Ahmad Bin Hambal
Oleh: Firmansyah
Nama Beliau
Dialah Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin
Anas bin Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin
‘Ukabah bin Sho’b bin Aly bin Bakar Wail bin Qosith bin Hinbun bin Aqso Asy
Syaibani al Maruzy adz Dzuhly al Baghdady. Beliau memiliki kunyah Abu Abdillah.
Kelahiran dan Nasab Beliau
Beliau dilahirkan pada bulan Rabiul
Awal tahun 164 Hijriyah di Baghdad ibukota ketika itu. Hal ini sebagaimana yang
diceritakan oleh putranya Shalih dan Abdullah. Tidak ada yang berselisih
tentang tahun kelahirannya. Hal ini disebabkan beliau mengetahui tahun
kelahirannya dan menyebutkannya. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
yang para ulama berselisih.
Ketika itu, ibunya datang dalam
keadaan hamil dari Marwa yang mana ayahnya berada di sana. Adapula yang
mengatakan dilahirkan di Marwa. Akan tetapi yang shahih adalah dilahirkan di
Baghdad. Beliau memiliki nasab arab baik dari jalur ayah maupun ibu. Sebab
keduanya berasal dari qobilah Syaiban yang merupakan keturunan qobilah Rabi’ah
Adnaniyah yang bertemu jalurnya dengan nabi Muhammad saw di jalur nizar.
Qobilah Syaibani dikenal dengan tekadnya, kesabarannya, dan baik dalam cobaan
baik di masa jahiliyah maupun islamiyah. Darah inilah nantinya yang akan
diwariskan kepada Imam Ahmad bin Hambal.
Adapun Hambal bukanlah nama ayahnya
akan tetapi merupakan nama kakeknya. Ayahnya adalah Muhammad bin Hambal bin
hilal. Pada mulanya keluarga ini tinggal di Khurosan. Di wilayah tersebut
kakeknya menjadi wali di wilayah Sarkhos. Kemudian ayahnya merupakan panglima
dari panglima kaum muslimin atau seorang tentara yang dekat kedudukannya dengan
panglima. Kemudian keluarga tersebut pindah ke Baghdad ketika mendekati
kelahiran beliau.
Akan tetapi Imam Ahmad belum sempat
melihat ayahnya. Ada yang menyebutkan ketika ayahnya meninggal beliau belum
dapat melihat dengan membedakan. Para ahli tarikh menyebutkan bahwa ayahnya
meninggal dalam usia muda yakni usia 30 tahun dari umurnya. Beliaupun diasuh
oleh sang bunda dengan pemeliharan dari pamannya.
Kecenderungan Terhadap Ilmu
Sedari kecil beliau sudah cenderung
untuk belajar islam. Beliau menghafal qur’an kemudian mempelajari bahasa arab,
hadits, atsar shahabat, atsar tabi’in, siroh nabi Muhammad saw, shahabat dan
tabi’in. Telah nampak tanda-tanda kecerdasan beliau dan ketaqwaan semenjak masa
muda beliau.
Beliau memilih ilmu -sesuai dengan
arahan keluarganya- sehingga selaras antara ketakwaan dengan tabiatnya. Beliau
tidak memilih filsafat, tidak pula matematika akan tetapi meilih ilmu agama. Di
antara ilmu dien tersebut beliau memilih ilmu hadits. Padahal ketika itu, untuk
melakukan perjalanan berpindah antara satu negeri ke negeri lainnya.
Dari hadits beliau pindah ke fiqh.
Sehingga berkumpul di hatinya fiqh dan hadits -walaupun para ulama menyebutkan
bahwa dirinya condong kepada hadits akan tetapi menurut ijma’ terkumpul di
dalam dirinya dua cabang ilmu tersebut-.
Banyak yang kagum terhadap beliau. Hingga
Haitsam bin Jamil berkata: “Apabila pemuda ini masih hidup nanti niscaya dia
akan menjadi hujjah pada masanya”.
Ternyata semua ini menjadi kenyataan.
