URGENSI SHOLAT
Oleh : Dr. Yusuf Qordhowi
Kewailban dan syi'ar yang paling utama
adalah shalat, ia merupakan tiang Islam dan ibadah harian yang berulang kali.
Ia merupakan ibadah yang pertama kali dihisab atas setiap mukmin pada hari
kiamat. Shalat merupakan garis pemisah antara iman dan kufur' antara
orang-orang beriman dan orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan oleh
Rasulullah dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:
"Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan
shalat. (HR. Muslim)
"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka
barangsiapa yang meninggalkan berarti ia kafir." (HR- Nasa'i, Tirmidzi dan Ahmad)
Makna hadits ini sangat jelas di kalangan
para sahabat RA. Abdullah bin Syaqiq Al 'Uqaili berkata, "Para
sahabat Nabi SAW tidak melihat sesuatu dari amal ibadah yang meninggalkannya
adalah kufur selain shalat." (HR. Tirmidzi)
Tidak heran jika Al Qur'an telah menjadikan
shalat itu sebagai pembukaan sifat-sifat orang yang beriman yang akan
memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menjadi penutup. Pada awalnya Allah
berfirman:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusu' dalam shalatnya." (Al Mu'minun: 9)
Ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat
dalam kehidupan seorang Muslim dan masyarakat Islam.
Al Qur'an juga menganggap bahwa
menelantarkan (mengabaikan) shalat itu termasuk sifat-sifat masyarakat yang
tersesat dan menyimpang. Adapun terus menerus mengabaikan shalat dan menghina
keberadaannya, maka itu termasuk ciri-ciri masyarakat kafir. Allah SWT
berfirman:
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan."
(Maryam: 59)
Allah SWT juga berfirman mengenai sikap
orang-orang kafir yang mendustakan risalah sebagai berikut:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ruku'lah, niscaya mereka
tidak mau ruku'." (AI
Mursalat: 48)
Kemudian dalam ayat lainnya Allah
berfirman:
"Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka
menjadikannnya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena
mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (Al Maidah: 57)
Sesungguhnya masyarakat Islam adalah
masyarakat yang Rabbani, baik secara ghayah (orientasi) maupun wijhah (arahan).
Sebagaimana Islam itu agama yang Rabbani, baik secara nasy'ah (pertumbuhan)
maupun masdar (sumbernya), masyarakat yang ikatannya sambung dengan Allah SWT,
terikat dengan ikatan yang kuat. Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan
seorang Muslim selalu dalam perjanjian dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam
bahtera kehidupan maka datanglah shalat untuk menerjangnya. Ketika dilupakan
oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat untuk mengingatkannya. Ketika
diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu kelalaian' maka datanglah
shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan"kolam renang" ruhani yang
dapat membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak
tersisa kotoran sedikit pun.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan dari Nabi SAW,
beliau bersabda: "Kamu
sekalian berbuat dosa, maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu
membersihkannya, kemudian kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan
shalat zhuhur, maka shalat itu membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi,
maka jika kamu melakukan shalat 'asar maka shalat itu membersihkannya, kemudian
kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat maghrib, maka shalat
itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan
shalat isya', shalat itu akan membersihkannya, kemudian kamu tidur maka tidak
lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun." (HR.
Thabrani)
Pelaksanaan shalat dalam Islam mempunyai
keistimewaan yaitu dengan berjamaah dan adanya adzan. Berjamaah dalam shalat
ada yang menyatakan fardhu kifayah sebagaimana dikatakan oleh mayoritas para
Imam dan ada yang mengatakan fardhu 'ain sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad.
