Kajian
Terhadap Tahapan-Tahapan Jihad
Para ulama’
menyebutkan bahwasanya jihad itu disyari’atkan melalui empat tahapan sebagai
berikut:
1. Tahapan bersabar menghadapi gangguan dan
cercaan dari orang-orang musyrik dengan terus menebarkan dakwah.
Rosululloh
melang para sahabat beliau untuk memerangi penduduk Mekah pada masa ini. Maka
ketika ada sahabat yang berkata kepada beliau:”Dulu ketika kami dalam keadaan
musyrik kami adalah orang-orang yang mulia, namun ketika kami beriman kami
menjadi orang-orang yang hina.” Beliau bersabda kepadanya:”Aku diperintahkan
untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi………..” (HR. Nasa’I VI/3,
Baihaqi IX/11, dalam Mustadrok II/307 dan beliau berkata sesuai dengan Syarthul
Bukhori namun Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati
oleh Adz-Dzahabi.) Dan larangan berperang ini disebutkan dalam firman
Alloh:
أَلَمْ
تر إلى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ
وَءَاتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقُُ
مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا
رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لولا أخرتنا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ والآخرة خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ
تُظْلَمُونَ فَتِيلاً {77}
.
2.
Dipebolehkannya
untuk berperang dan tidak diwajibkan
Hal ini desebutkan dala firman
Alloh yang berbunyi:
أذن
للذين يقاتلون بأنهم ظلموا وإن الله علي نصرهم لقدير
3.
Diwajibkan
berperang hanya jika kaum muslimin diserang.
و قاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم
4.
Diwajibkan
memerangi seluruh orang musyrik meskipun mereka tidak memerangi kaum muslimin,
sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah bagi beberapa golongan yang
diperselisihkan para ulama’, sebagaimana yang telah dibahas diatas.
Dr. Ali bin Nafi’ Al-‘Ulyani berkata: “Perintah jihad ini telah
ditetapkan pada tahapan jihad yang ke empat yang disebutkan dalam surat
At-Taubah, yaitu memerangi seluruh kaum musyrikin sampai mereka masuk Islam dan
memerangi Ahlul kitab dan Majusi sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah
dengan penuh kehinaan. Ibnu Qoyyim berkata: “…..maka keadaan orang kafir
setelah turun surat At-Taubah diteapkan menjadi tiga kelompok, yaitu Muharibin,
Ahlu ‘Ahdin dan Ahlu Dzimmah. Lalu Ahlul ‘Ahdi wash Shulhi tergabung kedalam
negara Islam, maka orang kafir tinggal dua macam saja yaitu Muharibin dan
Ahludz Dzimmah. (Zaadul Ma’ad III/160)
Beliau
menerangkan lebih lanjut: “Saya katakan; dikarenakan surat Baro’ah
(At-Taubah) yang menetapkan hukum jihad untuk tahap terakhir adalah surat yang
terakhir turun, maka para ulama’ salaf menganggap bahwa hukum terakhir jihad
ini sebagai nasikh (penghapus) hukum jihad pada tahapan-tahapan
jihad sebelumnya. Ibnul ‘Arobi berkata: “Firman Alloh yang berbunyi:
فإذا
انسلخ الأشهر الحرم …….
Ayat ini menasakh seratus empat belas ayat. (Ahkamul Qur’an
karangan Ibnul ‘Arobi I/201). Dan mereka yang mengatakan bahwa ayat ini
sebagai nasakh adalah: Adl-Dlohah bin Muzahim (Ibnu Katsir
IV/55), Ar-Robi’ bin Anas (Al-Baghowi I/168), Mujahid,
Abul ‘Aliyah (Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/191), Al-Hasan
ibnul Fadl (Al-Qurthubi XIII/73), Ibnu Zaid (Al-Qurthubi
II/339), Musa bin ‘Uqbah Ibnu
‘Abbas, AL-hasan, ‘Ikrimah, Qotadah (Fathul Qodir I/497), Ibnul
Jauzi dan ‘Atho’ (Al-Baghowi III/122).
