Benih
Maksiat Dalam Santapan[1]
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا
تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي
فَقَدْ هَوَى
Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan
kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku
menimpamu. Dan barang siapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya
binasalah ia.(Qs.Thaha:81)
Imam bukhari meriwayatkan
bahwa abu bakar as shidiq ra memiliki seorang pelayan. suatu hari, pelayan tersebut
membawakan makanan untuknya, lalu beliau memakananya, setelah selesai makanan si
pelayan berkata, ‘’tahukah anda, makanan apa itu? ia mejawab, ‘’dimasa
jahiliyah saya pernah melakukan peraktek dukun untuk seseorang. dan sebenarnya
saya tidak ahli, tetapi saya berhasl menipunya. kebetulan hari ini dia
menemuiku dan dia memberiku upa. dari situlah makanan yang anda makan itu.
mendengar penjelasan itu abu bakar langsung
memasukian jari tanganya ketenggorokan hingga muntah dan mengeluarkan isi
perutnya.
penulis buku as shafwah menambahkan, ada seorang
sahabat berkata kepada abu bakar, ‘’semoga allah merohmati anda, anda melakukan
semua ini hanya gara gara sesuap makanan itu?’’
beliau menjawab,’’demi allah, seandainya saya tak
dapat mengeluarkannya kecuali bersama nyawaku, pastilah saya keluarkan juga!
saya pernah mendengar rasulallah saw bersabda (artinya): ‘’setiap jasad yang
tumbuh dari barang haram, maka api neraka lebih layak untuknya!’’
Beliau begitu takut akibat
makanan yang haram meskipun hanya sesuap nasi saja. karena makanan haram yang
disantap dan masuk kedalam perut adalah benih yang akan menumbuhan jasad yang
rajin bermaksiat. jika yang masuk kedalam perut sesuatu yang haram, maka hasil
tenaga yang keluar adalah untuk yang haranm pula.
jika kita sakisikan kemungkaran dan kemaksiatan
merajarela di negri kita, dan banyak dilakukan orang kebanyakan, bisa jadi itu
pertanda bahwa makan haram telah menjadi konsumsi banyak orang. mungkin inilah
zaman yang disebutkan oleh nabi saw.
‘’sungguh akan datang zaman atas manusia, di
mana orang sudah tidak mempedulikan lagi apa yang diambilnya, apakah dari yang
haram ataukah dari yang halal’’
Modus Hawa Nafsu Menghalalkan Yang Haram
Orang orang yang makan barang haram memiliki dalih yang
bervariasi. Ada yang memang tidak peduli sama sekali tentang status hukum suatu
makanan. Baginya, yang penting bisa makan.
Sebagian lagi, makan barang yang haram dengan
pertimbangan manfaat yang terkandung di dalamnya. Mungkin karena ada sisi
‘positif’’ untuk kesehatan, tenaga, atau efisiensi yang bersifat ekonomis.
Paahal, allah maha tahu tentang seluruh ciptaanya. Allah maha tahu apa yang
baik diambil oleh manusia, apa pula yang tidak baik. Jika allah mengharamkan
sesuatu, pasti itu adalah sesuatu yang menimbulkan madharat jika dikonsumsi.
Walaupun didalamnya ada faedah, maka madharat yang ditimbulkan olehnya jauh
lebih besar.
Yang lebih berbahaya, ketika yang diharamkan oleh allah
lalu di anggap halal dengan argumen yang tampak ilmiyah dan syar’iyah. Kadang
menggunakan qiyas fasad (qiyas yang rusak/tidk tepat). Padahal qiyas hanya
berlaku di saat dalil belum menyebutkan hukumnya secara defenitif. Jika sesuatu
telah dihukumi haram oleh dalil yang shahih, maka tak ada peluang lagi untuk
berqiyas.
Ada pula yang memelintir dalil untuk merubah status keharaman agar dianggap
sebagai sesuatu yang halal. Seperti seseorang yang menghalalkan daging babi
dengan alasan dalil umum seperti firman allah,
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.(qs. Al imran:191)
Jelas ia telah meletakan dalil
di tempat yang tidak semestinya. Memang, segala sesuatu pasti berfaedah, tak
ada yang sia sia dalam ciptaan allah. Namun, apakah faedah yang dimaksud itu
harus menjadikannya sebagai makanan? Apakah faedah batu juga harus dimakan? Ini
termasuk membantah dalil dengan qiyas yang salah.
Ada lagi yang mencari cari alasan, katanuya
daging babi itu haram kalau belum dimasak, jika sudah dimasak menjadi halal.
Ini juga pikiran picik, sejak dahulu, orang makan daging babi juga dalam
keadaan dimasak terlebih dahulu bukan dimakan hidup hidup. Dan sejak dahulu allah
juga sudah mengharamkannya.
Maka hendaknya takut pada
allah orang orang yang mencari alasan untuk menghalalkan apa yang diharamkan
oleh allah. Karena menghalalkan apa yang diharamkan oleh allah adalah kekafiran
berbeda dengan orang yang mengkonsumsi yang haram tapi ia meyakini
keharamannya, jatuhnya adalah dosa besar, bukan kafir. Hendaknya kita juga
waspada terhadap kemaksiatan yang sering kali dibungkus dengan kemasan yang
tampak ilmiah.
Resiko Menelan Makanan Yang Haram
Apapun alasan orang untuk mengkonsumsi yang haram. Yang
jelas resikonya terlalu besar. Barang yang haram adalah benih maksiat bnyak
ulama juga berpendapat, bahwa syarat diterimnya suatu amalan adalah makanan
yang halal. Artinya, allah tidak menerima amal shalih dari orang yang
mengkonsumsi makanan yang haram, wallahu a’lam.
Resiko lain yang juga sangat besar, makanan haram juga
menghalangi terkabulnya do’a.
Didalam sebuah hadits muslim, nabi saw menceritakan
tentang seorang laki laki yang telah jauh perjalanannya, berambut kusut lagi
berdebu, dia mengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, ‘’ya rab..ya
rab..’’ sedangkan ia makan dari yang haram , berpakaian dari yang haram dan
tumbuh dari yang haram, bagaimana mungkin akan terkabul do’anya?’’
Orang yang diceritakan nabi saw, dalam hadits ini,
sebenarnya telah berdo’a dengan adab yang benar, ia juga dalam kondusi yang
kondusif dan bagus untuk berdo’a. Hanya
saja, makanan yang haram menjadi penghalang terbesar bagi terkabulnya do’a.
Lantas bagaimana halnya dengan orang yang tidak menekuni adab dalam berdo’a dan
tidak pula mengetahui saat dan kesempatan yang baik untuk berdo’a, sedangkan ia
enjoy dengan barang barang yang haram? Tentu lebih jauh lagi kemungkinan
terkabul do’anya.
LUPA DIRI AKIBAT MELUPAKAN
ALLAH
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ
أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
‘’Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka
lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.’’(qs.al
hasyr: 19)
Hasil yang diperoleh manusia,
sebanding dengan usaha yang dilakukan. maka setiap kesalahan yang dilakukan
oleh manusia, akan dibalas oleh allah dengan balasan yang setimpal dengan
perbuatanya. Orang yang hendak menipu allah, maka allah akan menipunya, orang
yang melalaikan allah, maka allah pun akan mentelantarkannya. Bahkan ia akan
lupa terhadap dirinya sendiri. Seperti makna yang yang terkandung dalam ayat
ini.
