Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah 186).
Berdoa adalah
salah satu senjata yang ampuh sekali untuk mencapai cita-cita yang
diidam-idamkan, di samping usaha dan daya upaya lahiriah.
Pengalaman
membuktikan bahwa banyak keinginan yang sangat berat untuk diraih, yang menurut
perhitungan akal tidak mungkin akan berhasil, namun dengan kekuatan doa, yaitu
senjata bathin yang dilaksanakan secara ikhlas dan khusyuk, akhirnya keinginan
tersebut terlaksana.
Doa adalah
intinya ibadah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Beliau adalah
seorang nabi yang terbebas dari segala kesalahan dan dijamin akan masuk surga,
namun Beliau adalah orang yang paling banyak berdoa.
Doa yang sering
dibaca Rasulullah adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Anas bin Malik: Kebanyakan
doa Rasulullah adalah:
Ya
Rabbaa, berikanlah kepada kami di dunia in kebakan dan di akhirat nanti
kebaikan dan jagalah kami dari adzab api neraka (QS.
Al-Baqarah 201).
Dalam kaitannya
dengan doa in, ternyata para ahli tafsir hadits menjelaskan bahwa makna yang
terkandung dalam kalimat fiddun-ya hasanah (kebaikan di dunia) paling
tidak mempunyai enam (6) unsur. Untuk terbitan kali ini akan dibahas tiga
unsur pertama, dan tiga unsur lainnya akan dibahas pada terbitan berikutnya.
Pertama
Al-‘Afiyah, kita sering mendengar bahkan mungkin kita sering
mengatakan kata-kata Al-‘Afiyah yang dirangkaikan dengan kata ‘sehat’
(ash-shihhah), namun kadang-kadang kita lupa, atau mungkin tidak tahu apa yang
dimaksud dengan Al-‘Afiyah.
Yang dimaksud dengan Al-‘Afiyah adalah kenikmatan dan kesehatan
yang tidak digunakan kecuali di dalam hal yang Allah ridhai, karena tidak
jarang orang yang sehat, namun tidak Al-‘Afiyah, matanya sehat namun
pandangannya tidak Al-‘Afiyah, lidahnya sehat namun ucapannya tidak Al-‘Afiyah,
hatinya sehat namun niatnya tidak Al-‘Afiyah, bahkan nyatanya
kerusakan-kerusakan yang ada dewasa ini, dilakukan oleh orang yang sehat namun
tidak Al-‘Afiyah.
Kedua
Al-Kafaf, merasa cukup dengan rizki yang telah diberikan Allah, hati
tidak mengeluh walau hidup pas-pasan. Seandainya orang mengikuti hawa nafsu,
tidak akan ada orang yang merasa puas. Sebagaimana sabda Rasul:
Seandainya seorang manusia memiliki satu lembah emas, niscaya dia akan
menginginkan lembah emas dua lembah emas, dan seandainya dia diberi dua lembah
emas, niscaya dia mengharapkan yang ketiganya. Tiada sesuatu yang akan memenuhi
perut manusia selain tanah. Allah akan menerima taubat orang yang bertaubat. (HR.
Al-Bazzar)
Untuk memiliki Al-Kafaf di dalam jiwa, Rasulullah saw menyampaikan
pesan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Abi Hurairah ra berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Lihatlah oleh
kalian orang yang lebih rendah daripada kalian dan janganlah melihat orang di
atas kalian, itu adalah lebih baik agar kalian tidak melupakan dan tidak
menyia-nyiakan nikmat Allah terhadap kalian.
Perasaan Al-Kafaf inilah yang akan mendorong hati manusia untuk
bersyukur kepada Allah, atas nikmat dan anugerah-Nya yang diberikan kepada
kita. Jika kita sudah mampu bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah telah
menjanjikan akan menambah kenikmatan kepada kita, sebagaimana firman-Nya:
Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim 7)
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa yang harus bersyukur bukan hanya orang yang berkedudukan
tinggi dan berharta banyak, tapi semua manusia diharuskan bersyukur, karena
semua manusia mendapatkan dan menerima kenikmatan dari Allah walaupun kadarnya
tidak sama.
Bahkan sering
kali orang kecil lebih banyak menikmati kenikmatan dibandingkan orang kaya.
Mereka dapat merasakan tidur yang nyenyak, walaupun hanya di atas tikar, namun
tidak jarang orang kaya tidak dapat tidur walaupun dengan fasilitas yang mewah,
kalau sebelumnya tidak minum obat tidur.
Karena itu
kenikmatan akan terasa sempurna jika kita bersyukur, dan syukur itu hanya akan
ada pada orang yang hatinya merasakan Al-Kafaf.
Ketiga:
Al-Mar’atush-Shalihah (Istri atau pasangan hidup yang shaleh)
Unsur ketiga yang
ada di dalam fiddun-ya hasanah adalah istri yang shalihah, karena istri yang
shalihah inilah satu-satunya perhiasan dunia yang paling indah. Dalam hal ini
Rasulullah saw bersabda:
Dunia
in adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalihah (Al-Hadits)
Istri yang
shalihah (pasangan yang sholeh) inilah yang akan mampu menciptakan rumah
bagaikan surga, yang akan dapat menjadi pendamping bagi suami dan menjadi
pembimbing anak-anaknya, sekaligus menjadi pendidik yang akan membentuk
kepribadian anak. Pada telapak kaki merekalah adanya surga.