Hal itu juga dikatakan oleh Ibnu
Taimiyah(al-Ihtijaj bil Qodar karangan Ibnu Taimyah hal. 36), Asy-Syaukani
(Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/275), Al-Qurthubi (Tafsir
Al-Qurthubi II/331) dan sekumpulan ulama’ pada berbagai masa. Shodiq
Hasan Al-Bukhori mengatakan: “Adapun riwayat tentang berdamai dan
meninggalkan orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi, hal itu telah
mansukh atas kesepakatan seluruh kaum muslimin.”[1]
Asy-Syaukani berkata:”Adapun menyerang dan memerangi orang-orang
kafir serta membawa mereka masuk ke dalam Islam atau membayar jizyah atau bunuh
adalah merupaka perkara yang sudah jelas sekali dalam Islam…… Sedangkan
dalil-dalil yang menyebutkan berdamai dan membiarkan orang-orang kafir jika
mereka tidak memerangi, semua itu telah mansukh menurut ijma’ kaum muslimin.” (As-Sailul
Jarror IV/519)
Ibnu Taimiyah berkata:”Semua orang yang telah mendengar dakwah Rosul
saw. Untuk masuk Islam yang beliau bawa, lalu ia tidak memenuhi dakwah
tersebut, maka sesungguhnya orang tersebut wajib diperangi
حتى لا تكون فتنة
ويكون الدين كله لله
Dan karena Alloh mengutus nabi-Nya dan memerintahkannya
untuk mendakwahi semua makhluk untuk masuk Islam dan Alloh belum mengijinkan
untuk mebunuh dan memerangi serangpun, hingga setelah beliau hijroh ke Madinah
Alloh mengijikan kaum muslimin untuk
berperang dengan firman-Nya:
أذن
للذين يقاتلون بأنهم ظلموا وإن الله علي نصرهم لقدير
Kemudian setelah itu Alloh
mewajibkan kepada kaum muslimin untuk berperang dengan firman-Nya
كتب عليكم القتال وهو كره لكم
“Diwajib kan atas kalian untuk berperang
sedangkan perang itu tidak kalian sukai.” (Majmu’
Fatawa XXVIII/349-350)[2]
Namun apakah dengan demikian
kaum muslimin tidak boleh kembali mengamalkan ayat-ayat sebelum diwajibkannya
perang jika kaum muslimin tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban jihad
dikarenakan kelemahan danjumlah yang sedikit pada kaum muslimin.
Oleh karena itulah Az-Zarkasyi
menyatakan bahwasanya tahapan-tahapan jihad tidaklah mansukh, akan tetapi
tahapan-tahapan tersebut tetap dilaksanakan sesuai dengan keadaan pada waktu
tahapan tersebut disyareatkan. Dan beliau mencela terhadap orang yang
menyatakan bahwa tahapan-tahapan tersebut telah mansukh ketika beliau
mengatakan:” Dan sebagian ulama’ membagi nasakh itu menjadi tiga macam:……
ketiga: sesuatu diperintahkan dikarenakan oleh suatu sebab, lalu sebab itu
hilang. Seperti ketika dalam keadaan lemah dan berjumlah sedikit diperintahkan
untuk bersabar dan memaafkan orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhir
dengan tidak melakukan amar ma’ruf, nahi munkar, jihad fii sabiilillah dan yang
lain kemudian dinasakh dengan perintah untuk melaksanakan amar ma’ruf, nahi
munkar, jihad dan yang lainnya. Sebenarnya ini bukanlah nasakh, akan tetapi nasii’
(perintah untuk meninggalkan) sebagaimana yang difirmankan Alloh: ( أو
ننسها )
sedangkan mansa’nya (yang diperintahkan untuk ditinggalkan)
adalah perintah perang sampai kaum muslimin menjadi kuat. Dan ketika dalam
keadaan lemah, hukum yang berlaku adalah wajib sabar menanggung gangguan.