Dikalangan shahabatya beliau dikenal
dengan ketaqwaan, perhatian terhadap amal, kesabaran, kerja keras, dan kuat
menahan cobaan. Beliau bersungguh-sungguh di antara pemuda yang berleha-leha
dan bermain-main. Beliau memiliki semangat dalam beramal, hingga membuat para
orang tua merasa iri dan ingin anaknya seperti dirinya. Bahkan diriwayatkan
bahwa sebagian orang tua berkata: Aku akan menginfakkan uang untuk anakku dan
akan ku datangkan para pendidik untuk mengajari mereka hingga aku melihat
mereka sukses. Lihatlah Ahmad bin hambal yang hanya seorang anak yatim,
bagaimana dia bisa membuat takjub adabnya dan cara bergaulnya?
Perjalanan Mencari Ilmu
Terlahir dalam keadaan yatim tidak
membuat beliau pupus harapan untuk menjadi seorang ulama. Terbukti, Imam Ahmad memilih
hidupnya untuk menjadi muhaddits yang meriwayatkan hadits, menulisnya, dan
menyampaikannya kepada generasi sesudahnya. Beliau tidak mengambil hadits yang
tidak ada keterangannya. Beliau memulai dari fiqh yang mengumpulkan antara
riwayat dan diroyat. Beliau mengambilnya dari Abu Yusuf teman Abu Hanifah.
Ketika itu beliau merupakan qodhi daulah. Akan tetapi beliau condong kepada
haditsnya dan tidak terlalu tertarik dengan fiqhnya. Oleh karenanya beliau
berkata: Yang pertama kali aku catat haditsnya adalah dari Abu Yusuf”. Yakni
dia bertalaqy dari Abu Yusuf hadits dan merasakan fiqhnya.
Beliau mulai mencari hadits pada tahun
179 H, ketika umurnya menginjak 15 tahun. Sejak tahun tersebut beliau bermuqim
di Baghdad untuk mengambil hadits dan menulis setiap yang didengar hingga tahun
186 H. Beliau mengambil hadits dari para syaikhul hadits di sana. Beliau
mencukupkan diri 7 tahun setelah menimba hadits dari ulama’ Baghdad dan
menghafalkan fatwa ulama dan perkara yang terjadi di antara shahabat dan tabiin
dalam bab fiqh yang berbeda. Daerah yang beliau ambil pertama kali adalah
Baghdad. Setelah beliau hafal kebanyakan haditsnya, beliau pindah. Pada tahun
ini pula datang ahlu hadits Abdullah bin al Mubarok kemudian beliau berusaha
mendatanginya. Sayangnya Ibnu Mubarok telah berangkat ke Thorosus untuk
memerangi Romawi.
Kebanyakan beliau mendengar hadits dari
Husyaim bin Basyir. Beliau bermulazamah kepadanya hingga Husyaim bin Basyir
meninggal tahun yakni tahun 183 H. Beliau menulis lebih dari 3000 hadits.
Tampaklah kemampuan Imam Ahmad ketika itu. Ketika syaikhnya meninggal, beliau
melakukan perjalanan ke Kufah dengan berjalan kaki. Itulah perjalanan
perdananya. Umurnya ketika itu 20 tahun. Di sana beliau berguru kepada Abu
Muawiyah Adh Dharir (wafat 194 H) dan waki’ (wafat 197 H). Tersiar kabar bahwa
beliau merupakan hujjah dalam hadits Husyaim. Sampai-sampai Imam Waki’ bertanya
kepadanya apakah masih ada hadits yang tidak diketahuinya dari Husyaim.
Beliaupun menjawab: “Sudah tidak ada lagi”. Di Kufah beliau hafal seluruh kitab
Waki’ dan banyak tulisan tentangnya. Imam Waki’pun begitu menghormatinya dan mengakui
kemampuannya.
Kemudian pada tahun 186 H beliau
melakukan perjalanan ke Bashroh. Di sana beliau mendengar dari Mu’tamir bin
Sulaiman (wafat 187 H), Bisy bin Al Mufadhol (wafat 187 H), dan Marhum bin
Abdul Aziz al Umawy (wafat 188 H), serta ulama lainnya.
Di tahun berikutnya perjalanan
dilanjutkan ke Hijaz. Seluruh perjalanan beliau berkutat antara Bashroh, Kufah,
Hijaz, dan Yaman. Beliau langsung mengambil hadits dari mereka yang masih hidup.
Beliau tidak pernah mencukupkan hanya dengan buku yang diriwayatkan oleh mereka
tanpa bertemu bertatap muka. Hal ini agar lebih kuat derajat periwayatannya.