Bagai Ikan Lupa Airnya
Begitulah
perunpamaan bagi manusia yang lupa akan fitrahnya, lupa akan jati diri yang
sesungguhnya, bingung dalam mencari sesuatu yang akan membuatnya bahagia. Sulit
diterima akal sehat, berbagai keniktmatan yang diburu sebagian orang justru
sesuatu yang menyengsarakan dirinya. Laki laki yang tidak tertarik menikah
dengan wanita dan sebaliknya, lalu mencari kesenangan dengan berhubungan initm
sejenis, atau bahkan ada lagi yang melakukan dengan binatang. Kenikmatan macam
apa yang dicari?
Orang yang
doyan mencicipi berbagai macam minuman keras, karena bingungnya, berbagai jenis
bahan dicoba dioplosnya untuk menuimbulkan efek ‘teler’ yang berlebihan. Tak
jarang, akhirnya nyawa melayang karena over dosis atau keracunan.
Seperti juga orang yang mencari
sensasi dengan mentato sekujur tubuh, melobangi telinga dengan lobag yang
besar, membelah lidah dan mengebor hidung untuk ditindik, dimana sisi
indahnya?di mana efek ebaknya?
Gambaran itu
hanya sebagian kecil dari jutaan keanehan pilihan hidup yang diambil oleh
manusia hari ini. Perbruruan kenikmatan yang tak pernah ditemukan, laksana
mencari api kedalam lautan, atau mencari air dalam kobaran api.
Begitulah, ketika seseorang
berpaling dari kenikmatan yang digariskan oleh penciptanya, niscaya allah akan
membiarkan ia tersesat, terlantar, terseok seok dan kebingungan dalam
mendapatkan kenikmatan dan kebahagian hakiki. Semua ini dikarnakan mereka
melupakan allah, maka allah pun membiarkan dan melupakan mereka.
Ibnu qoyyim
dalam miftah daaris sa’aadah memberikan
uraian yang sangat bagus terhadap ayat ini. ‘’perhatikanlah ayat ini, anda akan
memnemukan nilai yang luhur dan agung didalamnya.barangsiapa yang melupakan
rabbnya, niscaya allah akan membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Ia tidak
mengenal hakikat dirinya, apa yang mendatangkan maslahat untuk dirinya, ia
melupakan apa apa yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya, baik dalam
kehidupan didunia, maupun akhiratnya. Ia hidup terlantar layaknya binatang
ternak yang tersesat. Bahkan binatang ternak lebih tahu tentang maslahat
darpada dirinya, lantaran masih berjalanya insting yang allah karuniakan
kepadanya. Sedangkan orang ini, ia melupakan fitrah yang allah ciptakan
untuknya.
Jangan Ikuti Mereka
Begitu
mengerikan hukuman bagi orang yang melupakan allah. Belum lagi diakhirat,
mereka akan dibangkitkan allah dalam keadaan buta, hingga mereka bertanya,
‘’rabbi mengapa engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, sedangkan aku dahulu
bisa, melihat?’’ allah menjawab.
Allah berfirman:
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ
تُنْسَى
"Demikianlah, telah
datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada
hari ini kamupun dilupakan." (qs. Thaha: 126)
Lantas Bagaimana Seseorang
Dianggap Melupakan Allah Itu?
Para ahli
tafsir memiliki pendapat yang bervariasi berkenaan maksud melupakan allah. Ibnu
katsir menyebutkan, ‘’yakni janganlah kalian lupa dari mengingat allah ta’al,
karena kamu akan lupa beramal shalih, sesungguhnya balasan itu setimpal dengan
jenis perbuatannya, ‘’al qurthubi berkata, ‘’mereka melupakan allah, yakni
meniggalkan perintahnya, sehingga mereka lupa diri untuk melakukan kebaikan.
‘’sedangkan ibnu jarir at thabari berkata, ‘’yakni melupakan hak hak allah yang
telah diwajibkan atas mereka.’’
Benang merah
yang bisa kita ambil dari defenisi para ulama tersebut adalah, bahwa maksud
melupakan allah adalah tidak mengingatnya, tidak mengindahkan perintah dan
larangannya, dan tidak menunaikan hak haknya. Sekedar melafazkan bacaan dzikir
belum membebaskan seseorang dari ancaman melupakan allah, kecuali jika ia
tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangannya. Atha’ bin abi rabah rhm
menyebutkan bahwa, ‘’ad dzkru at tha’atullah’’, dzikir itu taat pada allah,
barangsiapa tidak mentaatinya berarti dia belum dianggap dzikir, meskipun dia
banyak mengucapkan tasbih, tahmid, dan takbir.
Kita tak hanya dilarang melupakan
allah tapi juga dilarang mengikuti para pelakunya. Janganlah kita terpesona
oleh gerak gerik dan kebebasan mereka.
Mereka bukan
orang merdeka. Tapi terjajah oleh hawa nafsunya. Syaikhul islam ibnu taimiyah
berkata,’’sesungguhnya orang orang yang mengikuti sahwatnya terhadap rupa,
makanan, minuman dan pakaian menyebabkan syahwat akan menguasai hatinya, ketika
syahwat berselera terhadap sesuatu, ia akan memaksa dan mengendalikannya,
sehingga hati menjadi tawanan bagi selera hawa nafsunya, hati akan bergerak
kemanapun hawa nafsu menginginkannya. ‘’sungguh, tak ada tawanan yang lebih
hina dari orang yang ditawan oleh hawa nafsunya.
Yang mereka
rasakan bukanlah kebahagiaan, bukan pula kepuasan. Laksana minum air garam,
makin banyak minum, makin terasa haus dibuatnya. Mereka juga bukan orang sukses
meraih keinginannya. Bahkan mereka tengah bingung memburu kenikmatan. Laksana
binatang gembala ditinggalkan oleh pengembalanya. Berjalan tak tentu arah,
makin lama berjalan, makin jauh dari tempat tujuan. Siapa lagi yang lebih
tersiksa dari mereka. Ya allah, bantulah kami untuk senantiasa mengingatmu,
bersyukur kepadamu, dan memperbaiki ibadahku kepadamu. Amin.
KERJA KERAS DI DUNIA,
SENGSARA DI AKHIRAT
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ () تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
'' bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka)
(qs. Al ghasiyah:
3-4)
Kita pantas
salut melihat orang yang kerja keras mengais rezeqi, membanting tulang dan
menguras keringat. Tapi rasa salut itu akan berbalik menjadi belas kasihan,
ketika kita tahu, bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak memperhatikan
urusan akhiratnya. Tidak shalat tidak ta’at dan bahkan uang yang didapatkan
tidak seberapa banyak ia hasilkan dari kerja kerasnya digunakan untuk
bermaksiat. Betapa tidak, hasil dari jerih payahnya bukan kebahagiaan, tapi
kepayahan yang lebih dahsyat dari kepayahan yang dialami di dunia.
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ () تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
'' bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka)
(qs. Al ghasiyah:3-4)
Kerja Keras Di Akhirat
Banyak variasi
pendapat para ulam dalammentafsirkan firman allah, ‘’bekerja keraslagi kepayahan.
