ASAL USUL KAPITALISME DI INDONESIA
BAB I
MASA SEBELUM PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Masyarakat Feodal yang Lebih Mirip
Masyarakat Penyakap (Tenancy)
Dalam sejarahnya, masyarakat Indonesia , pernah hidup dalam
sistem feodal yang unik. Kami menyebutnya masyarakat penyakap. Masyarakat ini
berkembang sebelum kapitalisme dicangkokkan oleh kolonialisme ke negeri ini.
Karenanya belum dikenal pula industri modern, kapital finans, bank‑bank,
organisasi administrasi modern, jaringan jalan tranportasi, komunikasi modern
dan sebagainya.
Ciri‑ciri masyarakat Nusantara saat itu : perekonomian
penyakapan, yang berbasis pada produksi pertanian, diorganisir dengan alat‑alat
produksi sederhana, sehingga hasilnya terbatas untuk keperluan sendiri, sedikit
untuk dipertukarkan, dan sebagian untuk upeti penguasa pusat (raja) melalui
administratornya (lurah, wedana dan bupati), yang memperoleh tunjangan berupa
sepetak tanah tak lebih dari 3 ha. Selain upeti, rakyat juga dikenakan
penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi
administratornya.
Tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan raja adalah utusan
Dewa/Tuhan yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut, dan dibagi‑bagi
berupa petak-petak kepada sikep‑sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon
sikep‑sikep), bujang‑bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di beberapa
tempat). Karenanya, penggarap tak dapat menggarap tanah secara luas. Teknologi
rendah dengan tanpa mobilisasi pekerja besar‑besaran di tanah garapan, merupakan
penyebab rendahnya hasil produksi. Hingga kini, sisanya masih ada: untuk
menggarap tanah 0,5 ha saja diperlukan tenaga tambahan selain dirinya atau
keluarganya.
Sistim giliran ini tidaklah bermakna ada keadilan dalam
pemilikan tanah. Prakteknya, tanah dibagi secara diskriminatif : banyak yang
hanya digilir pada keluarga dan kerabat dekat. Pemuda dan kaum perempuan
mendapat giliran yang lambat atau yang tidak subur serta irigasinya buruk.
[Sistim giliran inilah basis bagi terbentuknya budaya n'jilat ke atas, nginjek
ke bawah.
Tekanan jumlah penduduk dibarengi dengan pemetakan-pemetakan
tanah kecil menyulitkan adanya pemilikan tanah secara luas baik oleh penggarap
maupun segelintir bangsawan. Jika pun ada mobilisasi tenaga kerja besar‑besaran,
tujuannya hanya kerja paksa untuk proyek mercusuar negara‑kerajaan, layaknya di
Mesir. Dengan begitu, kata bangsawan di sini bukanlah dalam pengertian
bangsawan Eropa, Tiongkok, atau para‑pemilik hacienda (koloni perkebunan
feodal) seperti di Amerika Latin atau Filipina.
Teknologi rendah, hubungan sosial yang menindas ‑‑pemilikan
petak‑petak tanah sempit, dan ketiadaan bangsawan yang memiliki tanah luas‑‑
dan tekanan penduduk menyebabkan sulitnya para bangsawan bertransformasi
menjadi borjuis di landasan teknologi maju. Karenanya, gagal merangsang
berkembangnya industri. Pembukaan bandar‑bandar dan pertukaran luar negeri
adalah basis bagi tumbuhnya cikal bakal borjuis pesisir dengan syah bandar dan
saudagar, calo-calo, serta tengkulak‑tengkulaknya. Namun melalui pajak
pelabuhan yang disentralisir ketat oleh negara/kerajaan, kemudahan itu malah
diarahkan bagi pertumbuhan teknologi‑ demi‑kerajaan demi proyek-proyek
mercusuar dan peperangan.
Kepentingan kekuasaan itu yang kemudian menumpas cikal bakal
masyarakat borjuis pantai yang pioner. Penghisapan ekonomi dan penindasan
politik ini telah membuat kaum tani memberontak melawan kekuasaan raja dan para
bangsawan. Baik di masa kerajaan Mataram I (abad VIII‑IX), dan jauh sebelumnya,
yakni masa Kerajaan Kediri (awal abad XI‑XIII) ‑‑pemberontakan kaum tani yang
dimanipulir Ken Arok‑‑ serta pemberontakan‑pemberontakan kaum tani lainnya.
Kemunculan gerakan‑gerakan perlawanan pada setiap jaman
harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga‑tenaga produktif yang terus
berkembang maju (progressive) berhadapan dengan hubungan‑hubungan sosial yang
dimapankan (conservative).
Merkantilisme, Kolonialisme/Imperialisme
dan Pencangkokan Kapitalisme
Embrio kapitalisme mulai bersentuhan
dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke‑15 melalui merkantilisme Eropa.
Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan, memberi basis bagi embrio
kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, terlebih seusai berhasil menjatuhkan
monarki absolut. Tapi, pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan
sederhana. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk
komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman
keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk
industri farmasi di Eropa.
Tahun 1469 adalah tahun kedatangan
ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin Vasco da Gama (Portugis). Tujuannya
mencari rempah‑rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah
Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke
Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.
Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie)
tahun 1602.
Dalam waktu singkat kapital dagang
Belanda menguasai Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol
pintu barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol wilayah
timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja‑raja feodal dapat mereka runtuhkan, dan
menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan membayar contingent, pajak
natura.
