Berlaku Dalam
Sebuah Masalah Yang Telah Ditegaskan Wahyu Ilahi, Karena Beramal Dengan Al
Qur’an Dan Assunnah Adalah Sebuah Kewajiban Untuk Semua Mukalaf.
Keenam: Sebab Sebab Perbedaan
Dikalangan Para Ulama:
ØSalah seorang mujtahid mendapatkan
sebuah hadist, yang lainnya tidak mendapatkan hadist itu.
ØSebuah hadist telah didapatkan oleh
seorang mujtahid namun ia tidak mendapatkan keshohihannya.
ØSebuah hadist telah didapatkan oleh
seorang mujtahid dan telah ditetapkan keshohihannya namun seorang mujtahid lupa
tentangnya.
ØKeyakinan seorang mujtahid tentang
dilalah hadist atau ayat.
ØKeyakinan seorang mujtahid bahwa
sebuah dalil menggunakan dilalatunnash,tetapi dilalah itu bertentangan dengan
lain dalil yang menunjukan kedhoifannya, atau menasehnya, atau menta’wilnya.
Secara
etimologi (bahasa) fatwa berasal dari kata masdar فتوى
atau فتيا yang berarti penjelasan terhadap suatu
hukum.
Sedang secara
etimologi (istilah) adalah penjelasan terhadap hukum syar’i atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan kepada orang yang menguasai ilmunya.
Urgensi Fatwa
Pertama:
Sesungguhnya kedudukan mufti (orang yang berfatwa) itu telah ditetapkan oleh
Allah.
Kedua:
Salah satu kedudukan seorang mufti adalah memberikan fatwa dari apa yang telah
ia usahakan guna mendapatkannya, maka di dalam fatwanya ada kemungkinan benar
dan salah, sebagaimana pula orang yang telah lama meneliti suatu ilmu lalu
menetapkan hukumnya, seperti halnya seorang qadhi (hakim). [2]
Ketiga:
Sesungguhnya fatwa seorang mufti itu, walaupun tidak menjadi suatu hal yang
harus dilaksanakan, merupakan sebuah hukum umum yang berhubungan dengan orang
yang diberi fatwa dan yang lainnya, maka hendaknya bagi seorang mufti itu hanya
memberikan suatu hukum secara global saja, seperti barangsiapa yang berbuat
begini maka akibatnya seperti ini, dan barangsiapa yang berkata begini maka ia
harus begini. Hal ini beda dengan seorang qadhi (hakim), sebab hukum yang
disampaikan itu sudah rinci dan khusus terhadap seseorang, bukan diperuntukkan
pada selainnya.
Hukum
fatwa
Pertama: Hukum
asalnya adalah boleh
Kedua: Kadang-kadang hukumnya
berubah menjadi wajib [3],
hal itu disebabkan mufti yang akan berfatwa benar-benar menguasai permasalahan
yang akan difatwakan dan keadaan saat itu memang
Ketiga: Kadang-kadang juga hukumnya
haram
Keempat: Dimakruhkan bagi mufti
untuk berfatwa dalam keadaan lapar, marah, gelisah/risau, takut, ngantuk, atau
ketika hatinya risau ketika menolak hujjah orang yang buruk perangainya. Bahkan
jika sedikit saja dari hal-hal di atas yang ia rasakan maka ia tetap tidak
boleh berfatwa saat itu, kerana dikhawatirkan ia tidak dapat berbuat adil,
hilangnya kesempurnaan ketsiqahan dan penjelasannya. [4]
Kelima: Pembagian hukum fatwa itu dilihat dari
segi mashlahat (sisi kebaikan) dan madharatnya (sisi keburukan) di dalamnya.
Macam-Macam Fatwa
Yang
peratama : Macam-macam fatwa jika dilihat berdasar pada maksud si penanya.
Bentuk soal yang beragam, sangat mempengaruhi keragaman sebuah fatwa. Terkadang
seorang bertanya tentang hukum Allah dan Rasul-Nya, dan terkadang pertanyaan
yang dilontarakan menanyakan tentang pendapat salah satu dari seorang imam
madzhab, atau pertanyaannya adalah
tentang pendapat yang paling benar menurut pendapat sang mufti sendiri.
Kewajiban bagi seorang mufti ketika dimintai fatwa adalah menjawab pertanyaan
sesuai dengan apa yang ditanyakannya.
