Perempuan
berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku
sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini
tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus
melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama
suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur
moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat.
Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang
sudah begini.
Tapi
anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan
bahwa keadaannya tidaklah selalu demikian. Dalam
masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki
benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis
menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku.
Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan,
melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan
langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan
ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19.
Dalam
masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan
Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan
kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam
pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga
anggota dari Dewan Suku.
Demikian
pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah
mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun
jika kita cermati lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan
perempuan dan laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang
mengandalkan perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan
utama mereka. Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih
dalam bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat
Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika
hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi
bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum
perempuan sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal
yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara
bersama-sama.
Namun,
ketika berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat
pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Pertanian
dan Bangkitnya Patriarki
Berlawanan
dengan pandangan umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia
tidaklah dengan sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang
beranggapan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah
subur yang cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi
menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan
kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan
untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.
Peradaban
pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya
lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang
rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah
ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai
pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika
Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat
perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara
dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan
buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan
pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah
sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai
Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus
oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan
seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang
berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan
pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai
ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih
tersedia air.
Proses
penaklukan ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka
miliki, pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus
menciptakan improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk
membersihkan lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan
lahan ini dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada
binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu.
Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.
Dan
di saat inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru
selamat. Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian
menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa
yang tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama
seluruh masyarakat.
Keharusan
manusia untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat
perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian,
jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya.
Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan
bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual).
Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari
proses komunal menjadi proses individual.
Dan,
hal yang paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah
bahwa hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian
memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia.
Di
samping itu, pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu
dan mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada
yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil
lebih pada pri-kehidupan manusia.
Namun,
hasil lebih ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket.
Sekali panen, mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar
cukup sampai panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan
membagi hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini
menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara
pada pri-kehidupan manusia.
Sekalipun
berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik,
perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan
manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan
atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh
dunia.
Dan
salah satu perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan.
Pertama,
pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena
tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan
lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses
reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan
sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak
pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah masyarakat berburu
dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting. Dewi Kesuburan merupakan
salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat pertanian, bukan hanya
berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi
perempuan.
Dan
sebagai akibat logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari
proses produktif di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap
ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua,
teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah membuat
aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan.
Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak (luku) telah menggusur
kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian yang
berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak
biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian
terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi
(mendesak masuknya) peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum
perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena
perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun
semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika
perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai
menampakkan batang hidungnya di muka bumi.
Kepemilikan
Pribadi dan Patriarki
Tergesernya
kaum perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya
kepemilikan pribadi. Dengan semakin bergesernya
proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan
masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil
adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.
Hampir
di tiap masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak
dikenal. Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem
reproduksi masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat
Zulu, di Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum
perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya
diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem
di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku
tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di
sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana
mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari
semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi
dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.
Oleh
karena pola reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya
dapat dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif
hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata
"gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata
kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran" atau
"kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk yang
sangat bernuansa perempuan pada awalnya.
Namun
demikian, garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah
seseorang dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam
makna yang lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat
dalam Dewan Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada
masa itu tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara
kedudukannya di tengah masyarakat.
Namun,
pertanian mengubah semua itu.
Di
atas kita telah melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari
lapangan produktif ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses
yang diterima baik oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat
secepatnya meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu
sendiri. Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan
produksi demi satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi
setinggi-tingginya. Yang tidak dapat dilihat oleh kaum perempuan masa itu
adalah peranan kepemilikan pribadi dalam menempa sebuah sistem masyarakat.
Dalam
hal ini, karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka
alat-alat produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas
alat-alat produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu,
kepemilikan atas hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi
kepemilikan perorangan.
Dan
karena perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada
laki-laki, maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh
kepada laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada
laki-laki, kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.
Berikutnya,
ketika kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil
produksi ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena
merekalah yang bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.
Ketika
hak untuk mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang
oleh kaum laki-laki, bangkitlah patriarki.
Perlahan-lahan,
setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul
pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan.
Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung
tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan
oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.
Salah
satunya nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai
yang paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling
kuno, seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa
mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini
sama sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi
kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi
(perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan
kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun
menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali
tidak dapat menghalangi apa yang dimaui oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap
masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti
Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun
objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang
dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah
kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural
tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan
kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau
perempuan.
Kemungkinan-kemungkinan
untuk Pembebasan Perempuan
Di
atas kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam
masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan
produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari
tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk
memasuki lapangan produksi.
Posisi
kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya
memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang
menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.
Karena
ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif
maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini
harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan
tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi
kolektif.
Kondisi
ini sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang
mengandalkan mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum
perempuan untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat.
Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali
ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan
hidup keluarganya.
Lagipula,
kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin
kolektif. Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan
ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan
untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan
ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin
hari semakin berjaya kembali.
Dapatlah
kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang
yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah
berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini
perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan
perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk
memilih pasangan hidup.
Namun
demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan
perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah
masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran
terhadap peran perempuan.
Kita
dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah
daripada pekerja laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja.
Demikian pula yang terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri
perfilman di mana aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.
Masih
dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih
diposisikan sebagai "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris,
misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik".
Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha
keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini
berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam
masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah
ia "cantik", "seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik
lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya
karena apa yang "cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu
demikian untuk jaman lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran
sebagai bentuk eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja
tenaganya yang dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.
Di
tengah masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan.
Banyak bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini
berusaha mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan
hendak dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan
hendak dibatasi kembali ruang geraknya.
Sebaliknya,
banyak pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat
pembatasan-pembatasan, ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan
turut menindas, kaum perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka
bumi ini, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum
perempuan dari keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer
dan direktur perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari
mereka yang berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan
seluruh hak mereka sebagai perempuan?
Contoh
paling kongkrit kita dapatkan di negeri sendiri. Presiden Megawati adalah
seorang perempuan, namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang
memberikan perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia.
Padahal, tindakan meratifikasi konvensi PBB adalah termasuk langkah politik
yang moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan
hidup. Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan
Indonesia yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan
tembok-tembok domestik.
Di
atas telah kita lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan
ketertindasan perempuan: kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi tumbuh
dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang kebutuhan
dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi demikian.
Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara kolektif. Namun,
hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara pribadi, secara
perorangan.
Dan
oleh karena sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai
yang mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu
bahwa sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai
yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.
Oleh
karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan
dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan
hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial).
Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan
belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan
pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya
setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Di
sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan
akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk
mencapai sosialisme. Dan sebaliknya, perrjuangan untuk sosialisme akan juga
berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan
sebagai salah satu tujuan utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh
dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus
berjalan bersamaan dan saling mengisi.
Hanya
dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat
dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan:
ekonomi, sosial dan politik.
0 comments:
Post a Comment