Kekuasaan Belanda ini terinterupsi 4
tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme
Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah
oleh kerajaan. Dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan
pada raja, tapi milik negara. Karenanya, pemilik dan penggarap tanah harus
membayar landrente (pajak tanah) ‑‑pajak ini mengharuskan sistim monetasi dalam
masyarakat yang masih terkebelakang sistim monetasinya, sehingga memberi
kesempatan tumbuhnya renten dan ijon.
Pengganti Raffles, Daendles, Gubernur
Kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu. Wilayah Nusantara jatuh lagi ke
tangan Belanda. Politik mereka dijalankan dengan tetap mempertahankan
kapitalisme kolonial yang primitif; bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda
menyelenggarakan tanam paksa (cultuurstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan
kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas perlawanan‑pelawanan
rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia
Ciri‑ciri tanam paksa ini berupa :
1. Kaum tani diwajibkan
menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas,
rosela, dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh Pemerintah Belanda;
2. Perubahan
(baca:penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija,
3. Mobilisasi kuda,
kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengangkutan,
4. Optimalisasi
pelabuhan, termasuk pelabuhan alam,
5. Pendirian pabrik‑pabrik
di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni,
6. Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk
pemerintah,
7. Pembebanan berbagai macam pajak.
Hindia Belanda, Ajang
Kolonialisme/Imperialis
Pada pertengahan abad 19 terjadi
perubahan di Negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta ‑‑seusai
mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim
kapitalisme‑‑ terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Akumulasi
kapital yang dimiliki kapitalis dagang ini memberi basis perluasan ekspansi
modalnya di Hindia Belanda, menuntut peran kekuasaan modalnya lebih besar
daripada negara.
Logika modal seperti itu wajar, agar
bisa mulus bertransformasi menjadi kapitalis industri ‑‑swasta, mengerosi
monopoli negara lebih cepat. Namun, monopoli negara ini tidak berarti state qua
state, negara demi negara, atau negara menciptakan kelas, karena logika modal,
menyatakan bahwa negara adalah alat kaum modal‑cepat atau lambat, kaum kapital
akan mengerosi campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi,
perdagangan dan keuangan.
Perubahan syarat‑syarat kapitalisme ini
pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari
politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang‑industri
yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas
borjuis yang baru berkembang. Metode penghisapan baru yang lebih modern ini,
menuntut tersedianya tenaga produktif yang lebih modern ‑‑tanah jarahan yang
lebih luas (yaitu Sumatera), perubahan dan pembangunan sistim irigasi yang
lebih modern, tenaga kerja yang lebih banyak, terampil, dan lebih bisa
menyesuaikan diri dengan hubungan produksi pengupahan; bahkan perubahan dalam
suprastruktur, seperti hukum poenale sanctie, birokrasi, bahasa, pendidikan,
bacaan dan terbitan Di sinilah awal kelahiran kaum buruh di Hindia Belanda yang
berkesadaran baru pula.
Ciri‑cirinya:
1. Munculnya kaum buruh upahan dengan sistem kerja industri
kapitalis di tanah jajahan,
2. Bertebarannya pabrik‑pabrik, terutama pabrik gula, karung
goni tekstil, kelapa sawit dan tembakau ‑‑yang dimiliki kapitalis swasta
Belanda dan bangsa Eropa lainnya‑‑ dan belakangan minyak serta barang galian,
3. Perubahan dan pembangunan sistim pengairan baru,
4. Mobilisasi tenaga kerja dalam selubung transmigrasi,
5. Dikikisnya basis produksi feodal (penyakapan),
6. Lahirnya lembaga‑lembaga pendidikan modern,
7. Lahirnya sistim yuridis baru yang belum sepenuhnya
mengemban ideologi liberal,
8. Alat propagandanya ‑‑manipulasi humanisme kaum sosial‑demokrat
kanan‑‑ politik etis.
Di masa kapitalisme, kaum buruh upahan
dengan produksi yang dihasilkannya ‑‑ pengolahan tanah, perubahan sistim
irigasi, penggunaan kerbau, sapi dan kuda sebagai alat bajak dan alat angkut
tambahan, mesin, pabrik, kapal laut, roda, kereta api, bangunan pabrik,
jembatan dll., yang bermuara menjadi barang dagangan‑‑ plus kesadaran dan
tindakan politiknya ‑‑kesadaran membaca, berorganisasi, kursus, rapat,
demonstrasi, pertemuan umum, persatuan, forum, debat, polemik, perpecahan,
pengrahasiaan, dan akhirnya pemberontakan, revolusi‑‑ adalah tenaga‑tenaga
produktif yang terus melimpah.
Itulah wajah cara produksi kapitalis
yang bersifat menghisap/menindas di Hindia Belanda, dan sedang mengalami
perlawanan. Kemudian ‑‑setelah sukses mengikis monopoli negara atau
memperlancar swastanisasi, ekspor kapital‑‑ kapitalisme berkembang lebih jauh
ke tahap imperialisme. Artinya, kapitalisme dalam momen tertentu telah
menghilangkan kontradiksi di negeri asalnya, namun kontradiksi kelas kemudian
jadi meluas ‑‑ke tanah jajahan‑‑ dan kompleks. Itulah tanda dari konsekuensi
hubungan sosial produksi kapitalis yang memiliki potensi mendapatkan perlawanan
dari rakyat tanah jajahan dan rakyat yang sadar di negeri asalnya.