‘’apakah itu terjadi di dunia, ataukah di akhirat, yakni di neraka. Al fahkru
razzi dalam tafsirnya menyebutkan tiga pendapat, ‘’bisa jadi segala kerja keras
dan kepayahan yang dimaksud semua dialami di dunia, bisa semuanya terjadi
akhirat, dan bisa jadi pula sebagian kepayahan itu dialami di dunia, sebagian
lagi dialami di akhirat.’’beliau tidak memberikan keterangan manakah mana yang
lebih rajih di antara tiga pendapat tersebut.
Namun, tak ada
ulama yang membantah, bahwa di neraka, penghunia akan mengalami kerja keras dan
kepayahan. Dan tidak ada yang lebih payah dari kepayahan yang dialami dari
kepayahan yang dialami oleh penduduk di neraka.
Hasan al basri rhm, mengatakan
bahwa,’’mereka dibuat kerja keras dan lelah di neraka oleh rantai dan belenggu.’’
Berbeda dengan
kepayahan di dunia yang berjeda dan ada kesempatan untuk istirahat. Di neraka
kepayahan akan berlangsung selamanya. Sementara maknannya duri yang tidak
mengemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar. Tak ada pula minuman
selain air mendididh yang amat sangat panasnya.
Kerja Keras Di Dunia Untuk Di Dunia
Meskipun makna
sudah pasti dalam ayat tersebut adalah kepayahan di hari kiamat sebagaimana
diindikasiakan ayat sesudah dan sebelumnya, namun tidak dipungkiri, bahwa yang
mereka alami di neraka itu karena ulahnya di dunia. Sehingga banyak ulama yang
mengaitkan kerja keras dan kepayahan di akhirat itu sebagai balasan atau
tindakan mereka yang sesat di dunia. Ibnu abbas berkata,’’yakni mereka sudah
bekerja keras dan kepayahan di dunia, lalu pada hari kiamat dia masuk kedalam
neraka yang sangat panas.
Kerja keras di
dunia yang dimaksud bisa bermakna orang yang hanya mencari kenikmatan di dunia
semata. Mereka bersusah payah, membanting tulang, sekedar untuk mencari makan
dan kebutuhan hidup semata pada saat yang bersamaan, mereka enggan untuk
mengabdi kepada allah, meniggalkan amal yang bisa mereka bahagia dan selamat di
akhirat. Atau bahkan kerja kerasnya dalam rangka bermaksiat kepada allah.
Inilah pendapat yang diutarakan oleh ikrimah dan as suddi, ‘’di dunia mereka
kerja keras di dalam maksiat, sehingga merasakan kepayahan di neraka dengan
azab dan kesengsaraan.’’
Alangkah
mengenaskan nasib mereka. Di dunia tak menderita, di akhirat sengsara
selamanya. Lantas kapan mereka bisa mendapatkan kebahgian? Penderitaan mana
yang lebih berat daripada penderitaan ini.
Islam
menghasung kita untuk kerja keras. Jika kemudian hasil jerih payah yang di
dapatkan belum mencukupi kebutuhan, jangan
samapi membuat kita berputus asa untuk mendapatkan kenyamanan di
akhirat. Bahkan, bagi orang yang beriman, ketika mendapatkan dirinya hidup
dalam kemiskinan dan pederitaan, dia terhibur dengan keyakinan, bahwa
kemiskinan itu hanyalah sementara, kelak di jannah takkan lagi terasa bekasnya.
Berganti dengan kenikmatan tiada tara. Dengan motivasi ini, mereka akan
memperhatikan akhiratnya. Bersabar dalam menghadapi cobaan, sabar dalam
menghadapi kataatan, dan bersar agar tidak tergiur dengan cara cara maksiat
untuk mendapatkan rizqi.
Mereka itulah
orang orang yang cerdas, bahkan lebih cerdas daripada orang orang kaya yang
menjadikan dunia yang begitu singkat sebagai tujuan akhiratnya, mereka
memakmurkan mereka dengan cara merusak akhiratnya. Mereka memilih untuk
menderita selamanya, asalkan bisa sesat bersenang senang di dunia. Sungguh
merupakan pilihan yang picik dan tidak sesuai dengan nalar yang sehat.
Kerja Keras Untuk Akhirat,
Tapi Sesat
Penafsiran
lain dari ‘kerja keras dan berpayah’ dari surat al-ghasiyah ini adalah kerja
keras untuk mendapatkan pahala, namun berangkat dari keyakinan yang sesat, atau
cara yang salah. Syaikh as sanqhithi menukil sebagai penafsiran, ‘’bahwa maksud
ayat itu adalah, ‘’mereka kerja keras dan kelelahan dalam menjalankan ibadah
yang sesat, seperti para pendeta dan uskup, begitupun dengan para pelaku
bid’ah.
Kelompok ini juga sangat
memperhatiakan. Betapa tidak, mereka merasa telah menjalankan ibadah, bersusah
payah untuk berbuat baik dalam perasangkaannya, namun ternyata sesat,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا () الَّذِينَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ
صُنْعًا
Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.(al kahfi:103-104)
Mereka salah dalam keyakinan, keliru pula dalam mejalankan. Sementara
mereka menyangka di atas kebenaran. Karena itulah, ketika umar bin kahtab
melewati seorang pendeta yang sedang ‘khusuk beribadah’ , beliau berhenti
sejenak dan memperhatikannya. Lalu beliau menangis sembari membaca firman
allah, ‘amilatun nasibah, taslanaran hamiya, bekerja keras lagi kepayahan,
memasuki api yang panas (nereka).’’ Karena apa yang dilakukan pendeta itu
adalah kekhusuan dalam kekafiran.
Termasuk dalam
katagori ini, mereka yang beribadah, baik shalat, dzikir dan amalan lain yang
tidak mengikuti sunnah. Mereka yang mengikuti bid’ah yang diada adakan. Syaikh
as shinqithi mengingatkan tatkala menafsirkan ayat ini, ‘’hendaknya takut akan
ayat ini, orang yang beramal tanpa ilmu, tapi beramal diatas bid’ah dan
kesesatan.
Umumnya, orang yang melakukan bid’ah memiliki prasangka akan
mendapatkan pahala lebih dengan mejalaninya. Padahal, bukan itu amal yang
dikehendaki oleh allah. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan benar. Ikhlas
adalah beramal untuk allah, sedangkan benar adalah sesuai dengan sunnah
rasulallah saw. wallahu alam bis shawab.
ILMU MAKIN BANYAK DIMILIKI
MAKIN MENARIK UNTUK DICARI
Ilmu memang harus dicari dengan susah payah, tak kenal
lelah, bahkan menuntut banyak pengorbanan. Tapi, buah yang bakal diraih adalah
kenikmatan tiada tara. Jerih payah dalam menuntut ilmu Muhammad bin thahir al
maqdisy mengkisahkan suka dukanya tatkala mencari ilmu, ‘’aku telah kencing darah ketika menuntut
ilmu sebanyak dua kali, hal ini disebabkan karena aku terus berjalan kaki
diterik matahari yang menyengat, dan aku tidak pernah mengendarai kendaran
dalam menuntut ilmu kecuali hanya sekali saja, aku bawa buku diatas punggungku
sampai aku tiba dinegri yang kutuju. Dan selama dalam perantauan aku mencukupi
kebutuhan hidupku dengan apa yang allah berikan kepadaku, tanpa meminta minta.
