Bagaimana Nabi Membungkam Musuh
Oleh: Hamid Ahmad
Dalam sebuah perjalanan yang melelahkan bersama Nabi Muhamnmad s.a.w., para sahabat dilanda dahaga yang dahsyat. Pada kondisi demikian, mata mereka tertumbuk pada sosok perempuan yang berdiri sambil mengempitkan kedua kakinya pada dua tas perbekalan.
“Di mana ada air?” tanya mereka kepada perempuan tersebut.
“Tidak ada air,” jawabnya.
“Berapa jauh sumber air dari sini?”
“Perjalanan satu hari satu malam.”
“(Kalau begitu,) pergilah pada Rasulullah.”
“Apa pula Rasulullah?” tanyanya.
Terjadi debat yang panjang antara kedua pihak. Toh, mereka tak bisa meyakinkan itu perempuan mengenai soal kerasulan. Terpaksa mereka menggiringnya ke hadapan beliau. Kepada beliau perempuan itu mengulangi apa yang telah dikatakannya tadi. Hanya kini ada tambahan, yakni bahwa dia kini menanggung anak-anak yatim. Beliau menyuruhnya mendekatkan (dan membuka) kantong perbekalannya. Beliau mengusap mulut cerek (dari kulit) milik si perempuan lalu para sahabat, yang jumlahnya 40 lelaki, meminum dari cerek kulit itu dengan lahap sebagai orang yang kehausan, sampai mereka semua puas. Selain itu, mereka juga mengisi wadah-wadah mereka dengan air sampai penuh dan tumpah-tumpah. Kemudian beliau bersabda, “Ayo kumpulkan barang-barang milik kalian untuk perempuan ini.”
Para sahabat mengumpulkan roti dan kurma yang mereka punya. Kemudian diberikan pada perempuan tersebut, dan perempuan itu memberikannya pada anak-anaknya. Berkata perempuan itu (pada kawan-kawannya, sekelompok penggembala unta), “Aku telah bertemu dengan orang yang paling memikat, paling pandai ‘menyihir’. Apakah dia seorang nabi seperti persangkaan mereka?”
Allah kemudian menghunjamkan hidayah pada para penggembala itu melalui perempuan tersebut. Perempuan itu masuk Islam, mereka juga masuk Islam.
Begitulah mukjizat yang diceritakan Imran ibn Hushain r.a. Lain lagi cerita Abdullah ibn Mas’ud. “Kami sedang bepergian bersama Rasulullah. Persediaan air kami tinggal sedikit. Beliau bersabda, ‘Carilah kelebihan air.’ Para sahabat lalu mencari dan kembali sambil membawa wadah yang di dalamnya ada air sedikit sekali. Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam wadah tersebut, sambil bersabda, ‘Ayo bersucilah kalian. Adapun barokah dari Allah.’ Sungguh aku melihat air mengucur dari sela-sela jari beliau. Kami pun pernah mendengar ucapan tasbih dari makanan yang beliau makan.”
Cerita serupa disampaikan oleh Jabir ibn Abdullah r.a. dan Anas ibn Malik r.a. Ketika ditanya Qatadah berapa orang yang berwudhu waktu itu, Anas menjawab, “Tiga ratus orang.”
Melihat cerita mereka masing-masing, peristiwa “Rasulullah memperbanyak air yang sedikit” itu terjadi di tempat-tempat yang berbeda, pada waktu yang berbeda-beda pula. Cerita Jabir, misalnya, berlangsung pada peristiwa Hudaibiyah. Begitu pula dengan cerita Ibnu Mas’ud. Namun cerita Anas, salah satunya, terjadi di Zaura’, satu perkampungan di Madinah. Sementara cerita Imran, meski dia sendiri tidak menyebutkan tempatnya, diperkirakan terjadi saat kepulangan Nabi dari Perang Khaibar. Sahabat lain mengungkap kejadian serupa dalam Perang Tabuk.