Tanda‑tanda berkembangnya kapitalisme
ke imperialisme di tanah jajahan yaitu:
1. Pemusatan produksi
dan modal berkembang pesat, hingga menciptakan monopoli-monopoli yang berperan
menentukan dalam kehidupan ekonomi,
2. Paduan kapital bank
dan industri. Di atas kapital finans ini dikembangkan oligarki finans,
3. Ekspor kapital
memperoleh arti penting yang luar biasa ‑‑berbeda dengan ekspor barang dagangan
(komoditi),
4. Pembentukan serikat‑serikat
kapitalis monopoli internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendiri,
5. Pembagian wilayah
atas seluruh dunia di antara negara‑negara kapitalis dalam tahap tertentu sudah
diselesaikan.
Di atas syarat‑syarat tersebut, justru
gerakan rakyat menunjukkan elannya dalam praktek revolusi sejak akhir abad 19
hingga saat ini. Artinya, terbukti bagaimana gerakan rakyat, sebagai lompatan
kualitatif dari tenaga‑tenaga produktif, terjadi pada tahap imperialisme. Perkembangan
kapitalisme, persaingan bebas ke kapitalisme monopoli akhirnya menunjukan bahwa
kaum borjuasi selain berhadapan dengan kaum buruh dalam negeri, juga berhadapan
dengan seluruh rakyat di tanah‑tanah jajahannya. Ia pun menunjukkan tentang
perjuangan yang dipimpin kaum buruh pada masa imperialisme.
Realitas obyektif di atas merupakan
syarat material bagi sistim kapitalis dapat berkembang dalam masyarakat Hindia
Belanda, sehingga memungkinkan munculnya kesadaran rakyat. Revolusi di Cina di
bawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki, dan Revolusi Rusia
(Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan.
Pergerakan nasional modern Indonesia
diawali dengan kemunculan serikat buruh. Salah satunya, yaitu ISDV yang
didirikan pada tahun 1914, secara sistematis mengajarkan pengetahuan progresif
kepada para aktivis buruh dan menjadi senjata material dalam perjuangan
pembebasan.
Pada tanggal 23 Mei, 1920, berdirilah
untuk pertama kalinya di Asia , sebuah partai
kaum radikal, yakni Perserikatan Komunist Hindia (PKI). Partai ini lahir,
ketika mperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh, dan
sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa‑sisa feodal.
Sementara organisasi‑organisasi lain semacam SI (Sarekat Islam), BO (Boedi
Oetomo) dan lain‑lain, tidak mampu membaca dan memanifestasikan kesadaran
perlawanan rakyat.
Perjuangan pembebasan dalam menentang
imperialisme mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927 yang
berakhir dengan kekalahan. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidakmampuan
kaum radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan potensial rakyat, yaitu
kaum buruh, kaum tani, dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum
radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah
Kolonial.
Satu pelajaran yang harus kita ambil
adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi
revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat
kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap
segala bentuk perlawanan rakyat.
Dengan demikian, kekalahan perlawanan
1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya. Sejarah perjuangan ternyata
bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta‑merta
menyurutkan perjuangan.
Pada tahun 1929 berdiri Partai Nasional
Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan
garis massa .
Sisa‑sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai
alat perlawanan kolonialisme. Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa
harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Aktivitas
revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan
bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap
lainnya terus dijalankan.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan
Asia , konsistensi perjuangan pembebasan tetap
terjaga terus-menerus. Kaum radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan‑kekuatan
rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah
pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun 1939 Gerindo bersama-sama Parindra dan
PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut
bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Dengan GAPI kaum radikal berharap
dapat menggunakan perjuangan anti‑fasisme sekaligus perjuangan anti‑
kolonialisme.
Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum
Imperialis. Pada tahun 1939, Perang Dunia II meletus ketika Jerman di bawah
Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir
kekuasaan Belanda, digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja
paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti
pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara tanpa diupah. Serikat buruh dan
partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka
buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll.
Sebab‑sebab dari timbulnya PD II adalah
persaingan di antara negara‑negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan
sumber bahan baku .
Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme.
Walaupun kaum radikal mengalami jatuh bangun dalam perjuangannya, namun garis
perjuangan anti fasis tetap dipertahankan. Kaum radikal dengan melalui
organisasi‑organisasi pergerakan bawah tanah mulai membentuk Gerakan Anti‑fasis
(Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya.
Amir Sjarifudin, sebagai orang yang
paling konsisten anti‑fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di
lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik
konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi
terhadap fasis Jepang menjadi bagian dari politik elit kaum feodal. Sementara
kaum demokrat‑liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik koperasi dengan
pemerintahan militer Jepang.
Revolusi Agustus 1945
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno‑Hatta
yang masih ragu‑ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia .
Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman kekuasaan
tersebut disebabkan kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu
belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi
dapat dibacakan, berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda.
Proklamasi pada tahun 1945, juga
didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian
dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang
Indonesia .
Revolusi pembebasan nasional tahun 1945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi
yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang
diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam
perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus '45 memang berhasil mengusir
imperialis fasis Jepang dan menghalau imperialisme Belanda yang berusaha untuk
kembali menjajah.
Namun, sebelum kekuatan‑kekuatan rakyat
mampu dikonsolidasi-kan oleh kaum radikal guna membentuk pemerintahan koalisi
nasional, Amerika telah mengambil inisiatif untuk menggagalkannya dengan
memperalat kekuatan‑kekuatan politik yang ada di Indonesia . AS dengan dukungan
beberapa sekutunya di Indonesia
lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan
frontnya.