Jauhnya perjalanan dan kondisi keterbatasan dalam
mencari ilmu dialami pula oleh abu dzakariya at tibrizy. Beliau memasukan kitab
kedalam keranjang, lalu memanggulnya dari kota tibriz hingga kota al ma'arah.
Beliau menempuhnya dengan berjalan kaki karena tak memiliki harta untuk menyewa
kendaraan. Kertinggatnya bercucuran dari punggung hingga membasahi kitab yang
dibawanya. Orang yang melihatnya, mengira kitab yang dibawanya baru saja
tenggelam dalam air karena basah.
Lain lagi dengan imam
al bukhari, tidak saja menempun perjalanan jauh, tapi juga banyak
mengggorbankan waktu tidurnya untuk mencari ilmu dan belajar. Ibnu katsir
menceritakan, ''al bukhari pernah bangun dari tidur pada suatu malam kemudian
ia menyalahkan lampu dan menulis ilmu yang terlintas dibenaknya kemudian
mematikan lampu itu. Lalu ia bangun lagi dan begitu seterusnya hingga sampai
kurang lebih 20 kali.
Jerih payah yang mereka lakukan akhirnya membuahkan hasil. Allah megangkat
derajat mereka, dan menganugrahkan kepada mereka kelezatan dalam belajar, dan
kenikmatan menjadi orang alim. Kenikmatan yang seandainya para raja tahu dan
mampu, tentu mereka akan merebutnya dengan pedang pedang mereka. Itulah
kenikmatan yang tak pernah akan diraih oleh orang yang pernah merasakan pahit getir
mencari ilmu. Imam as syafi'i rhm berkata,
من لم يذق ذل التعلم ساعة نجرع ذل الجهل طول حباته
''barangsiapa yang belum
pernah merasakan suatau saat kesusahan dalam mencari ilmu, maka ia akan
mengenyam pahitnya kebodohan selama hidupnya.''
Maka jangan berharap menjadi orang besar, menjadi ulama
atau pemimpin yang handal, jika belum pernah merasakan pahitnya mencari ilmu.
Tak Ada Kata Jemu Bagi Penuntut Ilmu
Penuntutu ilmu sejati, takkan pernah jemu. Bila semula
belajar menjadi beban, akhirnya ilmu menjelma menjadi sebuah kenikmatan.
Semakin banyak dicari, semakin banyak dimiliki, pesona ilmu akan menarik hati
untuk dicari. Tak ada ceritanya, orang yang berilmu bosan dan merasa cukup
untuk belajar. Jika ternyata ada orang yang merasa puas dengan ilmu yang
dimiliki, berarti dia orang yang bodoh, belum masuk dalam kriteria penuntut
ilmu. Abdullah bin mas'ud berkata:''ada dua golongan yang tidak akan pernah
merasa puas, penuntut ilmu dan pemburu dunia. Keduanya tidak sama. Adapun
penuntut ikmu semakin mendatangkan ridha allah, sedangkan pemburu dunia semakin
membuat dirinya melampui batas.''
Alangkah tepat yang beliau katakan. Tingginya ilmu,
banyaknya santri dan tingginya kedudukan tidak membuat para ulama ingin rehat
dari thalabul ilmi. Seperti yang dilakukan oleh ali bin al husain. Ketika
beliau memasuki masjid untuk mengadiri majlis ilmu zaid bin aslam, naïf bin
zubair berkata, ''semoga allah swt memaafkan anda, anda seorang sayid dari
kebanyakan manusia, tetapi anda masih berusaha susah menghadiri majlis ilmu
hanya seorang hamba sahaya. ''beliau menjawab, ilmi itu dibutuhkan, didatangi
dan dicari dimanapun ia berada.''
Sakit Dan Tua Tetap Berhasrat
Rasa sakitpun tak kuat untuk membendung rasa ingin tahu
para ulama, walaupun sakit parah yang mengantarkan kepada kematian. Ketika ibnu
jarir sakit menjelang wafatnya, ja'far bin muhammad memanjatkan do'anya
untuknya. Ibnu jarir kemudian meminta tempat tinta dan selembar kertas untuk
menulis do'a itu. Orang orangpun bertanya heran, ''dalam keadaan seperti ini?
''beliau menjawab, ''sudah selayaknya, seseorang untuk tidak berhenti menuntut
ilmu, hingga menjelang kematiannya.'' Belum lagi tamu itu keluar,beliau sudah
menghembuskan nafas terakhirnya, semoga allah merohmatinya.
Usia tua juga tidak berpengaruh apa apa, selain
bertambahnya semangat dan gairah para ulama untuk belajar. Abul wafa ali bin
abu aqil menceritakan tentang dirinya, ''sesungguhnya aku tidak akan pernah
membiarkan diriku membuang waktu walaupun meski hanya sesaat saja dalam
hidupku. Sampai sampai apabila lidahaku berhenti berdzikir atau berdiskusi,
pandangan mataku juga berhenti membaca, segera aku mengaktifkan fikiranku kala
beristirahat sambil berbaring. Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas
sesuatu yang akan kutulis. Dan ternyata aku mendapati hasratku untuk belajar
pada umur 80an tahun, lebih besar hasrat belajarku pada umur dua puluh tahun.''
Subhanallah, dimanakah orang orang yang mengikuti jejak beliau.
Orang orang juga heran dengan perihal imam ahmad bin
hambal. Makin senja usia, makin akrab dengan kertas dan tinta, makin tinggi
ilmunya, makin lengket dengan ilmu. Hingga orang orangpun bertanya, ''sampai
kapan anda berhenti dari mencari ilmu, padahal anda sekarang sudah mencapai
kedudukan yang tinggi dan telah pula menjadi imam bagi kaum muslimin?'' maka
beliau menjawab, bersama tinta hitam hingga masuk keliang lahat.
Jika anda penuntut ilmu sejati seperti mereka, tak ada
kata jemu, bosan, atau merasa cukup dalam belajar. Ya allah ajarkanlah apa apa
yang bermanfaat bagi kami, dan berikanlah manfaat atas apa apa yang telah
engkau ajarkan kepada kami. Amien.
MENGASAH EMPATI MENGIKIS
EGO DIRI
Uwais al qarni, seorang tabi'in yang mulia, dan
keshalihannya telah diisyaratkan oleh rasullah saw, seorang ahli ibadah, namun
juga sangat perhatin terhadap nasib saudaranya. Saat tak ada lagi sesuatupun yang
dimilikinya, sementara masih ada orang yang hidup menderita, beliau berdo'a,
''ya allah saya memohon udzur kepada-mu hari ini, lantaran tidak mampu memberi
makan orang kelaparan, dan tak mampu membri pakaian kepadaorang yang tak punya
pakaian. Tak ada lagi pakaian. Tak ada lagi makanan di rumahku selain apa yang
telah berada di dalam perutku, dan aku tidak memiliki apa –apa lagi selain apa
yang telah menempel pada ditubuhku beliau hanyalah sehelai baju yang telah
usang.
Begitulah, tanggung jawab yang dirasakan oleh uwais
sebagai seorang muslim. Tidak hanya cukup bersombong, ''yang penting aku tidak
merugikan orang lain, tidak mengganggu, atau mencelakainya.'' Tidak cukup hanya
itu. Tapi manfaat apa yang bisaia berikan kepada saudaranya muslim yang membutuhkan.
Islam menganjurkan umatnya memiliki perhatian terhadap nasib saudaranya.