Mirip dengan kejadian ini adalah cerita Abu Thalhah, ayahanda Anas, bersama istrinya, Ummu Sulaim. Kala itu dia mempunyai sedikit makanan (roti atau gandum) untuk disuguhkan pada Rasulullah yang tampak lapar. Tanpa dinyan, beliau mengajak serta para sahabat di masjid, yang jumlahnya tak kurang dari 70-80 orang itu. Ternyata, makanan yang mustinya hanya cukup untuk satu orang itu dapat mengenyangkan mereka. Mereka disuruh antre masuk ke rumah Abu Thalhah, satu kali masuk 10 orang.
Mukjizat
Peristiwa itu memang bukan kejadian “biasa” tapi “luar biasa”. Kemampuan tidak lumrah, di luar jangkauan akal dan di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang dianugerahkan Allah kepada beliau. Itulah yang disebut mukjizat, sebagaimana pula dianugerahkan kepada para nabi lain guna membuktikan kebenaran misi mereka serta membungkam para penentang mereka. Mukjizat sangat penting. Kalau tidak ada mukjizat, bagaimana mereka membuktikan diri sebagai utusan Allah?
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim menyebutkan bahwa mukjizat Nabi Muhammad s.a.w. mencapai lebih dari 1.200 macam. Orang lain menyebut angka 3.000. Terkadang beliau menunjukkan mukjizatnya tanpa didahului tantangan, seperti mukjizat “memperbanyak air” tadi. Seringkali pula, hal itu karena ada tantangan dari orang kafir. Misalnya, beliau bersabda, “Jika aku melakukan ini, apakah kamu akan percaya bahwa aku benar?” Atau orang kafir berkata pada beliau, “Aku tidak akan percaya padamu sampai kamu berbuat ini.”
Contohnya adalah yang diungkapkan Anas ibn Malik r.a. “Penduduk Mekkah meminta Rasulullah memperlihatkan tanda kenabian pada mereka. Beliau lalu memperlihatkan terbelahnya bulan,” kata Anas. Hal yang sama dikatakan Ibnu Mas’ud r.a. “Bulan pernah terbelah menjadi dua di zaman Rasulullah s.a.w. Lalu beliau bersabda, ‘Ayo, saksikan!’.”
Membantu Sahabat
Sekali lagi, mukjizat tidak selalu didahului tantangan. Bisa saja beliau “melepas” mukjizatnya guna menunjukkan kebenaran beliau serta membantu sahabatnya. Abu Hurairah r.a., misalnya, pernah mengeluhkan buruknya hafalan dia. “Ya Rasulallah, saya telah mendengar hadis yang banyak dari Baginda, tapi kemudian saya lupa,” katanya.
Beliau menyuruh Abu Hurairah mehamparkan selendangnya. Setelah itu, beliau menangkupkan kedua tangan beliau pada selendang itu, lalu bersabda, “Lipatlah!” kepada Abu Hurairah.
Abu Hurairah melipatnya. “Sejak itu, aku tak pernah melupakan satu hadis pun,” kata Abu Hurairah.
Beliau, seperti dituturkan Anas, juga pernah membantu dua sahabat yang pulang dari kediaman beliau di malam yang gelap gulita. Ajaibnya, ketika berjalan di kegelapan yang pekat itu, mereka mendapati dua “lampu” yang bergerak di depan mereka, ke mana saja mereka melangkah. Ketika dua orang itu berpisah, “lampu” itu ikut berpencar, masing-masing mengikuti satu orang sampai mereka tiba di rumah mereka.
‘Urwah punya cerita tak kalah uniknya. Rasulullah memberinya uang satu dinar untuk dibelikan seekor kambing (begitulah memang harganya). Ternyata, dia bisa membeli dua ekor kambing dengan uang itu. Lalu dia menjual yang seekor seharga satu dinar. Dia pun kembali kepada Nabi dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. “Oh, seandainya pun dia membeli debu,” tutur perawi hadis, “tentu dia akan meraih untung dengannya.”
Tingkat Pasti
Begitulah, keseluruhan cerita itu memastikan bahwa di tangan beliau telah terjadi hal-hal luar biasa yang banyak sekali, walaupun masing-masing riwayat itu bersifat zhanniyah (tidak pasti) sebagai hadis ahad. Banyak dari mukjizat beliau yang tersebar luas dan termasyhur. Contohnya adalah mukjizat mempercanyak air tadi. Selain diceritakan oleh banyak orang, peristiwa ini terjadi di tempat berkumpulnya banyak orang (pada tempat kumpulnya para tentara muslim dan sebagainya). Toh, tak ada sahabat yang mengingkarinya, termasuk yang hadir di tempat itu.