Suksesnya skenario AS untuk menjalankan
red drive proposal (proposal politik untuk melenyapkan kekuatan‑kekuatan
rakyat) sebenarnya juga merupakan produk tidak adanya unity of command antara
kekuatan‑ kekuatan rakyat yang ada di dalam negeri dengan yang di luar negeri.
Hal ini masih ditambah lagi dengan ketidakmampuan kaum radikal dalam mengarahkan
sasaran perjuangannya ke arah kaum demokrat‑liberal/borjuasi dan imperialis,
setelah kaum fasis dikalahkan pada PD II.
Dengan peristiwa tersebut, situasi
revolusioner mencapai anti‑klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju
persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya
persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi,
politik, militer, dan kebudayaan. Revolusi Agustus '45 yang adalah berwatak
revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai revolusi pembebasan
nasional (yakni berhasil mendirikan Republik Indonesia ), namun gagal mendirikan
pemerintahan kerakyatan.
BAB III
PENUMPULAN KEKUATAN RAKYAT
Ketidakmampuan gerakan rakyat‑progresif
untuk memanfaatkan parlemen (legislatif) dan eksekutif (pemerintahan) serta
kegagalan untuk mengkonsolidasikan kekuatannya (dalam hal taktik/ strategi dan
organisasi) guna memanfaatkan momentum politik merupakan pertanyaan paling
prinsipil tentang fungsi dari mesin‑mesin politik progresif, yakni sampai
sejauh mana, dan bagaimana jalan keluarnya, bila parlemen tidak lagi mampu
menahan gejala setahap kemenangan dalam mengatasi kontradiksi‑kontradiksi di
dalam masyarakat. Di Indonesia, fungsi parlemen berhenti ketika dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun, pada hakekatnya, ia hanya sebagai pertanda
saja dari kegagalan mesin‑mesin politik borjuis di hadapan aparat kemiliteran
dan birokrasi warisan kolonial yang bernama tentara. Ia merupakan puncak dari
akumulasi kekuatan militer. Militer Indonesia , yang cikal bakalnya
adalah rakyat, berhasil dikooptasi oleh pimpinan‑pimpinan tentara regular yang
berlatarbelakang KNIL (bentukan Belanda) dan PETA (bentukan Jepang), setelah
melewati beberapa tahap. Untuk itu ada baiknya kita memperhatikan peringatan‑peringatan
di bawah ini.
Militerisme tidaklah spesifik milik
kapitalisme. Militerisme sangatlah lazim di dalam masyarakat yang tatanan
sosialnya terbagi ke dalam kelas‑kelas, dan kapitalisme adalah tatanan sosial
yang terakhir, pada saat ini. Kapitalisme, sebagaimana layaknya tatanan sosial
yang membagi masyarakat ke dalam kelas‑kelas, membangun secara khusus berbagai
macam militerismenya. Tahap perkembangan kapitalis sangat sesuai dengan bentuk
tentara yang memberikan pelayanan secara menyeluruh, yakni tentara, yang
walaupun basisnya dari rakyat, bukan lah tentara rakyat tapi tentara yang
memusuhi rakyat, atau paling tidak sedang dikembangkan ke arah itu. Dalam
dirinya, anti‑militerisme tidaklah harus berwatak kerakyatan dan progresif,
sebagaimana juga militerisme itu tidak lah spesifik borjuis atau kapitalis.
Tapi, dalam hal ini, kita harus meyakinkan diri kita bahwa anti‑militerisme
kita ada dalam negara kapitalis. Permasalahan dalam perjuangan menentang
militerisme di dalam negeri lebih sederhana dan jauh lebih menjanjikan.
Tujuannya yang jelas adalah pelucutan senjata, pelucutan senjata kekuasaan
negara secara efektif dan tanpa syarat, dan metodenya tergantung pada kondisi
politik masing‑masing negeri. Perjuangan tersebut, dan kebutuhan untuk mengkongkretkan
perjuangan tersebut, haruslah ditekankan kepada rakyat setiap harinya ‑‑terutama
di negeri‑negeri di mana sangat terbiasa bahwa tentara menindas kaum buruh
ketika mereka mogok atau melancarkan demonstrasi politik. Akan tetapi, seluruh
agitasi kita menentang kapitalisme diarahkan untuk menentang segala manifestasi
kapitalisme, yang jelas bentuk kongkretnya. Kita mampu, dalam tingkatan
tertentu, menentukan ruang perjuangan anti‑ militerisme sebagai sesuatu yang
khusus, bersamaan dengan perjuangan politik secara umum, bersamaan dengan
perjuangan serikat buruh, untuk maksud tersebut bahkan bersamaan dengan
perjuangan dalam bidang pendidikan dan koperasi sekali pun. Bila
disederhanakan: kita anti‑militaris sejauh kita anti‑ kapitalis.
Kemenangan tentara‑kapitalis diawali
dengan program rasionalisasi angkatan bersenjata. Program tersebut pada
hakekatnya adalah untuk menjadikan militer Indonesia (ABRI) sebagai satu‑satunya
pemegang otoritas dari kekuatan bersenjata, tak boleh ada tandingan tentara rakyat
yang populer di hadapan rakyat. Inilah kemenangan pertama mereka. Kemudian pada
1957, mereka mengumpulkan kemenangan lain di lapangan ekonomi, ketika mereka
menguasai perusahaan‑ perusahaan imperialis dengan merebutnya dari kekuasaan
kaum buruh Indonesia .