Dikisahkan beliau melakukan perjalanan
ke Bashroh lima kali dan ke Hijaz lima kali. Perjalanan perdana pada tahun 187
H. Pada tahun itulah untuk pertama kalinya bertemu dengan Imam Syafi’i. Pertemuan
tersebut terjadi di Masjidil Haram di Makkah. Sedangkan pertemuan kedua di
Baghdad, ketika Imam Syafi’I berkunjung ke sana untuk menyebarkan madzhabnya.
Beliau mendahulukan untuk mengambil
hadits dan mengakhirkan fiqh. Ketika itu ulama hadits tersebar di seantero
penjuru negeri di negeri islam. Di Baghdad, Kufah, Bashroh, Hijaz, dan Yaman.
Beginilah keadaan para pencari hadits. Harus melakukan perjalanan lintas negeri
untuk berburu hadits.
Adapun perjalanan haji Imam Ahmad
diceritakan secara rinci oleh Ibnu Katsir. Beliau berkata: “Haji pertama pada
tahun 187 H, kemudian 191 H, kemudian haji ketiga dan keempat tahun 196 H dan menetap
hingga 197. Kemudian berhaji kembali tahun 198 H dan menetap hingga 199 H.”
Imam Ahmad berkata: “Aku haji lima
kali, tiga di antaranya dengan berjalan kaki”. Dalam salah satu haji aku
menginfakkan 30 dirham. Pernah suatu ketika aku tersesat dan aku berjalan kaki.
Kemudian aku berkata: Wahai hamba Allah tunjukkanlah kepadaku jalan yang benar.
Akhirnya aku mendapat petunjuk jalan yang benar.” Begitulah perjalanan haji
beliau. Akan tetapi perjalanan haji tersebut tidak hanya semata-mata untuk
berhaji akan tetapi memeliki niatan lain. Yakni untuk menyebarkan hadits
rasulullah saw.
Dalam
mencari hadits beliau rela menempuh perjalanan yang jauh dan susah. Di manapun
mereka berada akan didatangi. Beliau lebih mengutamakan yang banyak ujiannya
daripada yang lebih mudah didapatkan. Sebab yang mudah akan dilupakan sedangkan
yang didapatkan dengan cara yang susah akan lebih berkesan dan sulit untuk
dilupakan.
Seusai haji, beliau pernah memiliki
keinginanan untuk menimba ilmu kepada Abdur Rozaq bin Hammam -seorang ahli
hadits yang berasal dari Shon’a- untuk mengambil hadits darinya. Akhirnya beliaupun
berhasil mewujudkannya. Padahal ketika haji beliau bertemu dengannya dan
memungkinkan baginya untuk mengambil hadits darinya. Akan tetapi beliau lebih
memilih untuk mencari dengan susah
payah.
Dalam perjalanan ke Shon’a kehidupan
beliau sungguh merana. Kendaraannya pun susah. Pun, ketika dalam perjalanan
bekal beliau habis. Maka beliau أكرى نفسه في menawarkan jasa kepada mereka yang akan
mengangkutnya. Padahal teman-temannya menawarkan diri untuk mengulurkan bantuan.
Dengan halus semua tawaran tersebut ditolak sembari mengucap syukur dan memuji
Allah karena telah memberikan kekuatan yang memungkinkan baginya untuk
memperoleh bekal sepanjang perjalanan dengan kekuatan badannya.
Sesampainya di Shon’a beliau bertemu
dengan Abdur Rozzaq. Abdur Rozzaq pun berusaha untuk menolongnya dengan
mengulurkan beberapa dinar seraya berkata: Ambillah ini dan manfaatkanlah.
Sesungguhnya bumi kita ini bukanlah bumi perdanganan.” Imam ahmad pun
menolaknya dengan santun dan berujar: “Aku dalam keadaan baik”. Di sana beliau
tinggal selama 2 tahun dalam keadaan susah. Beliau mendengar hadits dari jalur
Az Zuhri dan Ibnu Musayyib yang sebelumnya pernah didengarnya.
Perjalanan Karir Beliau
Imam Ahmad mencari ilmu langsung ke
sumbernya. Beliau menulis dari mereka dan menghafalkan apa yang beliau tulis
dengan semangat. Beliau tidak saja mencukupkan diri di Baghdad akan tetapi
beliau juga melancong ke seluruh penjuru negeri untuk menimba ilmu.