Menurut sekelompok ulama, jumlah penutur yang banyak itu cukup membuat hadis (kemukjizatan Nabi) sampai pada derajat pasti. Sebab, di setiap tingkatan (lapisan sanad) perawinya sangat banyak. Sementara itu, tidak kita dengar dari seorang pun sahabat, dan orang-orang setelah mereka, yang menentang perawi itu. Dengan demikian, orang yang diam di antara mereka sama dengan berbicara pula dengannya. Sebab mereka, bersama-sama, terjaga dari kemungkinan memejamkan mata saja bila melihat kebatilan.
Memang ada saja kemungkinan bahwa sebagian dari mereka mengingkari atau mencela pada riwayat yang lain. Tapi, hal itu lebih karena soal kejujuran si rawi, tidak ditujukan pada materi yang dikabarkannya. Mereka bisa jadi meragukan kejujurannya atau karena menaruh curiga bahwa dia berbohong, atau meragukan daya ingatnya. Atau menyangkut kemungkinan dia salah. Toh, sekali lagi, tidak didapat satu pun serangan terhadap materi yang dikabarkan, sebagaimana yang terjadi pada bidang-bidang lain, seperti masalah hukum, adab, huruf-huruf Al-Quran dan lain-lain. Misalnya, seluruh ulama pengikut Imam Malik berpendapat, niat di awal Ramadhan itu sah untuk puasa satu bulan. Sementara Imam Syafi’i mewajibkan niat pada setiap malam. Atau, mazhab Maliki mewajibkan membasuh seluruh kepala dalam wudhu’, sedang mazhab Syafi’I tidak, cukup orang membasuh sebagiannya. Imam Syafi’i juga mensyaratkan kehadiran wali dalam akad nikah, Imam Abu Hanifah tidak.
Perintah dan Larangannya Adalah Kebenaran
“Maka sampaikan dengan terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Kami (pasti) mencukupimu dari orang-orang yang mengolok-olok (kamu).” (Al-Hijr: 94)
Sebelum wahyu ini turun, Nabi Muhammad s.a.w. menyembunyikan misi beliau kepada khalayak. Beliau hanya mengajak orang-orang dekat untuk mengikuti ajaran beliau yang melawan arus masyarakatnya itu. Yaitu ajaran tentang agama tauhid (pengesaan tuhan), vis-à-vis agama paganisme (penyembahan berhala) yang dianut oleh mayoritas masyarakatnya.
Wahyu di atas menyuruh beliau keluar dari “tempurung” tersebut. Beliau diperintahkan mempermaklumkan misi beliau dari Allah dengan terang-terangan. Satu hal yang berisiko besar. Setelah beliau dan para sahabat beliau mulai menyampaikan hal itu secara terang-terangan, beliau menghadapi tentangan yang sangat keras. Kalau sebelumnya beliau dikagumi sebagai “al-amin”, orang yang dapat dipercaya, kini mereka dilecehkan diperolokkan. Tak ada lagi pandangan penuh hormat, kecuali dari segelintir orang. Tak ada lagi pandangan bersahabat, kecuali dari segelintir orang. Tapi beliau tak hirau dengan itu. terus menjalankan misinya, tak peduli dengan karang kokoh yang ada di depannya. Tak peduli dengan gelombang besar yang harus dihadapi.
Nabi kita, yang memerintah dan melarang Tak ada yang lebih benar dari beliau Dalam sabda ‘jangan’ dan ‘ya’-nya
(Nabiyyunal amirun nahi fa la ahadun abarra fi qawli la minhu wa la na’ami)
Beliau, nabi kita, adalah orang yang memerintah manusia berbuat sesuatu dan melarang manusia berbuat sesuatu. Beliau adalah pembawa misi Allah. Beliau adalah utusan Allah.