Periode ini penting untuk dicatat, karena dengan demikian kita bisa mengetahui
perkembangan struktur penindasan di Indonesia .
Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, Indonesia
telah dan merupakan subyek dari kungkungan kekuasaan ekonomi imperialis pada
tingkat yang umum atau makro. Perlu kiranya aku nyatakan kembali argumen yang
lebih memiliki konteks historis : Indonesia ,
yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda (dan pendudukan Jepang), adalah Indonesia
yang terbelakang dan ekonominya belum terindustrialisasi, serta yang tidak
sanggup bersaing dengan negeri‑ negeri kapitalis besar. Ekonominya hanya
sanggup berkembang di sekitar ruang yang telah dimiliki sebelumnya.
Imperialisme tidak mencampurinya secara langsung, akan tetapi memanfaatkan
keterbelakangan ekonominya.
Sehubungan dengan campur tangan
imperialis, sejarah Indonesia
memiliki aspek yang unik. Perang Dunia II menghancurkan signifikansi posisi
Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tidak hanya sekadar menduduki Indonesia ,
tapi juga menghancurkan basis modal ekonomi dan hegemoni politik Belanda,
terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduki Jerman dan dijadikan ajang
peperangan. Belanda tidak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia ,
walalupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Sebagaimana juga
Inggris dan Amerika, yang sebelumnya telah terkalahkan. Walhasil, walaupun Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, dan
kehadiran sebab kepentingan ekonomi Belanda bisa dipulihkan, namun tidak
terdapat dominasi mutlak ekonomi neo‑kolonial Belanda terhadap Indonesia .
Apalagi pada tahun 1957‑58, kehadiran ekonomi Belanda mutlak amblas.
Dan, apa pun penyebabnya, kehancuran
ekonomi Belanda di Indonesia
tidak digantikan oleh dominasi ekonomi neo‑kolonial Inggris atau pun Amerika.
Sementara itu, karena ketidakmampuannya untuk bersaing, Indonesia sendiri tidak bisa
memanfaatkan ruang yang tersedia baginya.
Sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia
hanya memiliki kelas kapitalis (atau tuan tanah) yang, secara ekonomi dan
politik, lemah. Di samping itu tidak ada kelas kapitalis asing yang, secara
ekonomi dan politik, dominan. Indonesia
tidak lain merupakan bagian yang dikuasai dan diperas oleh sistim imperialis,
sebagaimana juga negeri‑negeri Dunia Ketiga lainnya. Akan tetapi IMPERIALIS
TIDAK PUNYA AGEN ‑‑apakah itu boneka atau pun sekutu‑‑YG EFEKTIF, SAYA ULANGI,
EFEKTIF di negeri ini.
Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan
bahwa memang benar kelas kapitalis dan pemilik tanah lah ‑‑sekali lagi, yang,
secara ekonomi keseluruhan, tidak sifinifikan seperti di Eropa (termasuk Rusia
sekali pun), Cina, Amerika Latin, dan Filipina pada zamannya‑‑ yang berkuasa.
Aku sepenuhnya yakin bahwa tradisi pergerakan nasional adalah radikalisasi
(sedemikian rupa) hegemoni ideologi pra‑borjuis, sehingga sanggup memojokkan
kekuatan borjuis, tapi menguntungkan kaum radikal. Hal tersebut bisa terjadi
karena kepemimpinan politik ‑‑baik yang progresif atau pun yang patron‑‑ telah
berhasil mengangkat gagasan klien kolektif (kebersamaan‑persaudaraan) sebagai
dasar bagi kejayaan Marhaen dan Rakyat (pakai huruf besar M dan R).
Ketika Tentara mulai bicara soal
kekuasan politik, mereka mulai terbagi dalam faksi‑faksi. Tentu saja faksi‑faksi
di dalam tentara tersebut tidak sepenuhnya solid. Mereka sebenarnya terdiri
dari tiga kelompok ‑‑Faksi Dewan Jendral, Faksi Suharto, dan Faksi Nasution‑‑
yang masing‑masing memiliki potensi dan penilaian sendiri terhadap kekuasaan
Sukarno. Untuk menghadapi Sukarno dan para pendukungnya, mereka kemudian
membentuk aliansi- aliansi tumpang‑tindih dengan kekuatan‑kekuatan sipil anti‑Sukarno.
Pengambilalihan perusahaan‑ perusahaan asing pada tahun 1957 oleh tentara juga
berarti kekalahan partai‑partai konservatif, dan dalam beberapa hal, kekalahan
organisasi‑organisasi politik kaum borjuis dan kaum pemilik tanah Indonesia.
Partai-partai tradisional kehilangan inisiatifnya dalam menghadapi Angkatan
Bersenjata dan Sukarno. Terlebih-lebih, ruangan telah terbuka bagi perluasan
kapitalis bersenjata karena mereka kini telah menguasai perusahaan‑perusahaan
bekas milik Belanda. Dalam hal ini, pertanyaan yang harus diajukan: apakah PADA
MASA INI tentara sesungguhnya sedang mempraktekkan kebebasan relatif mereka
terhadap kelas yang dominan secara ekonomi? Dalam hal ini terdapat beberapa
faktor yang harus diteliti:
Pertama, pada akhirnya, kaum borjuis Indonesia beserta para penghisap di
pedesaan, yaitu para pemilik tanah dan birokrat, tergantung kepada tentara
untuk mempertahankan dirinya dalam menentang kemajuan gerakan rakyat. Para tuan tanah dan borjuasi telalu lemah posisinya dalam
menghadapi gelombang gerakan rakyat.