Sebagai
ilustrasi, saya akan ambil figur seorang istri yang shalihah pada zaman
Rasulullah saw – yang sering dimuat dalam sejarah – dia adalah Ummu Sulaim.
Ummu Sulaim hidup
di tengah keluarga yang berekonomi lemah, tapi tidak menjadi penghalang baginya
untuk menjadi manusia teladan yang mengisi lembaran-lembaran sejarah. Di saat
masih gadis, dia nikah dengan laki-laki bernama Malik, dan dianugerahi
seorang anak yang diberi nama Anas. Di saat Anas masih kecil, Malik
meninggal dunia dalam keadaan belum masuk Islam. Ummu Sulaim menitipkan Anas
kepada Rasulullah saw untuk dididik secara Islami.
Suatu hari datang
seorang laki-laki bernama Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, tiap Ummu Sulaim
menolaknya, bukan dia tidak menyukainya, tapi ada satu penghalang yang
memisahkan mereka, yaitu Abu Thalhah belum masuk Islam, lantaran dia belum tahu
apa itu Islam. Kata Ummu Sulaim: “Kalau kamu masuk Islam, maka masuk islam kamu
itulah yang menjadi mas kawinnya”. Abu Thalhah tidak keberatan dengan
persyaratan itu, dia datang kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan maksudnya
dan diterima oleh Rasulullah dengan penuh kegembiraan. Abu Thalhah pun
mengucapkan dua kalimah syahadat, serta mendengar penjelasan Rasulullah saw
tentang Islam. Kemudian, nikahlah dia dengan Ummu Sulaim.
Walaupun pada
mulanya dia masuk Islam karena mau nikah, tetapi akhirnya sungguh menjadi
muslim yang kuat. Di dalam rumah tangganya yang penuh dengan kebahagiaan itu,
mereka dianugerahi seorang putra yang cakap sekali hingga banyak orang yang
senang melihatnya.
Namun di saat
anak itu masih dalam usia balita, anak itu jatuh sakit, berbarengan dengan itu
datang seruan untuk berjihad, tidak terkecuali Abu Thalhah. Abu Thalhah ingin
meminta izin kepada Rasulullah untuk tidak pergi dengan alasan anaknya sakit,
tap di saat alasan itu terdengar oleh Ummu Sulaim, Ummu Sulaim menghampirinya
seraya berkata, “Wahai Abu Thalhah, tidak pantas seorang muslim tidak pergi ke medan perang untuk
meninggikan kalimat Allah hanya sekedar anak sakit. Karena itu pergilah wahai
Abu Thalhah, biar akulah sebagai ibunya yang akan merawat dan mengurus anak
kita.”
Dengan motivasi
(pendorong) semangat yang diberikan Ummu Sulaim, akhirnya dia pergi juga
bersama Rasulullah. Si anak kian hari kian parah, sewaktu Abu Thalhah di tengah
perjalanan pulang, anaknya meninggal, Ummu Sulaim sebagai ibunya tidak meratap,
dia mengurusnya, mengafani, membaringkannya di sebuah kamar. Sesampainya Abu
Thalhah ke rumah, dia mengucapkan salam dan langsung bertanya, “Wahai, Istriku
bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab dengan tenang, “Jangan
diganggu, dia sedang istirahat dan salahkan Andapun istirahat dulu.”
Malamnya, Ummu
Sulaim tetap bertindak wajar sehingga tidak menimbulkan tanda tanya pada diri
Abu Thalhah. Dalam satu riwayat mengisahkan bahwa malam itu mereka (Abu Thalhah
dan Ummu Sulaim) melaksanakan hubungan suami istri.
Di pagi harinya
waktu Abu Thalhah mau pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh dengan
Rasulullah saw, Ummu Sulaim melarangnya dan meminta agar Abu Thalhah shalat
bersamanya. Setelah shalat shubuh, Ummu Sulaim berkata, “Wahai suamiku, bila
ada seseorang menitipkan barang kepada kita, dan kita diminta merawat barang
tersebut dengan imbalan bahwa barang tersebut boleh kita gunakan, kemudian
suatu saat ia datang dan meminta barang itu kembali. Menurut pendapat-mu
bagaimana sikap kita terhadap orang tersebut?”
Abu Thalhah
menjawab, “Tentunya kita harus mengembalikan barang tersebut karena pada
dasarnya barang tersebut adalah miliknya.”
Kemudian Ummu
Sulaim berkata, “Ketahuilah suamiku, kita telah sekian lama dititipi seorang
anak oleh Allah, dan telah sekian lama kita mengurus dan berbahagia karenanya,
maka saat ini Allah yang menitipkan anak itu telah mengambilnya kembali. Maka
kita pun harus merelakannya.”
Bersambung ke Makna
Doa (2)
0 comments:
Post a Comment