Yang
kedua : Macam-macam fatwa jika dillihat dari ada atau tidaknya suatu
masalah. Jika dilihat dari sisi ini maka macam-macam fatwa terdiri dari :
1.Seorang peminta fatwa bertanya tentang suatu masalah yang
telah menimpa dirinya. Sedangkan waktu pelaksanaannya sudah tiba. Maka seorang
mufti yang alim harus memberikan fatwa padanya. Karena menunda penjelasan hukum
dari waktu pelaksanaannya adalah tidak boleh.
2.Seorang mustafti bertanya tentang kejadian yang belum
terjadi, maka hal ini tidak lepas dari tiga keadaan :
Syarat-Syarat
Mufty
Pertama
: Hendaknya Ia Seorang ‘Aalim [Berilmu] Tentang Alqur’an
Kedua:
Hendaknya Ia Seorang ‘Aalim [Berilmu] Tentang As Sunnah
Ketiga:
Hendaknya Ia Seorang ‘Aalim [Berilmu] Tentang Mustholahul Hadist
Keempat:
Hendaknya Ia Seorang ‘Aalim [Berilmu] Tentang Ushul Fiqih
Kelima:
Hendaknya Ia Bersifat Adil, Sidiq, Dan Amanah.
Sifat
Mufti
Seorang Mufti memiliki kriteria
yang harus melekat dalam dirinya dan keadaanya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qoyim, beliau berkata :”Tidak sepatutnya bagi
seorang berfatwa, sampai terdapat pada dirinya beberapa kreteria; yaitu :
1.Harus mempunyai niat, jika tidak mempunyai niat ia tidak
memiliki cahaya dalam segala perkataannya.
2.Mempunyai ilmu, hilem [lemah lembut], serta kewibawaan.
3.Berpegang teguh terhadap pendapatnya dan apa yang diketahuinya.
4.Mempunyai Kapabilitas
5.Mengetahui keadaan manusia.
Sebelum pembahasan ini
dilanjutkan kepada pokok permasalahan, mungkin akan lebih baik bila kita
ketengahkan beberapa istilah syar`i yang berkenaan dengan hal ini.
1).
Ifta` 2). Mufti 3). Mustafti 4). Fatwa 5). Istifta` 6). Ijtihad dan 7).
Mujtahid.
Pertama : Yang dimaksud
dengan ifta` adalah menjawabnya seorang mufti kepada mustafti dalam bentuk
pengkabaran hukum-hukum syar`i atas
persoalan tertentu.
Kedua : Adalah seorang ahli
agama yang ditanya tentang persoalan
tersebut.
Ketiga : Orang yang bertanya
tentang suatu hukum syar`i kepada seorang mufti, baik si penanya itu seorang
yang alim atau pun seorang awam.
Keempat : Hukum Syar`i ( baca
: jawaban ) yang diberikan oleh seorang mufti.
Kelima : Bertanyanya seorang
penanya kepada seorang mufti tentang hukum sesuatu yang sedang ia hadapi
Keenam : Usaha seorang fakih dalam meneliti dalil-dalil syar`i untuk
mendapatkan suatu hukum syar`i terhadap suatu persoalan.[5]
Ketujuh : Seorang fakih yang
mengeluarkan kemampuannya dalam meneliti dalil-dalil syar`i guna mendapatkan
hukum-hukum syar`i.[6]
Perbedaan antara ifta` dan qodho`
Dari pembahasan di atas bisa kita
ketahui bahwa makna ifta` adalah menjawabnya seorang mufti terhadap persoalan
yang ditanyakan oleh seorang mustafti. Dalam bahasa lain bahwa ifta` adalah
pengkabaran tentang hukum syar`i dari suatu permasalahan. Sedangkan qodho`
adalah pengkabaran tentang suatu hukum-hukum syar`i dengan disertai adanya
penegasan dan paksaan sehingga hukum tersebut dilaksanakan.
Perbedaan antara ifta` dan qodho`
secara singkat :
Pertama
: Hak pewajiban dari suatu hukum yang telah dia dihasilkan.
Di atas telah kami singgung bahwa
seorang qodhi mempunyai hak paksa agar hukum yang ia fatwakan tersebut dilaksanakan oleh si penanya. Adapun seorang mufti tidak
mempunyai hak paksa agar hukum yang telah ia fatwakan tersebut dilaksanakan
oleh si penanya.
Kedua
: Syarat-syarat bagi seorang qodhi dan mufti
Ketiga
: Kepada siapa fatwa tersebut diberlakukan.