Kedua, Angkatan Bersenjata Indonesia sesungguhnya diciptakan
oleh revolusi nasional, gerakan yang melibatkan multi‑kelas. Hal ini tidak saja
tercermin dari komposisi dalam tubuh Angkatan Bersenjata, tetapi, yang
terpenting, kurangnya identitasnya terhadap satu kelas di Indonesia .
Ketiga, dengan menggunakan senjatanya, banyak sekali seksi‑seksi di
ketentaraan yang telah aktif sebagai kapitalis. Kita tahu jelas bahwa panglima‑panglima
daerah banyak yang melibatkan dirinya dalam penyelundupan dan/atau bekerja sama
dengan pengusaha‑pengusaha setempat.
Kemenangan tentara dalam mengambilalih
perusahaan‑perusahaan Belanda, yang tadinya telah dikuasai oleh kaum buruh,
mengandung dua aspek penting. Pertama,
menciptakan ketergantungan politik borjuis sipil kepada tentara, yang setuju
dengan keterlibatan tentara dalam menghadapi gerakan kaum radikal. Dengan
demikian memberikan peluang bagi Angkatan Bersenjata untuk melakukan serangan
politik yang luas. Kedua, melapangkan jalan bagi fraksi kapitalis bersenjata dalam
bekerja sama dengan borjuis pribumi yang
telah ada, yang lemah secara politik, dan tidak bersenjata. Dengan kata lain,
lebih mempercepat proses keterlibatan komersial perwira‑perwira tentara.
Di dalam kelas kapitalis itu sendiri,
sudah lama terdapat pertentangan historis, yang tumbuh akibat kelemahan politik
ketika menghadapi gerakan revolusioner pengusaha kecil sebelum kemerdekaan.
Pertentangan tersebut adalah antara kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TIDAK
BERSENJATA. Di dalam Angkatan Bersenjata pun terjadi pemilahan antara jendral‑jendral
yang berpolitik, yang satu mewakili kepentingan kapitalis bersenjata, dan yang
lainnya mewakili kepentingan Angkatan Bersenjata sebagai suatu institusi.
Sampai sekarang, kedua faktor tersebut masih ada. Inilah persoalan yang harus
dihadapi oleh generasi kapitalis paska‑65, yakni menghadapi para kapitalis dari
kalangan oligarki kerabat dekat Istana, dalam hal ini pemerintahan Suharto.
Pertentangan tersebut akhirnya dapat diselesaikan, dengan kemenangan mereka
yang paling dominan dalam penggulingan kekuasan Sukarno dan para pendukungnya
di tahun 1965‑66. Penghancuran fisik gerakan rakyat yang sadar politik HANYALAH
satu‑ satunya jalan untuk memperoleh keunggulan politik. Oleh karena itu ada
kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangkitan gerakan yang berbau
kerakyatan. Hal yang pertama‑tama harus ditekankan adalah bahwa kapitalis
bersenjata, sebagai suatu fraksi kelas, sesungguhnya belum banyak makan asam‑garam.
Pada akhir tahun '50‑an, berlangsung dua proses :
Pertama, tumbuhnya kelompok kapitalis
bersenjata yang, secara sosiologis, barisan depannya adalah Suharto. Menyebut
Suharto, karena kelompoknya lah, sepanjang yang bisa ditemukan, yang pertama‑tama
memiliki bank dan perusahaan ekspor‑impor sendiri, serta yang menjalin kontak‑kontak
luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia . Kedua, semakin tersingkirnya kepemimpinan
tentara yang cenderung ingin membebaskan diri dari kepemimpinan politik kelas
borjuis yang lemah dan terpecah‑belah.
Nasution dan lain‑lainnya mulai
mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti
Nasution tidaklah bermaksud membuat negara mandiri, akan tetapi ingin diterima
sebagai pemimpin politik oleh kekuatan‑kekuatan sosial sejenis yang didukung
oleh partai‑partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia
lebih dekat hubungannya dengan partai‑partai lama kapitalis tak bersenjata,
ketimbang dengan para kapitalis yang berasal dari kerabat dekat pelaku‑ pelaku
utama yang telah mengambil alih kekuasaan konstitusional Sukarno sebagai
Presiden pada tahun 1965‑66.