Dengan akhlak seperti ini, dakwah mudah diterima, ikatan
ukhuwah semakin erat, dan kekuatan menjadi kokoh.
Berbeda dengan sikap ananiyah (induvidualis/egois), masa
bodoh, tak menjaga perasaan orang lain dan hahya mementingkan diri sendiri. Dia
ingin diperhatikan, namun enggan membre perhatian. Sifat ananiyah, kalaupun
tidak secara langsung menimpakan gangguan kepada orang lain, namun berpotensi
menumbuhkan bibit kedengkian. Dari kedengkian akan muncul kebencian, lalu
perpecahan. Ujung ujungnya, kelemahan kaum muslimin dan penguasaan musuh
terhadap mereka. Karena, itu islam mengasung umatnya untuk berlaku empeti,
sekaliggus memberi perhatian kepada saudaranya muslim, dari hal kecil hingga
perkara yang besar dan mendesak. Nabi saw mengasingkan keimanan seseorang yang
tidak peduli terhadap nasib yang dialami oleh saudaranya. Beliau saw bersabda,
ما آمن مَنْ بات شبعاناً وجارُهُ حائع إلى جنبه و هو يعلم به
''tidak sempurna iman sesorang kepadaku
yang bermalam dalam kondisi kenyang, sementara tetangganya kelaparan di sisinya
dan ia mengetahuinya.''(Hr. at thabrani dan al bazaar)
Salam, Bukan Basa Basi
Bentuk perhatian pertama
terhadap sesama muslim adalah dengan menyebarkan salam. Anjuran nabi saw,
''sebarkanlah salam diantara kalian'' adalah kalimat yang memiliki kandungan
makna yang dalam, cakupan yang luas, dan mengandung konsekuensi yang tidak
sederhana. Bukan sekedar basa basi yang tidak berarti apa apa. Unkapan itu
mengandung perhatian bahwa dia betul betul suka jika saudarnya dalam keadaan
selamat dan tulus berharap dan untuk itu. Ini menurut dirinya menjaga darah,
harta dan kehormatan saudaranya.
Sufyan bin uyainah ra menafsirkan makana salam, ''orang
yang menyapa''assalammu'alaikum'' berarti dia mengatakan, ''engkau selamat dari
gangguanku dan aku selamat dari gangguanmu, begitu juga dengan jawaban,'' maka
tidak sepantasnya jika kedua pihak yang saling menucapkan salam tersebut
menggunjing dibelakangnya dengan sesuatu yang tidak layak, baik berupa ghibag
maupun selainnya.
Apalagi jika pertemuan
antara dua orang muslim diawali dengan salam dan disertai dengan jabat tangan,
niscaya dosa keduanya dihapus sebelum keduanya berpisah,sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih.
Tahaadu Tahaabbu
Di samping do'a keselamatan yang sekaligus berupa ikrar
untuk tidak saling mengganggu, saling memberikan hadiah adlah bukti adanya
perhatian, juga sarana menjalin kasih sayang sesama muslim. Karenaitu nabi saw,
memberikan motivasi, tahaadu tahaabbu...'' hendaknya kalian memberikan hadiah
satu sama lain. Niscaya kalian akan salin mencintai. Janganlah kita mengganggap
pemberian, meski sedekit. Karena masalah yang didapat bukan saja dari sisi
materi, tetapi secara maknawi lebih berarti.
Nabi saw, berpesan kepada kaum wanita,
يا نساء المسلمات، لاتحقرن جارة لجارتها ولو فرسن شاة
''wahai wanita wanita muslimah, jangan sekali kali seorang
mengganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya
dengan sepotong kaki kambing.''(Hr. Bukhari dan Muslim)
Bahkan, jika kita memasak suatau masakan yang berkuah,
memperbanyak kuah lebih baik, agar manfaat bisa dirasakan oleh banyak orang.
Seperti pesan nabi saw yang ditunjukan kepada abu dzar algihifari.
Tujuan hadiah bukan sekedar manfaat materi yang
dirasakan, namun juga pengaruhnya secara maknawi, meski tidak seberapa, hadiah
akan menumbuhkan cinta dan persaudaraan. Al hafidz ibnu hajar as qholani rhm, dalam fathul baari menyebutkan hadits
asiyah ummul mukminin ra yang diriwayatkan oleh at thabari.
يا نساء المؤمنين، تهادوا ولو فرسن شاة، فانه ينبت
المودة ويذهب الضغائن
''wahai istri istri orangorang yang
beriman, hedaknya kalian saling memberikan hadiah, hanya sepotong dengan kaki
kambing, karena hal itu akan menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan kedengkian.''(Hr.
at Thabrani)
Ada pula riwayat yang menakjubkan perihal antusiasnya
para sahabat dalam memberikan hadiah. Al waqidi meriwayatkan sebuah atsar dari
Abdullah bin umar rhma, ''salah seoranr dari sahabat rasullah saw menghadiahkan
sepeotong kepala kambing kepada seseorang. Orang itupun berkata, ''saudaraku
sipulan lebih berhaq menerima ini, ia sangat membutuhkannya, kemudian kepala
kambing itu dihadiahkan kepada orang yang dimaksud,. Setelah menerima pemberian
itu sampai kepada orang yang dimaksud ia juga mengatakan, ''berikan ini kepada
saudaraku si fulan karena ia lebih berhaq menerimannya''. Selanjutnya si fulaan
itupun mengahadiahkannya kepada yang lain dan demeikian seterusnya hingga
kepala kambing itu sempat diterima oleh tujuh keluarga dan akhirnya kembali
orang pertama yang memberikannya.
Membantu Kesulitan Saudarnya
Hadiah diberikan kepada saudaranya, meskipun itu berupa
sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan. Lalu, bagaimana jika ternyata ada
saudaranya muslim yang terdesak kebutuhan, atau sedang mendapatkan kesulitan?
Tentu anjuran islam untuk menolong makin kuat ditekankan. Nabi saw menjanjikan
siapapun yang mengentaskan penderitaan saudaranya, akan terhindar dari
kesulitan yang paling besar,
مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ فَإِنَّ
اللَّهَ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ
عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
''barang siapa yang mencukupi kebutuhan saudarnya, niscaya allah
akan memenuhi kebutuhannya, dan barang siapa yang melepaskan satu kesusahan
yang dialami oleh seorang muslim, maka allah akan meng-hindarkannya dari satu
kesusahan di hari kiamat.''(Hr.Muslim)
Membantu bisa dalam bentuk memberi, bisa pula meminjami.
Bahkan dalam bebrapa hal, memberikan pijaman lebih utama daripada memberi. Ibnu
Majah dalam kitab as shadaqah meriwayatkan sebuah hadits,
'' pada malam isra',aku melihat diatas pintu jannah tertulis pahala
sedekah sebanyak sepuluh, sedangkan memberikan pinjaman diberi pahala delapan
belas. Maka aku bertanya kepada jibril, ''keapa memberi pinjaman lebih utama
daripada bersedekah? ''jibril menjawab, ''karena orang yang meminta sesuatu,
bisa jadi telah memilikinya, namun orang yang meminjam, tidaklah ia meminjam
karena kecuali karena sangat membutuhkan.''(Hr.Ibnu Majah)
Tentu saja hadiah itu menjadi motivasi kita untuk
memberi kemudahan pinjaman bagi orang yang berhutang, bukan mendorong kita
gampang berhutang. Masing masing harus saling menjaga dan pengertian. Jika
tidak, saling curiga, saling benci dan perpecahan tinggal menunggu waktu.