Denngan demikian maka jelaslah kelemahan pendapat sebagian dari para mufassirin
pada ayat yang memberikan keringanan bahwasanya ayat tersebut telah termansukh
oleh ayatus saif, padahal sebenarnya tidaklah mansukh akan tetapi
mansa’, yang berarti suatu perintah yang dikarenakan suatu sebab
tertentu pada suatu masa yang mengharuskan untuk membarlakukaa hukum tersebut
kemudian berganti kepada hukum yang lain kerena penyebabnya telah berubah. Ini
bukanlah nasakh, karena nasakh adalah mengahapuskan sebuah hukum sehingga hukum
tersebut tidak boleh dilaksanakan selamanya.” (Al-Burhan karangan
Az-Zarkasyi II/41-42)
As-Suyuthi membawakan perkataan Az-Zarkasyi tersebut di dalam
kitab Al-Itqon, akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa perkataan tersebut adalah
perkataan Az-Zarkasyi padahal beliau mengatakan di dalam kitabnya Al-Iklil
bahwa ayatus saif telah menasakh ayat-ayat yang memerintahkan
untuk memaafkan, berlapang dada dan berdamai. (Lihat Al-Itqon karangan
As-Suyuthi III/66)
Sebenarnya
Az-zarkasyi benar ketika mengatakan bahwa tahapan-tahapan jihad tersebut
diberlakukan sesuai dengan keadaan ketika hukum tersebut diperintahkan, akn
tetapi beliau salah ketika melamahkan perkataan para salaf yang mengatakan
bahwa tahapan-tahapan tersebut telah mansukh, karena nasakh menurut mereka
bukanlah nasakh yang beliau maksud yakni menghapus suatu hukum sehingga tidak
boleh diaksanakan selamanya.Akan tetapi nasakh menurut salaf lebih luas dari
pada seperti itu, karena sesungguhnya nasakh menurut salaf mencakup taqyid,
bayan, takhshish dan yang semacamnya. Maka tidaklah benar kalau beliau
meghukumi salaf dengan menggunakan istilah muta’akhirin dan ini adalah sebuah
kelalaian beliau tentang maksud nasakh menurut salaf.Ibnu Taimiyah berkata
tentang pengertian nasakh menurut salaf:”….dan salf tidaklah menerima
pertentang terhadap suatu ayat kecual dengan ayat lain yang memberikan
penafsiran dan menasakhnya, atau dengan sunnah Rosululloh saw.yang memberikan
penafsiran. Karena sesungguhnya sunnah Rosul itu memberikan penafsiran,
memperkuat dan mengungkapkan kembali yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dan para
salam menamakan setiap nas yang bertentangan
dengan suatu ayat sebagai nasikh bagi ayat tersebut. Maka Nasikhmenurut
mereka mencakup segala yang menghapus segala arti batil yang terkandung dalam
suatu ayat walaupun sebenarnya arti tersebut bukanlah yang dimaksud oleh ayat
tersebut dan walaupun secara dhohir ayat tersebut tidak menunjukkan kepada arti
tersebut bahkan pengertian tersebut tidak difahami dari ayat tersebut, namun
pengertian tersebut difahami oleh sebagian orang. Maka salaf menamakan
penghapusan terhadap kerancuan-kerancuan tersebut dengan nasikh, dan penamaan
ini tidaklah diambil dari mereka semua.Hal itu asalnya adalah bisikan setan
lalu Alloh memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat-Nya, lalu bisikan-bisikan
setan yang berupa perkiraan terhadap pengertian ayat yang tidak sesuai dengan
arti sebenanya. Mereka menamakan penghapusan terhadap bisikan-bisikan tersebut
dengan nasakh, sebagaimana mereka menamakan ayat :
فاتقوا
الله مااستطعتم
“Bertaqwalah kepada Alloh semampu kalian.”
sebagai nasikh untuk ayat yang
berbunyi:
فاتقوا
الله حق تقاته
“Bertaqwalah kepada Allh denga sebenar-benar taqwa.”