Keempat
: Konsekwensi dari pernyataan hukum atau fatwa yang dikeluarkan.
Untuk mengetahui persamaan dan
perbedaannya, akan sangat lebih baik bila kita lihat kembali sifat dan
syarat-syarat bagi seseorang sehingga ia disebut sebagai seorang mufti.
A.Seorang laki-laki ( muslim ) yang paham dengan kitabullah,
baik yang nasikh atau pun yang mansukh, muhkam dan mutasyabih, ayat-ayat
makkiah atau pun madaniah.
B.Paham dengan sunnah Rasulullah .
C.Paham dengan bahasa arab baik nahwu, sorof, balaghoh, syair
atau yang lainnya.
D.Paham dengan ijma` dan khilaf pada umat Islam.
E.Usul fiqih.
F.Paham dengan fiqih waqi`.
G.Dll.
Syaikh Abdul Qodir Bin Abdul Aziz - membagi mufti kepada
beberapa tingkatan . diantaranya adalah:
1.Mufti sebagai seorang mujahid muthlak.
2.Mufti yang merujuk
kepada salah satu madzhab tertentu.
3.Mufti/ mujtahid pada bidang ilmu tertentu.
4.Seorang yang secara khusus mendalami salah satu kitab dari kitab-kitab fiqih.
5.eorang yang mempunyai
beberapa kitab-kitab hadits atau sebagiannya saja.
6.Seorang awam yang mengetahui
hukum perkara-perkara tertentu
Perbedaan Antara
Fatwa Dan Nasihat
Dimuka telah disebutkan bahwa fatwa
adalah sebuah jawaban tentang
hukum-hukum syar`i yang diberikan oleh seorang mufti bagi seorang mustafti. Bila dilihat dari syarat-syarat seorang
mufti, maka tidak dibenarkan bagi seorang awam memberikan fatwa kepada orang
lain. Sebab bila orang tersebut belum sampai pada derajat mujtahid fatwa yang ia keluarkan tidak dianggab sah, alias
batal. Kecuali bila ia berfatwa pada beberapa disipilin ilmu tertentu yang telah ia kuasai, meskipun ia
bukan seorang mujtahid fatwanya tetap sah. Hal ini sebagaimana pendapat dari
sebagian ulama`.
Sedangkan
nasihat maknanya lebih luas bila dibandingkan dengan fatwa. Sebab nasihat
adalah wejangan atau pun teguran yang diberikan kepada seseorang dengan
didasari rasa kasih sayang , yaitu rasa harap atas tercapainya suatu
kebaikan kepada diri orang yang
diberikan nasihat tersebut. Juga bila ditinjau dari segi harfiah makna nasihat
itu sendiri adalah bentuk dari ketulusan hati.[7] Sehingga
dari segi keluasan makna nasihat tersebut, ia bisa berasal dari seorang alim
atau pun seorang bodoh, dari seorang
sholih atau seorang fasik, seorang tua atau seorang anak muda. Sebab nasihat
adalah sebuah wejangan atau pun teguran
yang muncul dari rasa kasih sayang dan ketulusan hati, sehingga ia bisa
berasal dari dan untuk siapa saja. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan fatwa yang tidak sah kecuali dari seorang
alim yang telah sampai pada derajat mujtahid sebagaimana yang telah dijelaskan
di muka.
☝Itulah
poin poin penting yang merupakan hasil dari kajian ini. Dan kepada Alloh lah
kami memohon agar memberikan taufiq Nya serta kebenaran bagi kita. Sesungguhnya
Dia Maha Kuasa atas segala apa yang dikehendaki Nya.
[2] I’lamul
Muwaqi’in 1/36, Ma’alim Ushulul Fiqh hal. 512
[3] I’lamul
Muwaqi’in 4/157, 222, Ma’alim Ushulul Fiqh hal. 513-514
[4] I’lamul
Muwaqi’in 4/227, Ma’alim Ushulul Fiqh hal. 514
[5]
Bisa dilihat dalam “ Maalim
Ushulil Figh Inda Ahli Sunnah Wa Al
Jamaati” Muh. Ibnu Husain Ibnu Hasan Al Jizani, Hal :470
[6]
Baca makalah Abdul Qodir Ibnu
Abdil Aziz, 4/ 8
[7]
Bisa dilihat dalam “ Jamiul Ulum Wa Al Hikam, hal : 107-109.
0 comments:
Post a Comment