Karena pentingnya shalat berjamaah maka
Rasulullah SAW serius akan membakar rumah-rumah suatu kaum dengan api karena
mereka ketinggalan dari shalat berjamaah dan mereka shalat di rumah-rumah
mereka. Ibnu Mas'ud berkata tentang shalat:
"Kamu bisa melihat generasi kami (para sahabat), tidak ada
yang tertinggal dari shalat berjamaah kecuali orang yang sakit atau munafik
yang diketahui nifaqnya." (HR. Muslim)
Karena pentingnya shalat berjamaah maka
Islam menekankan kepada kita untuk senantiasa mendirikan shalat secara
berjamaah, walaupun di tengah-tengah peperangan. Maka dianjurkan untuk
shalat"Khauf." Shalat ini merupakan shalat berjamaah yang khusus
dilakukan pada saat peperangan di belakang satu imam dengan dua tahapan. Pada
tahap pertama sebagian orang-orang yang ikut berperang shalat terlebih dahulu
satu rakaat di belakang imam, kemudian meninggalkan tempat shalat untuk menuju
ke medan perangnya
dan menyempurnakan shalatnya di sana ,
kemudian pada tahapan berikutnya datanglah sebagian yang semula menghadapi
musuh, untuk mengikuti shalat dibelakang imam.
Ini semua
mereka lakukan dengan membawa senjata perang dan dengan penuh kewaspadaan. Mengapa
ini semua mereka lakukan? Semata-mata agar tidak seorang pun dari mujahidin
yang kehilangan keutamaan shalat berjamaah yang sangat ditekankan oleh Islam.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya,
"Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka
pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka bersamamu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, la1u mereka menyerbu kamu
dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika
kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan
siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu." (An-Nisa': 102)
Ayat ini selain
menunjukkan kedudukan shalat berjamaah juga menunjukkan betapa pentingnya
kedudukan shalat itu sendiri. Berlangsungnya peperangan, siap siaganya musuh
dan kesibukan dalam berjihad fi sabilillah itu tidak menggugurkan kewajiban
shalat. Tetapi tetap wajib dilaksanakan dengan cara semampunya, walaupun tanpa
ruku', sujud dan menghadap kiblat ketika dalam peperangan yang serius. Cukuplah
dengan berniat ketika dalam kondisi darurat dan melakukan apa saja yang mungkin
dikerjakan seperti tilawah, isyarat berdzikir dan sebagainya. Allah SWT
berfirman:
"Peliharalah segala shalat(mu), dan
(peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan
atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah
(shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui." (Al Baqarah: 238-239)
Yang dimaksud
dengan firman Allah, "Farijaalan aur-rukhaanan" adalah shalatlah kamu
sambil berjalan atau berkendaraan, menghadap ke kiblat atau tidak, semampu
kamu, ini sesuai dengan orang yang naik pesawat, mobil, tank dan lain-lain.
Shalat juga
memiliki keistimewaan dengan adzan, itulah seruan Rabbani yang suaranya
menjulang tinggi setiap hari lima kali. Adzan berarti mengumumkan masuknya
waktu shalat, mengumumkan tentang aqidah yang asasi dan prinsip-prinsip dasar
Islam, meliputi, "Allahu akbar empat kali, Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, dua kali. Hayya'alashshalaah dua kali.
Hayya 'alalfalaah, dua kali, Allahu akbar, dua kali, kemudian membaca laa
ilaaha illallah."
Adzan ini
layaknya 'lagu kebangsaan' bagi ummat Islam yang didengungkan dengan suara
tinggi oleh muadzin, lalu dijawab oleh orang-orang beriman di mana saja berada.
Mereka bersama-sama ikut mengulang secara serempak kalimat-kalimat adzan itu,
untuk menghunjamkan nilai-nilainya dalam jiwa dan memperkuat nilai-nilai itu
dalam akal dan hati.
Shalat,
sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekedar hubungan ruhani dalam
kehidupan seorang Muslim. Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya,
berjamaah dengan keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan
kebersihan dan kesucian, dengan penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat'
ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban lainnya' seperti gerakan, tilawah,
bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya nilai lebih dari sekedar
ibadah. Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta'lim
yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi
bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi
bersih dan suci.
Shalat
merupakan tathbiq 'amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik
dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal. Yang membuka atap
masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan
kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan
orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.
Imam Asy-syahid
Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial, setelah beliau
menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: "Pengaruh shalat tidak berhenti
pada batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh
Islam dengan berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat
bathin merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang
sempurna pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat
bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah
dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan.
Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL
Qur'an menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan
bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga
orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan
akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia
secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara
berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali
dalam satu pekan dalam shalat jum'at di atas nilai-nilai sosial yang baik,
seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan
derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang
manakah dalam masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di
atas pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?