Bayangkan jika yang satu mudah memberi pinjaman, lalu dimanfaatkan oleh orang
yang gampang berhutang. Atau sebaliknya, ada orang yang sangat membutuhkan,
namun yang memiliki harta menaruh curiga, atau pura pura tidak tahu, tentu
jalinan ukhuwah tak akan berthan lama.
Untuk itulah, di samping memberikan motivasi bagi yang
mendapat rezeki untuk memberikan pinjaman, syariat juga menancam orang yang
menyalahgunakan kepercayaan dan kelonggaran saudaranya. Nabi saw bersabda,
''barang siapa yang meminjam harta orang lain dengan maksud
mengembalikannya, maka allah akan membantunya untuk dapat mengembalikannya, dan
barang siapa yang meminjamnya dengan maksud mengambilnya, maka allah akan
menjadikan harta itu ludes karenanya.''(Hr. al Bukhari)
Ini dalil hendaknya dipegang oleh peminjam, sedangkan
sebelumnya, adalah dalil untuk orang yang memiliki kelonggaran. Jika masing
masimg terbalik dalam menggunakan dalil, niscaya ukhuwah akan terancam pecah.
Nas'alullahal'afiyah.
SEBELUM KESEMPATAN BERUBAH
MENJADI PENYESALAN
وَلَوْ أَنَّ لِكُلِّ نَفْسٍ ظَلَمَتْ مَا فِي الأرْضِ
لافْتَدَتْ بِهِ وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَهُمْ لا
يُظْلَمُونَ
''an
kalau setiap diri yang lalim (musyrik) itu mempunyai segala apa yang ada di
bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyembunyikan
penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan azab itu. Dan telah diberi
keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dianiaya.''(qs.
Ynus:54)
Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Begitulah
kata mutiara berbicara. Akan tetapi, ada kondisi dimana kegagalan tak mungkin
lagi menjadi tangga kesuksasan,. Yakni, kegagalan yang dialami manusia dalam
menjalani kehidupan, lalu dating pdanya kematian. Jika seseorang salah dalam
menggelola hartanya, menyimpang dalam mempergunakan waktu dan umurnya di dunia,
juga sesat dalam mengkaryakan hati dan seluruh jasadnya, maka ia akan menelan
pahitnya kegagalan selamanya, kesengsaraan yang takkan ada ujung kesudahannya,.
Yakni saat datangnya hari pembalasan, yang ada hanyalah penyesalan, yang ada
hanyalah kata terlambat. Tak ada waktu perbaikan, tiada kesempatan untuk
mengulang. Tinggallah angan angan kosong dan rintihan permohonan yang mustahil
dikabulakan, mereka berkata,
قَالَ رَبِّ
ارْجِعُونِ () لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
"Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke
dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku
tinggalkan.(qs. Al mukminun:99-100)
Andai Hidup Bias Diulang
Itulah penyesan yang telah
menyia-nyiakan umurnya, menghamburkan kesempatan dan peluangnya untuk hal hal
yang sia sia, atau kadang bahkan terlalu boros dalam mengalokasikannya ke dosa.
Saat yang bersamaan, mereka amat bakhil untuk memanfaatkannya dijalan yang
dikehendaki oleh penciptanya. Mereka begitu 'dermawan' dalam membagi bagikan
jam demi jam untuk menikmati hiburan haram, hari demi hari untuk kesibukan
diluar ketaatan,. Namun mereka terlampu 'hemat' dan bakhil untuk meluangkan
menuntut ilmu syar'I, shalat tepat waktu, terlebih untuk berdakwah, meyeru
manusia kejalan allah. Kalaupun ia mengerjakan, di akhir waktu atau disela sela
kesibukan duniawinya. Pun dikerjakan
dengan tergesa gesa. Berbeda sekali ketika mereka menggunakan waktunya untuk
memuaskan hawa nafsunya.
Begitupun halnya dengan potensi jasad ban tenaga, berapa
banyak dikerahkan untuk beribadah? Sering kali kewajiban sebagai hamba allah
ditunaikan hanya dengan sisa sisa tenaga yang ada. Andai saja mereka melihat
siksa yang dihadapan mereka, tentu mereka rela mengarahkan seluruh potensi yang
dimilikinya, medermakan total waktu hidupnya agar selamat dari siksa. Firman
allah ta'la.''
''dan jikalau setiap diri yang dzolim itu
mempunyai segala apa yang ada dibumi, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan
mereka menyembuyikan penyesalan ketika telah menyaksikan azab itu,''
Andai Siksa Bias Ditukar Dengan Harta
Nasib tergis juga bias dialami
oleh orang yang salah dalam mengelola hartanya. Penyesalan mereka dikisahkan
oleh allah swt,
وَأَنْفِقُوا مِنْ
مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ
رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ
الصَّالِحِينَ
''Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang
telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di
antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat
bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"(qs. Al munafiqun :10)
Saat menyaksikan siksa yang hendak ditimpakan
atasnya, mereka ingin seandainya bias, hendak menebus dirinya dengan apapun
yang dimilikinya di dunia, yang penting dirinya bias selamat dari siksa.
Anas bin malik meriwayatkan,
bahwa nabi saw bersabda, ''akan dikatakan kepada orang kafir pada hari kiamat,
'' bagaiman pendapatmu, seandainya kamu memiliki emas sepenuh bumi, apakah kamu
akan menebus siksa dengannya?'' ia menjawab, ''benar'' dikatakan kepadanya,
''dahulu (di dunia), kamu dituntut untuk melakukan hal yang lebih ringan dari
itu(namun enggan melakukannya).''
Dalam riwayat yang lain, ''dikatakan kepadanya,
''dusta kamu, dahulu kamu dituntut melakukan hal yang lebih ringan(namun enggan
kamu lakukan). ''(shahih muslim dengan syarah an nawawi)
Ya, tuntunan di dunia lebih
ringan dari itu semua. Manusia tidak diharuskan menginfakkah seluruh harta yang
dimilikinya. Mereka juga tidak dituntut berderma emas sepenuh bumi meskipun
punya. Yang wajib hanyalah zakat fitri berupa 1 sha' makanan pokok, pun setiap
setahun sekali. Juga zakat mal yang rata rata hanya 2,5 persen atau lebih
sesuai dengan jenis hartanya. Itupun juga dilakukan atas harta yang sudah
mencapai nishab dan sampai haulnya. Selebihnya adalah sedekah tathawu' dan
keutamaan. Andai saja manusia tahu dan peduli, tentu halitu amatlah ringan
dilakukan. Jauh lebih ringan dari apa yang diangankan manusia di akhirat, yakni
menginfakkan sepenuh bumi emas.
Mumpung Masih Di Dunia
Kita tidak ingin kegagalan itu
menimpa kita. Nas'alullah'afiyah, kita juga tak ingin penyesalan yang terlambat
itu bakal kita alami nantinya. Dan kita masih punya kesempatan untuk itu.