Beliau merasa kehilangan para senior
dalam bidang hadits. Akan tetapi Allah
memberikan ganti. Karenanya beliau berkata: “Aku telah kehilangan Malik maka
Allah menggantinya dengan Sufyan bin Uyainah. Aku juga kehilangan Hammad bin
Zaid maka Allah pun menggantinya dengan Ismail bin ‘Aliyah.”
Beliau tidak duduk untuk memperdengarkan
hadits dan fatwa kecuali setelah berumur 40 tahun. Hal ini sebagaimana yang
diceritakan oleh Ibnu Jauzy. Padahal ketika itu sebagian orang semasanya
mendatangi beliau untuk mencari hadits pada tahun 203 H. Beliau enggan
meriwayatkan hadits malahan pergi ke Abdur Rozaq bin Hamam yang berada
di Yaman. Kemudian pada tahun 204 H beliau pulang. Setelah kepulangannya
tersebut beliau mulai meriwayatkan hadits dan orang banyak mulai mendatanginya.
Sebenarnya ada rahasia di balik itu
semua. Menilik kisah Imam Syafi’i kita dapati beliau sudah mulai meriwayatkan
hadits dan berfatwa sebelum umurnya mencapai 40 tahun. Begitu juga Imam Malik. Lantas
apa rahasia di balik itu? Ada yang mengatakan bahwasanya ketika itu guru Imam
Ahmad masih hidup. Maka beliau pun enggan sebab Abdur Rozaq masih hidup.
Pujian Para Ulama
Abdur Rozaq As Shon’ani berkata: “Aku
tidak pernah melihat seseorang yang lebih faqih, tidak pula lebih wara’ dari
Ahmad bin Hambal”.
Qutaibah
bin Sa’id berkata: Sebaik-baik penduduk di masa kami adalah Ibnu Mubarok
kemudian pemuda ini -yakni Ahmad bin Hambal-. Apabila kamu melihat seorang
laki-laki mencintai Ahmad, maka ketahuilah dia adalah pengikut sunnah.
Seandainya dia mendapati masa Ats Tsauri, al Auza’i, dan Laits tentu akan lebih
diutamakan daripada mereka. Kemudian ada yang bertanya kepada Qutaibah: Apakah
Ahmad dimasukkan di kalangan tabi’in? Beliau menjawab: “Bahkan kepada Kibaru
Tabi’in”.
Hirmalah
berujar: Aku mendengar Imam Syafi’i bertutur: “Aku meninggalkan Baghdad dan
tidak kutinggalkan seorang laki-laki yang lebih baik, lebih tahu, lebih faqih,
dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hambal.”
Ali bin Khosyram berkata: aku
mendengar Basyar bin al Harits bercerita: Aku bertanya tentang Ahmad bin
Hambal. Sesungguhnya Ahmad laiknya dimasukkan ke pembakaran kemudian keluar
emas merah”.
Amru an Naqid berkata: “Apabila Ahmad bin Hambal
sesuai denganku dalam masalah hadits maka aku tidak akan menghiraukan siapapun
yang menyelisihiku”.
Muhammad bin Yahya adz Dzuhly berkata:
“Aku menjadikan Ahmad bin Hambal Imam antara aku dan Allah.”
Ali bin Madini berkata: “Apabila aku
mendapatkan satu permasalahan, kemudian Ahmad bin Hambal memberikan fatwa
kepadaku, maka aku tidak akan menghiraukan bagaimana keadaanku apabila bertemu
dengan Rabbku”
Yahya bin Mu’in berkata: Sesungguhnya
di dalam diri Ahmad bin Hambal terdapat sifat yang tidak pernah ku lihat di
alam ini. Dia seorang muhadits (ahli hadits), hafidz, alim, wara’, zuhud, dan
berakal. Dia melanjutkan perkataannya: “Manusia ingin kami seperti Ahmad bin
Hambal, demi Allah, kami tidak kuasa untuk menjadi sepertinya dan tidak mampu
mengikuti jalannya.”
