Hakekat Tangan Allah (3/3)
oleh: Ahmas Faiz Asifudin
Syubhat yang lainnya adalah mengenai makna hadits qudsy yang memberitakan kepada kita bahwa Allah sakit. Allah berfirman dalam hadits qudsy, "Wahai anak Adam, Aku telah sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku....". Shahih-kah hadits itu? Bagaimana redaksi lengkapnya? Apa yang dapat kita pahami dari hadits itu? Segera simak jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuat kita bingung.
Syubhat Makna Hadits Qudsi Bahwa Allah Sakit
Tentang firman Allah usl dalam hadits Qudsi:
Wahai anak Adam, Aku telah sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.... (al-Hadits)
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim, bab Fadhlu `Iyadat al-Maridh, Kitab al-Birri wa ash-Shilah wa al-Adab. Yang lengkapnya adalah sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman pada hari Kiamat: "Wahai Anak Adam! Aku telah sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku." Dia (anak Adam) menjawab: "Ya Rabbi, bagaimanakah aku menjengeuk-Mu, padahal Engkau Rabb al-Alamin ?". Allah berfirman:
"Tidakkah kamu tahu, bahwa hamba-Ku si Fulan telah menderita sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Apakah kamu tidak tahu bahwa kalau kamu menjenguknya, niscaya kamu dapati (pahala dari) Ku berada disisinya. Wahai anak Adam! Aku meminta makan kepadamu, tetapi kamu tidak memberi-Ku makan."
Dia menjawab: "Ya Rabbi, bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau Rabb al-Alamin ?"
Allah berfirman:
"Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu bahwa kalau kamu memberinya makan, niscaya kamu dapati balasannya ada padaKu. Wahai anak Adam! Aku meminta minum, tetapi kamu tidak memberi-Ku minum."
Dia menjawab: "Ya Rabbi, bagaimana aku memberi-Mu mimun, padahal Engkau Rabb al-Alamin ?" Allah berfirman:
"Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta mimun kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa kalau kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapati balasannya ada pada-Ku."
Para ahli takwil bingung melihat hadits semacam ini. Oleh karena itu merekapun menuduh ahlu Sunnah melakukan takwil terhadap hadits di atas. Padahal tidak. Di bawah ini Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawabnya. 8
Bahwa para Salaf telah memahami hadits ini menurut dhahirnya dan tidak mentakwil maknyanya berdasarkan hawa nafsu mereka. Tetapi mereka memahaminya sesuai dengan tafsiran yang diberikan Allah sendiri, sebagaimana Yang memfirmankannya.
Firman Allah, "Aku sakit, Aku meminta makan kepadamu dan Aku meminta minum kepadamu." maknanya telah dijelaskan sendiri oleh Allah yaitu pada firman-Nya:
"Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku si Fulan menderita sakit; bahwa ia meminta makan kepadamu dan bahwa ia meminta minum kepadamu."
Itu jelas sekali bahwa yang dimaksud adalah sakitnya seorang hamba Allah, minta makannya seorang hamba Allah dan minta minumnya seorang hamba Allah.
Yang menafsirkan makna seperti itu adalah Allah sendiri sebagai yang memfirmankannya; sedangkan Dia tentu lebih mengetahui apa yang dimaksud dengan firman-Nya itu sendiri.
Jadi kalau kita menafsirkan sakit, minta makan dan minta minum yang dinisbatkan kepada Allah dengan makna bahwa yang sakit, meminta makan dan meminta minum adalah hamba Allah, maka hal itu bukanlah penyimpangan makna pembicaraan dari dhahirnya. Sebab yang demikian itu merupakan penafsiran dari Allah sendiri sebagai yang memfirmankannya. Maka hukumnya sama saja kalau Dia memfirmankan makna ini sejak semula.
Adapun dinisbatkannya rasa sakit, minta makan dan minta minum kepada diri-Nya, tidak lain hanyalah sebagai dorongan semangat (membantu) dan tekanan, sebagaimana firman Allah :
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah. (al-Baqarah: 245)
Hadits di atas justru merupakan salah satu dalil terbesar yang sangat telak menghantam ahli takwil; orang-orang yang suka mentahrif nash-nash sifat dari dhahirnya tanpa dasar dalil dari Kitab Allah, maupun dari sunnah Rasul-Nya.
Mereka hanya mentahrifkan nash-nash tersebut berdasarkan syubhat-syubhat batil, yang dalam hal itu sendiri merekapun saling bertolak be' akang dan bingung.
Sebab jikalau yang dimaksud berbeda dengan dhahirnya nash -seperti yang mereka katakan- tentu Allah dan Rasul-Nya akan menjelaskannya.
Dan jikalau dhahirnya mustahil bagi Allah -seperti anggapan mereka- tentu Allah dan Rasul-Nya akan menjelaskannya, seperti hadits di atas.
Seandainya dhahir nash-nash sifat yang sesuai dengan keagungan Allah itu mustahil bagi Allah; berarti dalam al-Qur'an dan sunnah terdapat banyak sekali sifat Allah yang mustahil bagi-Nya. Dan itu adalah sesuatu hal yang tidak mungkin.
Kiranya cukup contoh-contoh syubhat yang dilancarkan oleh ahlu takwil (ahlu bid'ah) ini, supaya hendaknya bisa menjadi pelita dalam melihat syubhat-syubhat/permasalahan-permasalahan lainnya.
Sebenarnya kaidah tentang Asma' wa Sifat ini sudah jelas bagi ahlu Sunnah wal Jama'ah, yaitu memberlakukan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat sesuai menurut dhahirnya; tanpa tahrif; tanpa takwil, tanpa ta'thil, tanpa takyif dan tanpa tamsil. Kaidah tentang ini telah dibahas secara lengkap pada pembahasan kaidah-kaidah Asma' was Sifat. 9 Wal-hamdulillahi Rabbil Alamin.
Kesimpulan
Keterangan di atas telah secara jelas membantah syubhat dan tuduhan ahlu takwil kepada ahlu Sunnah. Ahlu sunnah tetap memahami nash-nash sifat sesuai dhahirnya. Sesuai dengan tuntutan bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur'an.
Jadi ahlu Sunnah wal Jama'ah tidak pernah mentakwilkan dan memalingkan nash-nash sifat dari dhahirnya. Dengan demikian, sesungguhnya syubhat (ahlu bid'ah) ahlu takwil tidak bernilai sama sekali. Walhamdulillah.
Catatan Kaki
...8
diterjemahkan secara bebas-pen.
...9
Lihat pembahasan ringkas mengenai hal ini pada Syarh Aqidah Al-Wasithiyah, oleh Sa'id bin Ali bin Wahf Al Qahthaniy, khususnya mengenai kaidah-kaidah tentang Asma' wa Sifat. -red. vbaitullah.
0 comments:
Post a Comment