Abu ishaq, ibrahim bin yazid
bercerita, ''suatau kali riyah al qaisy mendatangiku dan berkata, ''wahai, abu
ishaq, mari ikut aku menemui penghuni akhirat, dan marilah kita membuat
komitmen bersama di sisi mereka.'' Lalu kamipun pergi kesebuah pemakaman untuk
dzikrul maut. Kami duduk di sisi sebuah kuburan, lalu riyah berkata, ''wahai
abu ishaq, kira kira apa yang ingin diangan angankan oleh mayit ini jika ia
diminta untuk berangan angan?'' ibrahim menjawab, ''demi allah, pastilah ia
ingin dikembalikan ke dunia, agar bisa mentaati allah dan memperbaiki amalnya.
''lalu riyah berkata, ''nah mumpung kita masih di dunia, selayaknya kita
mentaati allah dan memperbaiki amal kita.''
Benar, kita sedang menempati
ruang yang diangankan oleh orang yang mati. Semestinya, kita beramal sesuai
dengan apa yang menjadi angan angan mereka, sebelum nantinya kita benar benar
akan menyesal dan hanya bisa berangan angan. Wallahul muwafiq ila aqwamith
thariiq.
SHIDIQ DALAM TEKAD MENJAGA
ASA AGAR KUAT DI DALAM DADA
Jujur dengan segala varianya, mendatangkan segala
kebaikan bagi pelakunya, sebagaimana yang ditunjukan dalam hadita nabi saw,
إن الصدق يهدي إلى البر
''Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan''(Hr. Muslim)
adanya ''alif lam'', dalam kata ''as shidq'' maupun 'al
bir bias berfungsi lil istiqhraaq, yanki mencakup segala benruk kejujuran dan
segala bentuk kebajikan.
Kebaikan dalam berhubungan dengan allah, maupun kebaikan yang terkait
dengan hubungan sesame manusia. Mencakup keberuntungan di dunia, maupun di
akhirat.
Kesempurnaan maslahat dan kebajikan, berbanding lurus dengan kadar
kejujuran, begitu sebaliknya, berkurangnya nilai satu jenis kejujuran, menjadi
sebab berkurang pula nilai kebaikan yang terkait dengannya.
Shidqul Azmi, Tulus Dalam Bertekad
Syaikh abu baker jabir al jaza'iri, menyebutkan satu
bentuk shidiq adalah shidqu fil azmi, shidiq dalam tekad. Selayaknya seorang
muslim memiliki pendirian yang teguh. Tidak plin-plan, goyah atau berubah ubah
dalam menentukan target dan tujuan, begitupun dalam beraktivitas untuk mencapai
target yang dituju. Kecuali jika memang berpindahnya haluan itu merupakan
tuntunan yang secara syar'I lebih rajih, juga pertimbangan akal lebih rasikh.
Jika tidak, ia akan tetap dengan pendiriannya, istiqamah dalam menjalani proses
menuju cita citanya. Hal ini, akan memudahkan seorang muslim meraih banyak
maslahat dalam hal urusan duniawi, maupun ukhrawi.
Dalam hal ukhrawi, allah memuji orang yang shidiq dalam pendirian,
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا
عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ
يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
''Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
merubah (janjinya),(qs. Al ahzab:23)
Allah juga mencela, orang
orang yang lemah dalam tekad, plin plan dan tidak setia dengan cita cita
baiknya. Allah berfirman,
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ
آَتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ ()
فَلَمَّا آَتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ
''Dan di antara mereka ada orang yang telah
berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian
karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami
termasuk orang-orang yang saleh, Maka setelah Allah memberikan kepada mereka
sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling,
dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).(qs. At
taubah:75-76)
Tekad Lemah, Tujuan Sulit Dijamah
Dengan tekad yang tulus, maslahat bisa didapat, tujuan
baik bisa terwujud dan kebiasaan buruk bisa dihentikan. Jika yang kita dapat
justru sebaliknya, maka ketulusan azam kita pantas dipertayakan. Meski ada
kemungkinan factor lain, tapi factor ini sangat dominan. Beberapa sering kita
beralih haluan sebelum mencapai target yang hendak kita capai. Bukan karena melihat
ada target lain yang lbih strategis, tapi karena lemahnya azam dan kemauan.
Coba kita ingat, berapa kali kita pernah bertekad untuk
menghafal sekian juz dari al qur'an, berapa kali pula kita berhenti ditengah
jalan. Berapa cara pula metode bejar bahasa arab yang pernah anda coba, namun
adakah satu metode saja yang dipelajari hingga khatam dan tuntas? Andai saja
azam kita shidiq, tekad kita tulus, insya allah akan ada jalan keluar, sperti
kata pepatah
إذا صدق العزم و ضح السبيل
'' Jika tekad itu tulus, niscaya jalan keluar akan mulus.''
Kita juga sering mendengar, orang yang memilki kebiasaan
buruk, sangat sulit untuk meniggalkannya. Ingin berhenti merokok, mulut tersa
kecut, ingin berjamaah shalat subuh, serangan rasa kantuk membuatnya takluk,
juga kebiasan buruk lain yang sulit ditinggalkan. Factor paling dominan yang
mampu merubah kebiasan ini adalah tekad yang tulus. Ketika seseorang mantap
untuk merubahnya, tegas terhadap apa yang menjadi keputusan, lebih mudah
baginya untuk merubah kebiasaannya. Toh, banyak tips tentang bagaimana berhenti
merokok, banyak trik agar bisa bangun pagi dan tidak terlambat shalat subuh.
Tapi jika kemauan lemah, tips dan trik tidak menjadi banyak berguna.
Menjaga Asa, Agar Kokoh Di Dalam Dada
Mudah berubah ubah tujuan, gampang pindah haluan, sering
menjalani aktivitas yang putus ditengah jalan adala gejala lemahnya azam,
kurangnya shidiq dalam kemauan. Karenannya, di samping meluruskan tujuan dan
mematangkan perencanaan, menjaga kemauan agar tetap terjaga ketulusannya menjadi
penting. Hal itu bisa dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, hendakya focus pada tujuan. Tidak gampang
terpengaruh dengan hal hal yang justru akan membuyarkan cita cita. Ini bisa
ditempuh dijaga konsistenya denganbergaul bersama orang yang memiliki tujuan
yang sama, juga menjauhkan diri dari unsure unsure yang bisa merusak ketulusan
hatinya.
Kedua, tekad yang harus diiringi dengan amal yang nyata.
Tidak mungkin orang yang memiliki cita cita, namun dia diam dan tak ada
persiapan untuk melangkah mendekat ke arah tujuannya. Maka allah membantah
orang yang mengaku hendak berjihad, namun ia tidak mau bersiap siap.
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا
لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ
اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ
''Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan
persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan
mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:
"Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu."(Qs. At
taubah: 46)
Senantiasa mengingat pahala dan akibat yang baik bagi
orang yang memiliki tekad yang tulus, juga menjadi sarana kokohnya tekad
didalam dada. Sebagaimana diketahui, bahwa tekad kuat untuk meraih tujuan yang
mulia, menempatkan seseorang pada derajat yang mulia, meskipun ia belum, atau
bahkan tidak mencapai finis perjalanan. Nabi saw menggambarkan, dengan tekad
yang tulus, seseorang akan mendapat pahala syahid, meskipun ia mati di atas
kasurnya,
مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا بَلَّغَهُ اللَّهُ
مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
''Barang siapa yang memohon kepada allah untuk mati syahid
dengan tulus, maka allah akan mendudukan dia dalam tingkatan syuhada', meskipun
ia mati diatas kasurnya.''(Hr. Muslim)
Semoga allah mengkokohkan tekad kita untuk meraih
kebajikan. Amin.