Ibnu Jauzi dalam kitab Manaqibul Imam
Ahmad bin Hambal berkata: Aku mendengar Abdul Malik al Maimuny berkata: “Kedua
mataku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mulia daripada Imam Ahmad bin
Hambal. Aku juga tidak pernah melihat seorang ahli hadits yang lebih
mengagungkan batasan-batasan Allah dan sunnah Nabinya apabila dianggapnya
shahih. Tidak pula seseorang yang lebih mengikuti sunnah melebihi dirinya.”
Marudzi berkata: “Aku melihat dokter Nasrani
keluar dari rumahnya Imam Ahmad dan bersamanya Pendeta. Pendeta tersebut berkata:
‘Sesungguhnya dirinya memintaku untuk menemaninya bertemu dengan Abu Abdullah (Imam
Ahmad). Kemudian aku mengajaknya masuk ke rumah Abu Abdullah, dan dia berkata
kepadanya: Sesungguhnya aku sangat ingin sekali melihatmu sejak bertahun-tahun
yang lalu. Tidaklah keberadaanmu mendatangkan kebaikan bagi Islam saja. Akan
tetapi bagi seluruh makhluk. Dan tidaklah ada salah seorang di antara teman
kami kecuali dia ridho kepadamu.”
Ibrahim al Harabi berkata: aku melihat
abu abdillah, seakan Allah mengumpulkan padanya ilmu orang-orang generasi awal
dan akhir.
Sifat-Sifat Beliau
Sesungguhnya sebagian sifat Imam Ahmad
merupakan karunia ilahi. Sebagian lainnya didapat dengan pembiasaan diri dan
pengarahan orangtuanya.
Sifat pertama adalah kuatnya hafalan
dan cepat paham. Sifat inilah yang umum ada pada para ahi hadits. Sifat ini
pula menjadi asas setiap ilmu. Oleh karenya setiap ahlu ilmi harus memiliki
hafalan. Sebab, parameter kecerdasan seseorang adalah hafalannya dan dapat
mereview hafalan tersebut pada waktu yang tepat. Sungguh, Allah telah memberikan
kepada Imam Ahmad sifat ini dengan sangat melimpah. Kabar tentang kecerdasan
tersebut sangatlah banyak yangmana satu dan yang lainnya saling menguatkan.
Orang-orang semasanya pun mengakui
kecerdasan dan kuatnya ingatan beliau. Pernah suatu ketika Abu Zar’ah ditanya:
“Syaikh dan Ahlu hadits mana yang kamu lihat paling kuat hafalannya?” “Imam
Ahmad”, jawabnya. Putranya Abdullah juga menerangkan kuatnya hafalan beliau.
Dia berkata: “Saya mendengar Abu Zur'ah berkata: "Ayahmu hafal 1.000.000
hadits.”
Selain menghafal hadits rasulullah
saw, sunnah shahabat dan fatwa mereka, perkataan tabiin dan fatwa mereka,
beliau paham betul terhadap apa yang dihafal. Laiknya seorang arif yang menyimpulkan
atas apa yang diketahui. Inilah yang membuat nilai lebih pada diri Imam Ahmad
bin Hambal. Sebab, di masanya para ahli hadits hanya dapat meriwayatkan tanpa
memahami kandungan fiqh di dalamnya. Mereka tidak dapat mengistinbatkan hukum
fiqh darinya. Berbeda dengan Imam Ahmad.
Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh
Ishaq bin Rahawiyah: “Aku bermajelis dengan Imam Ahmad, Yahya bin Mu’in, dan
teman-teman kami di Iraq. Maka aku bertanya: “apa maksudnya ini? Apa Tafsirnya?
Akan tetapi mereka tidak faham. Mereka tidak menjawabnya kecuali Ahmad bin
Hambal”.
Sifat kedua adalah Sabar dan solid. Asasnya
adalah kuatnya kemauan beliau dan kejujurna tekad. Terbukti ketika beliau
melakukan safar dalam mencari hadits. Selama perjalanan beliau tidak mau
menerima pemberian. Beliau memilih untuk bekerja dan memakan hasil kerja
tangannya sendiri untuk bertahan hidup. Padahal tak sedikit yang mau memberinya
uang.