Pada masa itu, hal tersebut menciptakan
tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan
tradisional konservatif. Semua itu artinya, anti‑partai tapi pro‑kapitalis,
atau kebijakan‑kebijakan pro‑Barat : kebijakan‑kebijakan yang sesuai dengan
kepentingan kelompok‑kelompok pengusaha yang ada, tapi menentang wakil‑wakil
politik tradisional mereka dalam kekuasaan. Tapi, Angkatan Bersenjata berada
dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi kaum
radikal. Mereka bersaing dengan kepemimpinan tradisional konservatif, yakni
partai‑partai yang terpecah‑belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga
tidak dapat bersekutu dengan gerakan buruh‑tani. Bagaimanapun juga, kebutuhan
mendesak kampanye mereka dalam menentang partai‑partai, membawa mereka masuk ke
dalam aliansi dengan Sukarno. Kita tahu bahwa kelompok Dewan Jendral (kecuali
Soemitro) dan Nasution telah dipukul pada tanggal 1 Oktober 1965 oleh Gerakan
30 September ‑‑PKI, melalui BC‑nya, terlibat secara tidak profesional di
dalamnya. Efektif mereka berhasil dilumpuhkan oleh para perwira yang tergabung
dalam gerakan itu. Kekuatan ABRI lainnya yang tersisa tinggal Soeharto. Faksi
Soeharto, dengan kekuatan KOSTRAD‑nya, berhasil mengambilalih kepemimpinan
dalam operasi kontra gerakan. Momentum yang berhasil diambil ini kemudian bisa
dipertahankan oleh Soeharto, yakni dengan cara memainkan sekutu‑sekutu sipilnya
dalam pembantaian 1,5 juta manusia dan demonstrasi‑demonstrasi mahasiswa pada
1966. (Informasi terakhir, dikutip dari makalah Permadi di seminar tentang
napol/tapol, yang diselenggarakan YLBHI, menyebutkan bahwa Sarwo Edi Wibowo,
yang memimpin operasi pembantaian tersebut pada tahun 1965‑1966, telah mengakui
bahwa jumlah korban jiwa dari peristiwa tersebut mencapai angka sekitar 2
juta). Hal tersebut akhirnya bisa diakumulasikannya hingga ia mendapatkan dan
memanipulasi Supersemar di tahun 1966 dan akhirnya menjadi presiden melalui
Sidang MPRS di tahun 1967.
Bab IV
ORDE BARU DALAM KAPITALISME
Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari skenario lembaga‑lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF dan World
Bank. Kapitalisme dengan syarat‑syarat kekuatan produktif yang rapuh di bidang
teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orde
Baru harus tergantung sepenuh‑penuhnya pada kekuatan modal internasional dari
Jepang, Amerika, Jerman, Inggris, Hong
Kong , Taiwan
dll. Pengabdian Orde Baru atas modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya
negara Orde baru di bawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Suharto adalah
ALAT KEPENTINGAN‑ KEPENTINGAN MODAL. Artinya, setiap proses pergeseran
kekuasaan dalam lingkaran Suharto dan sekutu‑ sekutunya akan berhubungan dengan
jalur‑jalur dan konsesi-konsesi aset ekonomi, khususnya di sekitar oligarki
Suharto dan modal internasional. Bisa jadi keretakanpun akan muncul karena
ketidakpuasan akan oligarki dan konsesi yang keliwat banyak di sekitar pusat
kekuasaan politik, dan makin meluasnya hegemoni imperialisme dari negara
tertentu seperti Jepang, Eropa atau Amerika.
Pada tahap awal konsolidasi
kekuasaannya, Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman‑pinjaman luar negeri dan
penanaman modal asing. Di lain pihak, dengan terjadinya oil boom, Orde Baru
cukup berhasil melahirkan orang kaya baru (OKB) dan tumbuhnya kapitalis. Sejak
ini lah lisensi‑lisensi yang diberikan Soeharto kepada sekutu‑sekutu dan
kerabatnya telah memungkinkan mereka memonopoli kegiatan ekspor‑impor. Di
antaranya pemberian hak monopoli impor cengkeh kepada Probosutedjo, pemberian
HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan penguasaan perkebunan-perkebunan oleh yayasan‑yayasan
milik Angkatan Darat, dan lain sebagainya. Hal demikian mau tak mau melahirkan
kelompok‑kelompok bisnis yang berdiri di sekeliling Angkatan Bersenjata (yakni
para anggota dewan Komisaris Perusahaan Swasta maupun BUMN) maupun di kalangan
kerabat (crony) Soeharto. Dua faksi ini lah yang kemudian mempermudah
pembentukan faksi‑faksi kelas borjuasi Indonesia .
Namun proses selanjutnya dalam
perekonomian Indonesia ,
yang ditandai dengan jatuhnya harga minyak bumi pada pertengahan dekade 1980‑an,
telah mempengaruhi proses kristalisasi di kalangan borjuasi. Pendapatan
nasional Indonesia
yang 70%‑nya didapat dari sektor migas ini mengalami pukulan dengan kejatuhan
harga di pasaran internasional. Di lain pihak, hal ini pun semakin menjadikan Indonesia
tergantung dari hutang luar negeri untuk membiayai pembangunan kapitalismenya.
Di tahun 1995, hutang luar negeri Indonesia mencapai US$ 100 milyar,
yang dipinjam dari berbagai lembaga moneter atau bank‑bank dengan bunga lunak
maupun keras. Hal ini terutama berkaitan dengan keharusan Orde Baru untuk
mengalihkan primadona ekspornya dari migas ke non-migas. Demi memacu ekspor non‑migas
maka dibutuhkan liberalisasi perekonomian dan efisiensi dalam mengolah dan
mengakumulasi kapital untuk ekspor. Faksi borjuis bersenjata yang selama
periode oil boom menikmati kemudahan dan privilese jabatannya, tak bisa lagi
bertahan di tengah arus liberalisasi perekonomian ini. Hanya faksi borjuis
kerabat, yang selama ini mempersatukan kehandalan bisnis plus kolusi dengan
keluarga istana, dapat mentransformasikan dirinya sebagai kapitalis yang
handal.
