Oleh: Amriadi Al Masjidiy*
Jakarta, 21 Februari 2016 10:00
Tebar Suara | Tanggal 21 Februari merupakan tanggal central M mendirikan Media Online. Dia menjadi Pimpinan umum media tersebut dengan menjabat semua lapisannya. Aneh dari kesendirian itu, bisa mendapatkan 5 Citizen yang membantunya dalam peliputan berita.
Inilah hal yang luar biasa, tentunya tidak bisa semua orang mampu melakukannya. Penghasilan media online saya sendiri sudah tau bagaimana, kalau tidak ada iklan dari google adsense tentu tidak ada penghasilan yang memadai. Apalagi kalau tidak ada iklan sama sekali.
Saya mencoba kerja sama dengan sebuah iklan bernuansa Islam yaitu Halal.ad namun penghasilannya tidak cukup untuk membeli koata internet. Bagaimana dengan M yang tidak ada iklan di medianya sama sekali. Darimana dia berpenghasilan.
Usut punya usut, ternyata M hanya mengandalkan penghasilannya 200 ribu perminggu dari panahan. Saya juga sadar untuk menjalani pemberitaan yang benar itu memang sulit, terkadang sama-sama media Islam sendiri saling bentrok hanya karena beda paham.
M menjelaskan pada saya arti dari media, media itu saluran informasi yang tidak akan ada kebenarannya. Semua memiliki kepentingan masing-masing. Media jaman dulu ada benarnya dalam berita kecelakaan, namun media sekarang kecelakaan pun dapat direkayasa. Ada benarnya ketika berita olahraga, namun sekarang berita olahraga juga tidak dapat lagi diperaya.
Maka media yang jujur sangat dibutuhkan di jaman sekarang, tetapi itu hanya ada pada media kecil dan tentunya mereka itu tidak luput dari kesusahan terlebih dahulu.
Saat itu saya juga sadar M sangat kurus sekarang, dan saya dapat merasakan kalau M tidak bisa makan sehari tiga kali. Setelah saya memceritakan apa yang saya alami di saat mendirikan media yang hampir setiap hari tidak bisa makan. Akhirnya M juga menceritakan hal yang sama seperti yang saya alami dan bahkan sangat parah lagi.
Dia hanya makan gorengan yang dibuat sendiri dari campuran tepung, bowang bombai dan kangkung yang dia tanam dihalaman tempat tinggalnya. Itulah makan sehari-harinya. Saya sangat kasian padanya dan saya juga berniat untuk membesarkan medianya, namun dia menolak hal itu.
Karena saya juga memiliki media, rupanya perjuangan untuk menceritakan kebenaran itu sangat pahit rasanya dibandingkan kebohongan. Maka pantas saja netizen sekarang bisa menjadi berita. Karena warga mulai paham media massa.
Namun atas nama netizen media juga telah merampas hak suara warga dan mengarahkan pada kepentingan politik dan pemilik modal. Tentunya hal yang sensitif yang membuat media mempublikasikan apa yang dia tulis oleh para netizen.
Saya meminta kepada M untuk terus bersabar dan memohon kesediannya untuk menulis disini dengan tidak membongkar indetitasnya. Karena saya tau akan ada seribu inspirasi dan senyuman disana.
Setelah bercerita panjang lebar, saya menyerahkan sebuah buku inspirasi. Saat itu dia berkata ini buku yang bagus. ‘Bandung dulu baru Jakarta, senyum dulu baru dibaca”. Sambil tertawa saya kembali menanyakan perihal skripsinya sudah sampai mana.
Sambil tersenyum M berkata “Suatu penelitian harus dikerjakan secara mendalam dan bernilai keilmiahannya.” Oleh sebab itu dia mau menliti sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat bukan pada issue.
Saya secepatnya nanti ke Kampus untuk menyelesaikan skripsi agar kita tidak dikeluarkan.
M! Apa kamu tidak sayang pada dirimu? Bagaimana mungkin aku tidak menghargai pemberian yang sempurna ini, tegas M kepada saya.
Saya tau M tidak akan habis mau bercerita kepada saya atas segala kehidupannya, walau kami teman dekat yang sudah lama bersatu.
M sosok yang keras kepala yang telah banyak mengajarkan saya arti kesabaran dan kebenaran untuk tetap berada pada idealisme sendiri. Dia berani tidak makan demi sebuah prinsip. Berani bertindak walau tidak di gaji.
Saat itu M bekerja sebagai team club panahan di Kota Bekasi, awalnya gajinya lancar. Namun beberapa bulan ini dia tidak menerima gajinya, padahal dia dengan susah payah memperbaiki bantalan panahan, mengantarkanya kemana yang suruh oleh atasannya. Sampai suatu ketika dia pernah mengalami sakit leher akibat beratnya barang yang dibawa dan menderita tidak bisa makan selama dua hari.
Namun sampai sekarang gajinya belum diterima dan tidak ada informasi apakah dia akan menerima atau tidak. Sekarang dia tidak punya apa-apa kecuali menahan lapar setiap harinya. Saya sangat kasian dan turut perhatian selaku teman dekatnya. Tapi apa boleh buat kami sama dalam keadaan yang sama.
Dari itu saya mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Hal inilah yang membuat kami tidak bisa mengerjakan skripsi dan banyak tunggakan di kampus.
Kami hanya mahasiswa dari gunung yang tidak ada peninggalan harta dari orang tua. Merantau untuk mencari jati diri, memadu nasip demi sebuah kehidupan lebih baik nantinya.
Mungkin saja kami lebih baik dari orang-orang yang tinggal dibawah jembatan dan penggusuran. Tapi kami sebagai kaum marginal memiliki hak untuk tetap hidup disini dan berhak bersuara yang sama seperti warga lainnya.
“Ketika masyarakat yang baik tidak lagi peduli pada kebaikan, saat itulah kriminalitas berkembang”
Terima kasih telah membaca cerita kami, semoga anda yang dibawah untuk tidak putus asa dalam menjalani kehidupan ini. Saya telah mengalami dan melihat langsung banyak hal penderitaan masyarakat akan kekerasan, keadilan dan kesejahteraan serta hak asasi manusia.
Mungkin kami kaum yang lagi diuji untuk menaati perintah illahi. Karena kehidupan sesungguhnya ada pada surga nanti. Salam hangat, salam sejati. Semoga ketemu lagi pada cerita lain nanti. (tebarsuara.com)
*)tulisan inidiambil dari Amriadi.tk