Kepedulian Beliau
Dengan kata lain, beliau bukan orang biasa. Bukan orang kebanyakan yang sekadar hidup untuk diri sendiri. Bukan orang yang asyik melihat ke dalam (inward-looking). Beliau adalah orang yang selalu melihat keluar. Beliau aktif memperhatikan sekelilingnya, umatnya, lalu memerintah dan melarang mereka, guna mewujudkan misi beliau.
Misi beliau adalah benar belaka. Dalam berkata “jangan” (melarang) ataupun berkata “ya” (memerintah), tak ada yang lebih jujur dari beliau sebab beliau, seperti halnya para rasul lain, tak pernah berdusta sejak terlahir di dunia ini. Tak ada pula yang lebih benar dari beliau karena semua larangan ataupun perintah itu berasal dari Allah. Semuanya berdasarkan wahyu dari-Nya. Perintahnya pasti baik untuk mereka, dan larangannya pasti jelek untuk mereka.
Beliau juga al-amir (pemerintah) dan an-nahi (pelarang) yang tulen. Umumnya orang yang melarang dan memerintah tidak tahan untuk tidak berbuat kasar. Beliau tidak demikian. Walaupun beliau sangat kuat memegang kebenaran, beliau tetap memerintah dan melarang dengan halus. Karena beliau mengajak pada jalan Allah, dan jalan Allah di antaranya adalah akhlak yang baik.
Beliau mengajak pada (jalan) Allah, Maka orang-orang yang berpegang dengannya Mereka berpegang dengan tali nan tak retas
(Da’a ilallahi fal mustamsikuna bihi mustamsikuna bi hablin ghairi munfashimi)
Beliau mengajak pada agama Allah, sesuai dengan firman Allah, “Ajaklah pada jalan (agama) Tuhanmu dengan penuh bijaksana.” Beliau, seperti kesaksian para sahabat, sehari-hari tak pernah mengajak selain pada kebaikan, dan tak pernah melarang selain dari kejelekan. Dan beliau tak pernah merasa bosan dengan itu.
Beliau tak pernah kenal istirahat (break) dari itu karena beliau tahu, itu adalah jalan keselamatan bagi manusia - dan beliau sangat peduli dengan itu. Seperti dalam sabda beliau, “Perumpamaanku dengan apa yang diutus Allah untuk kusampaikan (pada kalian) adalah semisal seorang lelaki yang mendatangi kaumnya lalu dia berkata, ‘Kaumku, aku melihat tentara (musuh) dengan mata kepalaku sendiri. Aku mengingatkan kalian dalam keadaan telanjang. (Lihat aku telah ditelanjangi oleh musuh, pen.) Selamatkanlah diri kalian.’ Sekelompok orang dari kaumnya percaya dengan kata-katanya, maka di tengah malam gelap gulita pergilah mereka diam-diam. Sekelompok lainnya tidak percaya. Mereka tetap di tempat, dan kala pagi menjelang, datanglah tentara musuh menyergap mereka. Musuh membinasakan dan melumatkan mereka.’ Nah (kelompok yang pertama) itu seperti orang yang patuh padaku (Nabi, pen.) dan mengikuti apa yang kubawa. Sedang (kelompok yang kedua) seperti orang yang durhaka padaku dan mendustakan ajaran kebenaran yang aku bawa.”
Dalam hadis lain beliau bersabda, “Perumpamaan antara aku dan umatku ialah seperti halnya seorang lelaki yang menyalakan api. Maka mulailah laron-laron dan lebah (mengerubung lalu) jatuh di dalamnya. Aku menarik ujung sarung atau celana kalian, namun kalian mengibaskan tanganku lantas kalian berebut masuk ke dalamnya.”
Menarik Ujung Baju
Beliau adalah juru selamat kita. Beliau tidak hanya menarik ujung sarung kita di dunia, tapi juga di akhirat. Beliau peduli dengan nasib kita di akhirat, ketika kita semua berkumpul di satu titik untuk menghadapi pengadilan yang mahakolosal.