Dan firman Allloh yang berbunyi:
لا
يكلف الله نفسا إلا وسعها
“Alloh tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampunnya.”
Sebagai nasikh untuk ayat yang berbunyi:
إن
تبدوا ما في أنفسكم أو تخفوه يحاسبكم به الله فيغفر لمن يشاء و يعذب من يشاء
Dan lain-lain yang semacam dengan
itu yang mana disini bukan tempat penjabarannya.” (Majmu’ Fatawa XIII/3)[3]
Abdul Akhir Hammad menukil perkataan Asy-Syaukani dalam kitab
As-Sailul Jarror V/519: ” Menyerang orang-orang kafir dan ahli kitab serta
membawa mereka masuk kepada agama Islam atau membayar jizyah atau bunuh, hal
ini merupakan perkara yang sangat jelas dalam agama … Adapun tentang
meniggalkan dan membiarkan mereka jika mereka tidak memerangi, hal ini adalah
sudah mansukh secara ijma’.” Lalu beliau berkata:” Dan sungguh disayangkan,
sampai-sampai jihadud daf’ipun sebagian orang melarangnya, dan
masa kelemahan menjadi alasan dalam berpangku tangan, setiap kali ada sebuah
kelompok kebenaran berjihad melawan kelompok sesat yang diperintahkan di dalam
nas-nas untuk diperangi, tiba-tiba ada orang yang mencela mereka dengan alasan
kita berada pada masa kelemahan sebagaimana masa Mekah, dan jihad pada masa
lemah tidaklah syah, hal ini adalah jelas-jelas batil. Sesungguhnya agama ini
telah sempurna dan nikmat Allohpun telah lengkap dan kita dituntut untuk
melaksanakan perintah terakhir dari Rosululloh sebagaimana yang telah kami
terangkan diatas. Masa Mekah telah selesai dan tidak ada lagi kata kembali ke
masa tersebut. Dan sesungguhnya inti permasalahannya adalah bahwasanya orang
lemah yang tidak mampu melaksanakan jihad ia tidak wajib berjihad, namun dia
tidak berhak melarang orang lain yang melihat pada dirinya mempunyai kekuatan
untuk berjihad kemudian dia berjihad. Dan juga bahwasanya kemampuan adalah syarat
wajib bukan syarat syah. Orang yang tidak mempunyai
kemampuan, ia tidak wajib berjihad, namun jika ia memaksakan diri untuk
berjihad, hal inipun juga tidak apa-apa. Bahkan ia akan mendapatkan pahala insya’alloh
sebagaimana yang terjadi pada cerita sahabat ‘Ashim bin Tsabit ketika
diutus Rosululloh saaw. memimpin para sahabatnya, tiba-tiba mereka diserang
oleh sekitar seratus pasukan pemanah …….. Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Bukhori no. 3045 dan Abu dawud no.2660 dari Abu Huroiroh. Dalam riwayat
tersebut disebutkan, bahwa ‘Ashim berkata:” Adapun saya, tidak akan mau
nenjadi tawanan orang kafir…… Maka mereka mengadakan perlawanan sampai mereka
berhasil membunuh ‘Ashim oleh tujuh orang dengan menggunakan tombak…...” Asy-Syaukani
dalam mengomentari hadits ini dalam kitab Nailul Author mengatakan:”Hadits ini
menunjukkan bahwasanya orang yang tidak berdaya melawan musuh boleh
mempertahankan diri agar tidak menjadi tawanan musuh……” Ibnu Qudamah
berkata Dalam kitab Al-Mughni X/544 : “Jika kemungkinan besar menurut
perkiraan mereka, mereka akan hancur jika tetap bertahan da akan selamat jika
mereka mundur, maka lebih baik mereka mundur, meeskipun boleh juga mereka
bertahan untuk mencari mati syahid……”[4]
0 comments:
Post a Comment