Begitu juga karena tekad beliau
membela kebenaran akhirnya membuatnya harus mendekam di
balik jeruji penjara. Semuanya diterima dengan sabar. Oleh para ulama hal ini
dimasukkan dalam kategori “Shabrun Jamil”. Selama di penjara beliau terpaksa
tidak dapat menyampaikan hadits, memberikan penjelasan permasalahan agama, dan
kegiatan dakwah lainnya.
Dalam menghadapi semua itu beliau
tidak pernah berkeluh kesah ataupun mengadu kepada siapaun. Tidak pula meminta
keringanan hukuman kepada penguasa ketika itu.
Beliau juga zuhud terhadap dunia. Tidak
mau menerima pemberian dari sahabatnya, amir, ataupun dari kholifah. Padahal
beliau menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa boleh berhaji dengan harta
tersebut. Namun beliau lebih memilih untuk meninggalkan semua itu.
Sifat yang lain adalah ikhlas. Allah
telah memberikan karunia banyak kepada Imam Ahmad dengan mengaruniakan
keikhlasan dalam mencari ilmu kitab (al Qur’an) dan as sunnah. Tidak pernah
terbersit keinginan dunia dari semua ilmu tersebut. Yahya bin Mu’in bertutur:
“Tidaklah aku melihat orang yang menyerupai Ahmad bin Hambal. Aku bersahabat
dengannya 50 tahun, akan tetapi tidak pernah kudapati dirinya membanggakan apa
yang ada padanya dari kebaikan.”
Beliau juga tidak pernah menceritakan
amal yang beliau kerjakan. Tidak dalam ibadah, maupun ketika mencari ilmu,
sekecil apapun itu. Sampai-sampai ketika membawa alat tulis merupakan riya’.
Beliau berkata: “menampakkan tinta termasuk riya’” Oleh karenanya beliau tidak
menampakkannya.
Dari diri beliau terpancar aura
karisma yang membuat setiap orang yang melihatnya segan. Beliau disegani oleh
kawan maupun lawan. Sehingga setiap perkataannya mengena ke lubuk hati yang
paling dalam. Hingga para prajurit yang akan menanggap beliau dan mengepung
rumahnya enggan untuk mengetuk pintu. Mereka hanya berdiri di luar. Akhirnya
mereka mengetuk rumah paman beliau dan masuk lewat pintu tersebut.
Perasaan ini pula yang dirasakan oleh
para murid-murid beliau. Padahal beliau seorang yang lembut, baik ketika
mengajar maupun dalam pergaulan. Tak heran apabila salah seorang dari murid
beliau berkata: “Kami segan untuk membantah atau mendebatnya beliau dalam suatu
perkara.”
Di dalam majelis beliau tidak terdapat
hal yang sia-sia. Tidak dibicarakan kecuali tentang ilmu qur’an dan sunnah atau
hanya diam.
Selain itu beliau seorang yang tekun
dalam beribadah. Ujian yang menimpa beliau sehingga di penjara, tidak
membuatnya futur. Walaupun akibat dari siksaan yang beliau terima melemahkan
fisiknya namun tidak menyurutkan tekadnya. Sebagaimana yang diceritakan oleh
putranya, Abdullah bin Ahmad. Dia bertutur: “Ayahandaku senantiasa shalat 300
rakaat dalam sehari semalam. Dan ketika beliau sakit karena cambukan, maka
semua itu melemahkan dirinya. Oleh karenanya beliau shalat 150 rakaat dalam
sehari semalam.”
Sifat yang lain adalah supel dan baik
dalam pergaulan. Beliau adalah seorang yang sangat pemalu. Beliau malu kepada Allah
sebenar-benar malu. Tidak seperti malunya orang munafiq. Ketenaran beliau tidak
membuatnya menyombongkan diri. Tapi beliau tetap seperti sediakala.
Syaikh Beliau
Ibnu
Jauzy menyebutkan syaikh yang beliau meriwayatkan dari mereka. Mereka sangatlah
banyak. Adapun yang paling nampak adalah Hasyim, Sufyan bin Uyainah, Jarir bin
Abdil Hamid, Waki', Abu Mu'awiyah Adh Dhoror, Abdurrahman bin Mahdi, Asy
Syafi'i, Abdur Rozaq, 'Affan, Abu Nu'aim, Abdullah bin Numair.
Imam
Adz Dzahaby berkata: "Jumlah syaikh yang beliau meriwayatkan dari mereka
dalam musnadnya berjumlah dua ratus delapan puluh sekian.