Beliau adalah kekasih yang diharapkan syafaatnya
Bagi tiap-tiap teror yang menakutkan
Beliau adalah kekasih sejati yang layak (baca: harus) dicinta. Pernah Sayidina Umar ibn Khatthab r.a. berkata pada beliau, “Sungguh baginda lebih saya cintai daripada hartaku, anakku dan manusia seluruhnya, tapi tidak daripada diri saya.”
Beliau menjawab, “Imanmu tidak sempurna sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
“Sekarang Baginda lebih saya cintai daripada diri saya sendiri.”
“Kalau begitu, sudah sempurnalah imanmu.”
Beliau adalah kekasih sejati yang mencintai umatnya dengan tulus dan penuh. Dengan cintanya beliau menarik baju kita supaya kita tidak terjerumus ke dalam neraka, melalui perintah dan larangan beliau di dunia. Dengan cintanya pula beliau akan menarik baju-baju kita supaya kita tidak tercebur ke dalam neraka, melalui syafaat beliau. Seperti sabda beliau, “Aku adalah yang pertama memberi syafaat, dan aku paling banyak mempunyai pengikut di antara para nabi.” Atau dalam riwayat lain, “Aku adalah yang paling banyak mendapat pengikut di antara para nabi, dan aku yang pertama mengetuk pintu sorga.”
Macam Syafaat
Adapun syafaat beliau ada banyak macam. Pertama, syafaat atau permintaan beliau kepada Allah supaya pengadilan segera dilaksanakan. Kala itu seluruh manusia yang pernah diciptakan Allah di muka bumi ini sudah tidak tahan akan penderitaan yang mereka alami di Padang Mahsyar. Mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu, ke mana saja. Ke neraka sekalipun tak apa-apa, asal tidak berada di padang itu. Allah mengabulkan permintaan beliau, dan pengadilan pun langsung digelar. Ini merupakan syafaat yang paling besar, yang dipuji oleh seluruh manusia dari zaman paling awal hingga paling akhir. Syafaat ini khusus dimiliki oleh beliau.
Kedua, syafaat beliau supaya sekelompok umat beliau masuk ke dalam sorga tanpa perhitungan (hisab). Ini pun khusus milik beliau. Ketiga, syafaat beliau kepada orang-orang yang mustinya masuk neraka, kemudian beliau mohonkan supaya mereka dimasukkan ke dalam sorga. Ini juga khusus milik beliau.
Keempat, syafaat beliau kepada sejumlah orang yang sudah masuk neraka, supaya mereka dikeluarkan darinya. Ini tidak khusus milik beliau, tapi juga dipunyai para wali dan ulama.
Kita boleh berharap akan mendapat syafaat beliau. Dengan memberikan cinta kita kepada beliau, kita dapat berharap mendapat syafaat beliau. Siapa tahu kita akan ikut dalam rombongan orang-orang yang dibawa beliau ketika beliau mengetuk pintu sorga?
Walaupun begitu, kita tidak boleh hanya mengandalkan syafaat beliau lalu meninggalkan amal. Siapa tahu, kita luput dari syafaat beliau, dan kita akan menjadi orang yang kecele.
Kutipan:
Dengan kata lain, beliau bukan orang biasa. Bukan orang kebanyakan yang sekadar hidup untuk diri sendiri. Bukan orang yang asyik melihat ke dalam (inward-looking). Beliau adalah orang yang selalu melihat keluar. Beliau aktif memperhatikan sekelilingnya, umatnya, lalu memerintah dan melarang mereka, guna mewujudkan misi beliau.
Misi beliau adalah benar belaka. Dalam berkata “jangan” (melarang) ataupun berkata “ya” (memerintah), tak ada yang lebih jujur dari beliau sebab beliau, seperti halnya para rasul lain, tak pernah berdusta sejak terlahir di dunia ini. Tak ada pula yang lebih benar dari beliau karena semua larangan ataupun perintah itu berasal dari Allah. Semuanya berdasarkan wahyu dari-Nya. Perintahnya pasti baik untuk mereka, dan larangannya pasti jelek untuk mereka.
Sumber:
1. Hasyiyah Al-Bajuri ‘Ala Qashidah Al-Burdah
2. Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi
3. Tafsir Al-Baghawi
4. Dan lain-lain
0 comments:
Post a Comment