Hubungan bisnis yang sudah lama
terjalin antara keluarga Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan telah
menjadikan bisnis kerabat Istana berkembang hingga ke tingkat konglomerasi
bisnis. Transformasi orientasi ekspor Indonesia dari mata dagangan migas
menjadi ekspor non‑migas, kemudian bersambut dengan proses investasi kapital
besar‑ besaran oleh kelompok bisnis kerabat Istana dalam cabang industri
manufaktur ‑‑selain investasi patungan atau investasi asing, terutama Jepang,
Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Jerman, Belanda, Australia,
Amerika dsb. Transformasi ini pula yang mengakibatkan proses konsentrasi modal
di pusat-pusat industri perkotaan. Ke mana modal bergerak, di situlah tenaga
kerja, hasil proletariatisasi ini, terpusat. Dari sekitar 86 juta angkatan
kerja di Indonesia ,
sekitar 10,5 jutanya terserap dalam industri manufaktur. Selebihnya, sekitar 30
juta orang terserap dalam industri jasa dan ekstraktif (pertambangan),
sementara sektor pertanian menyerap sekitar 46 juta tenaga kerja ‑‑namun bukan
berarti ada dominasi kaum tani dalam formasinya. Menurut pidato Kenegaraan
Presiden RI di depan Sidang MPR/DPR, 16 Agustus 1994 disebutkan bahwa sektor
non‑migas menyumbang 74% dari seluruh penerimaan devisa. Terhadap prosentase
tersebut, sektor manufaktur menyumbangkan 63,4%. Sedangkan menurut statistik
1988-1993, pertumbuhan tenaga kerja menurut penyebaran daerahnya adalah sebagai
berikut :
TABEL PERTUMBUHAN TENAGA
KERJA PERJUTA ORANG
Pulau
|
1988
|
1993
|
%
|
Sumatera
|
14.4
|
17.8
|
4.43
|
Jawa
|
45.60
|
50.90
|
2.23
|
|
3.80
|
4.70
|
4.60
|
|
4.60
|
5.60
|
4.00
|
Bali/Nusa Tenggara
|
4.50
|
5.30
|
3.40
|
Maluku/ Irian Jaya/Timtim
|
1.60
|
2.00
|
4.60
|
Perkembangan diatas harus benar-benar
diperhatikan. Karena ia akan berpengaruh terhadap hari depan perjuangan kita.
Perkembangan pada basis material masyarakat, akhirnya mengharuskan kita untuk
merumuskan program, strategi/taktik perjuangan, bentuk-bentuk organisasi, dan
slogan‑slogannya. Demikan lah, jika kita hendak meluaskan basis gerakan
demokratik-progresif kerakyatan dengan segera, selamat, dan dapat
mempertahankannya untuk jangka panjang secara militan. Karena, strategi/taktik
adalah pelaksanaan paling praktis untuk melahirkan perlawanan. Perlawanan ‑‑yang
spontan sekalipun‑‑ sungguh bernilai, karena ia adalah kontraksi‑ kontraksi
pada urat masyarakat yang sedang bergolak.
Dalam masyarakat kapitalistik‑‑ ia
harus diletakkan pada basis perlawanan yang paling militan untuk meraih tujuan
strategi/taktik perjuangan. Sepanjang tahun 1994, kaum buruh Indonesia telah melakukan
demonstrasi (pemogokan) sebanyak 1130 kali. Jumlah jam kerja yang dihilangkan
adalah 2,8 juta jam kerja ‑‑bernilai sekitar 240 milyaran rupiah. Angka
demonstrasi buruh yang paling tinggi terjadi di Jawa Barat (khususnya
Jabotabek) dengan 581 kali, Jawa Timur 200 kali, Sumatera Utara 140 kali,
Jakarta 126 kali, Jawa Tengah 54 kali, Riau 5 kali, Kalimantan Barat 3 kali, dan
Sumatera Selatan 1 kali. Jumlah ini meningkat sebanyak 350% dari tahun 1993,
yang hanya berjumlah 312 demonstrasi (pemogokan); sedang perlawanan mahasiswa
berjumlah 100‑an kali (82 kali di Jawa Tengah); dan kaum tani 50‑an kali.
Munculnya perlawanan rakyat bisa
mendorong perpecahan di kalangan rejim Suharto sendiri; apakah antara Golkar
hijau dan sipil, ICMI (mewakili Islam koloborator) dan militer hijau atau merah‑putih.
Amat masuk akal bila hal ini juga disebabkan semakin tersingkirnya kekuasaan
klik birokrat ‑‑semula dipegang oleh para perwira tinggi militer‑‑ yang mencoba
bertransformasi menjadi borjuis; gontok‑ gontokan antara pejabat pusat dan
daerah; kecemburuan pengusaha pribumi terhadap pengusaha Cina; namun yang riel
adalah pertentangan antara borjuis kerabat ‑‑yang biasanya monopoli‑‑ dan
borjuis non‑kerabat; tak ada itu yang namanya pertentangan antara borjuis
nasional dan borjuis komprador ‑‑karena pertentangan kapital, selain dengan
tenaga kerja, adalah dengan kapital itu sendiri, yang tak berkebangsaan,
walaupun di tempat dan pada saat tertentu bisa diisi sentimen rasial. Pihak
rejim sendiri sudah kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan.
Radikalisasi rakyat ‑‑setelah tahun
1994‑‑ dalam bentuk perlawanan massa
telah lebih memberi gambaran yang sesuai dengan misi sejarahnya, misi
obyektifnya, yang berguna bagi penentuan prioritas sektor, prioritas geografis,
prioritas alat‑alat politik; api apa yang sedang berkobar, di mana api itu
berkobar dan bagaimana membesarkan serta meluaskan api itu, api perjuangan yang
akan membakar sampai ke ulu hati modal. Perkembangan ini lah yang menyadarkan
kita bahwa kita hanya berperan kecil dalam pengorganisasian perjuangan massa tersebut.
0 comments:
Post a Comment