Adapun
Syaikh yang meriwayatkan dari beliauadalah Abdur Rozaq dan Asy Syafi'i.
Murid beliau
Yang
meriwayatkan dari Imam Ahmad sangatlah banyak. Ada di antara mereka yang meriwayatkan
haditsnya saja. Ada pula yang fokus dalam meriwayatkan masail beliau menuliskannya.
Sebagian lainnya melakukan keduanya. Adapun yang paling terkenal yang
meriwayatkandari beliau adalah Al Bukhory, Muslim, Abu Daud, Tirmidzy, dan An
Nasa''i.
Akhir Hayat Beliau
Setelah
mencari ilmu, menyebarkannya, dan membela aqidah salaf maka datanglah ajal
menjemput. Beliau meninggal padaq hari Jum'at 12 Rabiul Awal tahun 241 H pada
umur 77 tahun. Ketika meninggal yang melayat tidak kuran dari 800000 orang. Sebab
ketika beliau meninggal beliau masyhur hingga penjuru iraq dan setiap jengkal
wilayah islam. Maka meninggalnya beliau merupakan sesuatu yang menggemparkan
yang diketahui oleh banyak orang.
Karangan Beliau:
Imam Ahmad tidak terlalu senang untuk menulis. Beliau
merupakan seorang hafidz yang telah banyak diakui kekuatan hafalan beliau.
- Musnad Ahmad bin
Hambal
- Buku ‘Ilal,
disebutkan oleh al ‘Uqaily di “Adh Dhu’afa’ 3/239. buku tersebut dibacakan
kepada Abdullah bin Ahmad dari ayahnya. Dicetak di Istanbul tahun 1987
dalam dua jilik dengan tahqiq dari Qouj Yaikit dan Ismail Jaroh Ughly.
Dicetak pula di Maktab Islami tahun 1988 H dengan tahqiq Doktor Muhammad
Abbas dalam empat jilid.
- Kitab Nasikh dan
Mansukh
- Kitab “Zuhud”,
Ibnu Hajar dalam “Ta’jilul Manfa’ah” berkata: Sesungguhnya itu buku yang
besar. Besarnya mencapai sepertiga kitab musnad. Di dalamnya terdapat
banyak hadits-hadits dan atsar yang tidak terdapat dalam kitab musnad.
- Kitab “Al
Faroidh”
- Kitab “Al
Manasik”
- Kitab “Al Iman”.
- Kitab “Al
Asyribah”
- Kitab “Tha’atur
Rasul”
- Kitab “Kitab Ar
Raddu ‘ala al Jahmiyah”. Imam Adz Dzahabi dalam “As Siar” berkata: “Ar
Roddu ‘ala al Jahmiyah” merupakan buku karangan Abu Abdillah -yakni Imam
Ahmad-
- Hadits Syu’bah
- Al Muqoddam wal
Muakhkhor fie kitabillah.
- Jawabatul Qur’an
- Kitab “Nafyu At
Tasybih”
- Kitab “Al Imamah”
- Ar Risalah fie
Ash Shalah
- Kitabul Fitan
- Kitab “Fadhoilu
Ahlil Bait”
- Musnad Ahlil
Bait
- Al Asma’ wal
Kuna
Selain
karangan tersebut di atas masih banyak lagi karangan-karangan lainnya.
Referensi:
-
Muhadharat
fie tarikh al Madzahib al Fiqhiyah, Al Ustadz Asy Syaikh Muhammad Abu Zahrah,
Al Mathba’ Al Madany
-
Ahmad bin
Hambal, Al Imam Muhammad Abu Zahroh, Darul Fikri Al ‘Aroby
-
Musnad Ahmad
bin Hambal, Tahqiq Syu’aib al Arnold, Adil Mursyid, Al Muassasah Ar Risalah,
Cetakan pertama 1995 M/ 1416 H.
-
Nuzhatul
Fudhala’ Tahdzib Siyaru An Nubala’, Muhammad Hasan ‘Aqil Musa, Darul Andalus
-
Al Masail wa Rosail
al Marwiyah 'an Imam Ahmad bin Hambal, Dar Thoyyibah, Cetakan pertama, 1991 M /
1412 H.
0 comments:
Post a Comment