BALASAN KEZHALIMAN
رَبَّنَا
اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ () وَلَا
تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا
يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
''Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah
lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah
memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak.''(Qs. Ibrahim: 42)
Makna dzalim adalah wadh'u asy 'syai fighairihi
maudhu'ihi, menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Karena itulah, zhalim
yang paling zalim adalah mempersekutukan allah ta'la,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ
مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ
لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ
''Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka:
"Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu
kembali kepada agama kami". Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka:
"Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang lalim itu,''(Qs.ibrahim:13)
Orang musrik telah berlaku tidak pantas terhadap allah.
Mereka sejajarkan allah dengan makhluk atau bahkan benda mati atau tidak bisa
mendatangkan maslahat, tidak pula mampu menolak madharat, maha suci allah dari
yang mereka sifatkan.
Seseorang yang bermaksiat juga disebut zhalim terhadap
diri sendiri. Karena tatkala ia bermaksiat, berarti ia mencelakakan dirinya.
Padahal, sudah semestinya seseorang mencitai dirinya sendiri dan membawanya
menuju keselamatan. Karena itulah, diantara bentuk taubat adalah membaca do'a,
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا
وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,
dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi".(Qs. Al araf:23)
Zhalim Terhadap Orang Lain
Seseorang juga dikatakan zhalim apabila memperlakukan
orang lain sebagaimana mestinya. Baik berupa menyakiti secara fisik maupun
psikis tanpa alas an yang dibenarkan oleh syariat. Allah memberia ancaman bagi
orang yang menzhalimi orang lain,
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ
يَقُومُ الْحِسَابُ () وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ
الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
''Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah
lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang lalim. Sesungguhnya Allah
memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak.''(Qs. Ibrahim: 42)
Tentang ayat ini imam at thabari berkata, ''ayat ini
adalah ancaman bagi orang yang zhalim sekaligus penghibur bagi orang yang
dizhalimi.''
Alangkah bijak apabila kita terlebih dahulu bercermin,
adakah bentuk kedzahliman yang kita timpakan atas saudara kita sesama muslim.
Belum tentu kita telah bebas dari ancaman itu. Bisa jadi kita telah melupakan
ribuan kezhaliman yang telah kita perbuat di masa lalu, tapi allah tidak pernah
lupa.
Bisa jadi kita telah berhutang lalu menggugurkan niat
untuk membayarnya, karena meyangka bahwa orang yang berhak telah melupakannya.
Dan memang, boleh jadi pemilik piutang telah lupa, tapi allah tidak akan
melupakannya.
Bisa jadi kita telah menipu takaran dan timbangan, baik
saat membeli atau menjual. Meskipun yang ditipu tidak menuntut di dunia, atau bahkan
tidak menyadarinya, namun allah mengetahuinya. Begitupun dengan cacian, calaan,
atau kata kata yang menyakitkan tertuju kepada saudaranya muslim. Dan masih
banyak lagi berbagai bentuk kezhaliman yang mungkin pernah kita lakukan, atau
bisa jadi hingga sekarang sebagian kezhaliman itu masih berlangsung.
Balasan yang tidak disegerakan di dunia, bukan berarti
allah tidak menghitungnya, tidak pula berarti hapus begitu saja. Imam ahmad bin
hambal juga mengigatkan, ''ketahuilah bahwa kebaikan tidak akan sia sia, dan
dosa tiada dilupakan begitu saja.''
Bisa jadi seseorang telah merasa aman dari akibatnya,
namun tiba tiba balasan dating seketika, sehingga mata terbelakak karenanya,
pikiran linglung dibuatnya, dan hatipun hampa karena tak ada persiapan untuk menghadapinya.
Di dalam shahihain, di sebutkan bahwa rasulallah saw bersabda,
إن الله يملي للظالم . فإذا أخذه لم يفلته
''sesungguhnya allah menangguhkan balasan bagi orang yang
zhalim, hingga ketika ia membalasnya, allah tidak akan melepaskannya.''
lalu beliau membaca firman allah,
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ
ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
'' Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk
negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih
lagi keras.''(Qs. Hud:102)
Taubat Dari Kezhaliman
Sungguh, menghadap allah dalam kondisi dizhalimi lalu
bersabar sehingga mendapatkan pahala, itu lebih baik dari pada datang dalam
keadaan berlaku zhalim. Yang karenanya, kebaikan kita bisa jadi akan ludes
untuk melunasi kezhaliman yang kita lakukan, na'uzhu billah.
Diriwayatkan oleh abu hurairah, bahwa rasulallah saw, bersabda,
''tahukah kalian, siapahakah orang yang bagkrut itu?''para sahabat
menjawab, ''orang yang bangkrut menurut kami adalah orang tidak memiliki
dirham, tidak memiliki harta.''lalu nabi saw, bersabda, ''orang yang bangkrut
diantara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala
shalat, shaum dan zakat. Akan tetapi ia juga pernah mencela pulan, menuduh si fulan,
memakan harta fualn, menumpahkan darah fulan dan memukul sifulan. Maka kebaikan
yang ini untuk fulan yang ini, kebaiakan yang lain untuk fulan yang lain,
hingga ketika kebaikannya telah ludes sementara kezhaliman belum terlunasi,
maka keburukan orang yang dizhalimi akan diambil, lalu ditimpakan kepadanya dan
iapun dimasukan ke neraka.''(Hr. Muslim)
Inilah sebenar benar orang yang bangkrut. Seluruh modal
kebaikannya habis untuk melunasi hutang kezhalimannya, bukan keburukan orang
lain ditimpakan kepadanya hingga menyebabkan ia masuk neraka. Sempurnalah
kerugian dan penderitaannya, nas'alullah 'afiyah.
Tak ada jalan lain, selain bertaubat dari segala bentuk
kezhaliman, mengkuinya dan berhenti melakukanya, menyesal bertekad untuk tidak
mengulangi, dan segera menyelesaikan urusan yang berhubungan dengan manusia.
Melunasi hutang, atau beniat untuk melunasinya jika belum mampu. Mengembalikan
hak hak orang lain yang telah diambilnya selagi mampu dan mungkin, juga
memperbaiki nama baik orang yang telah dicemarkannya tanpa alas an yang
benar.
Adapun taubat dari ghibah atau menggunjing, adalah kita
sebut kebaikan orang yang pernah kita sebut keburukannya dihadapan orang yang
sama. Jika tidak mampu, hendaknya ia berusaha semampunya. Pendapat yang rajih
menurut syaikhul islam ibnu taimiyah adalah, tidak ada tuntutan untuk minta
maaf kepada orang yang telah digunjing, kecuali jika berita itu sampai
kepadanya. Beliau mengatakan, ''la tu'dzi akhaaka marratain'', jangan kamu
sakiti saudaramu dua kali.'' Meminta maaf berarti memberitahukan bahwa anda
telah mengunjingnya. Dan ini berarti telah menyakitinya untuk kali kedua.
Pertama menggunjingnya, kedua pemberitahuan itu sangat mungkin menyakiti
hatinya. Terkecuali jika informasi itu sudah sampai kepadanya, maka tidak mengapa
kita mengakuinya, lalu meminta maaf kepadanya. Wallahhu a'lam.
0 comments:
Post a Comment