Sesungguhnya
shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu dan
pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam
benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini
bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi
pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil
dari"Komunisme" makna persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan
mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali
Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari"kediktatoran"
makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah'
mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang
menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil
dari"Demokrasi" suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya
mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun.
Dan shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua
ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan
diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan
minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak
ada keruwetan"
Karena itu
semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan
masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu sebagai"mizan"
atau standar, yang dengan neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan
diukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang
sejauh mana istiqamahnya maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana
ia memelihara shalatnya, bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan
hadits Rasulullah SAW:
"Apabila kamu melihat seseorang
membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman." (HR. Tirmidzi)
Kemudian Nabi
membaca firman Allah sebagai berikut:
"Hanyalah yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa
pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk." (At-Taubah: 18)
Dari sinilah,
maka pertama kali muassasah (lembaga) yang dibangun oleh Rasulullah SAW setelah
beliau hijrah ke Madinah adalah Masjid Nabawi. yang berfungsi sebagai pusat
ibadah, kampus bagi kajian keilmuan dan gedung parlemen untuk musyawarah.
Umat bersepakat
bahwa siapa yang meninggalkan shalat karena menentang kewajiban shalat dan
karena menghinanya maka ia telah kafir. Dan mereka berbeda pendapat mengenai
orang yang meninggalkan tidak secara sengaja tetapi karena malas, sebagian
mereka ada yang menghukumi kafir dan berhak dibunuh seperti pendapat Imam Ahmad
dan Ishaq. Sebagian lagi ada yang menghukumi fasiq dan berhak dibunuh, seperti
Imam Syafi'i dan Malik, dan sebagian yang lain ada yang mengatakan fasik dan
berhak mendapat ta'zir (hukuman, atau pengajaran dengan dipukul dan dipenjara
sampai ia bertaubat dan shalat, seperti Imam Abu Hanifah. Tidak seorang pun di
antara mereka mengatakan bahwa shalat itu boleh ditinggalkan menurut kehendak
seorang Muslim, jika mau ia kerjakan dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan
dan hisabnya terserah Allah. Bahkan mereka (para Imam) mengambil kesepakatan
bahwa termasuk kewajiban hakim atau daulah Muslimah untuk ikut mengancam dan
memberi pengajaran bagi setiap orang yang secara terus menerus meninggalkan
shalat.
Maka bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang membiarkan orang-orang bergabung dengan
Islam, sementara mereka hidup tanpa ruku' kepada Allah SWT, tanpa mereka
memperoleh.sanksi atau pengajaran dengan alasan bahwa manusia itu mempunyai hak
kebebasan untuk berbuat.
Bukan pula
masyarakat Islam itu masyarakat yang menyamakan antara orang-orang yang shalat
dan orang-orang yang tidak shalat apalagi mengutamakan orang-orang yang tidak
shalat dan menjadikan mereka sebagai pemimpin.
Bukan pula
masyarakat Islam itu yang membangun perkantoran-perkantoran, lembaga-lembaga,
pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah, sementara di dalamnya tidak ada Masjid yang
dipergunakan untuk shalat dan didengungkan suara adzan.
Bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang sistem kerjanya tidak mengenal waktu
shalat, sehingga bagi siapa saja dari karyawannya yang tak menepati peraturan
itu (yang tidak mengenal waktu shalat) akan dikenakan sanksi yang sesuai dan
akan dituding sebagai berbuat kesalahan.
Bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang ketika mengadakan seminar, resepsi,
pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah, sementara ketika masuk saatnya shalat
tidak ada suara adzan dan tidak didirikan shalat.
Sebelum itu
semuanya, bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak
mengajarkan shalat kepada putera-puterinya di sekolah-sekolah dan di
rumah-rumah, sejak masa kanak-kanak. Maka ketika mereka berusia tujuh tahun
mereka harus diperintahkan, dan ketika berusia sepuluh tahun mereka dipukul
apabila meninggalkan shalat.
Bukanlah
masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak menjadikan shalat termasuk
serangkaian kurikulum pendidikan pengajaran dan penerangan yang pantas
diperhatikan dalam agama Allah dan dalam kehidupan kaum Muslimin.
0 comments:
Post a Comment