Membedah Kandungan Al-Kautsar (1)
Penulis: Mustofa
Sesungguhnya Kami telah memberimu al-Kautsar. Maka sholatlah untuk Tuhanmu
dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang terputus (QS.
108 :1-3).
Mukaddimah
Salah satu surah yang sering
disampaikan khatib dalam momen i’edul adlha adalah surah al-Kautsar, tepatnya
pada ayat ketiga. Kali ini penulis mencoba untuk mengupas kedalaman
kandungannya. Semoga kita mendapatkan ibroh dari penjelasannya, amien.
Surah
al-Kautsar -- dalam mushaf-- ditempatkan pada urutan ke-108 setelah surah
al-Ma’un. Surah ini merupakan surah terpendek dalam al-Qur’an. Terdapat
keserasian yang sangat indah antara dua surah ini. Keduanya memiliki pola
hubungan inversi. Pada surah al-Ma’un dijelaskan tentang orang munafiq, si
pendusta agama dengan tiga sifat yang menonjol; yakni kikir dan menghalangi
bantuan, melalaikan sholat dan riya’,. Sedangkan dalam surah yang dibahas ini,
dibicarakan tentang perintah untuk melaksanakan sholat yang ditunjukan oleh kata
fasholli (maka sholatlah) sebagai lawan dari melalaikan sholat dalam
surah al-Maun. Disusul dengan perintah melaksanakanya secara ikhlas karena
Allah yang difahami dari kata lirobbika (untuk tuhanmu) sebagai lawan
dari sifat riya’ dalam surah al-Maun. Kemudian anjuran untuk loyal terhadap
sesama dan suka memberikan bantuan yang ditunjukan oleh kata wanhar (dan
sembelih kurban) –sebagai lawan dari sifat kikir dan suka menghalangi bantuan
dalam surah sebelumnya.
Asbabun
Nuzul, sebuah pelajaran berharga
Terdapat
beberapa riwayat hadits yang menerangkan latar belakang turunnya ayat dalam
surah al-Kautsar. Diceritakan oleh Ibnu Abi Hakim yang bersumber dari As-Suddi
bahwa kaum Quraisy menganggap kematian anak laki-laki berarti putus
keturunannya. Ketika putra Rasulullah (menurut riwayat al-Baihaqi, putra
Rasullah dimaksud adalah Qasim) meninggal dunia, orang-orang quraisy tersebut
(antara lain Al-Walid bin Mughiroh, ‘Ashi bin Wail, Abu Jahl) berkata bahwa
Muhammad telah terputus keturunnanya. Yakni tidak ada lagi sebutan tentangnya
melalui putra-putranya setelah wafat kelak. Keadaan seperti ini mereka anggap
sebagai cacat dan cela yang selalu mereka gunjingkan dan dijadikan alat
untuk tidak simpati kepada beliau dari para pengikutnya.
Sedikitnya
jumlah kaum muslimin, mereka anggap sebagai bukti bahwa ajaran yang dibawakan
Rasul adalah sesat karena sekiranya ajarannya benar, maka pastilah orang-orang
akan berbondong-bondong mengikutinya hingga jumlah pengikutnya pasti banyak
tidak sedikit seperti waktu itu. Parahnya penderitaan kaum muslimin, mereka
saksikan sebagai kekalahannya. Memang, baik dari segi jumlah maupun kekayaan
materi, kaum muslimin kalah jauh dibandingkan orang-orang kafir Quraisy ketika
itu. Ditambah lagi dengan ejekan dan cemoohan yang dilontarkan orang-orang
kafir tersebut, semakin --secara psikologis-- membuat mereka sedih dan hilang
rasa percaya diri. Dalam suasana seperti itulah Allah SWT membangkitkan
semangat Nabi dan pengikutnya seraya menegaskan bahwa sesungguhnya yang
dianggap remeh oleh orang-orang kafir Quraisy adalah sesuatu yang agung dan
berharga mahal di sisi Allah. Dia membantah anggapan negatif kaum
kafirin dan menegaskan bahwa Rasul dan pengikutnya akan mendapatkan
kemenangan. Sesunggunya yang terputus bukanlah Muhammad, melainkan mereka
sendiri. Orang-orang kafir yang telah mencemooh itulah, orang-orang yang putus.
Untuk itu, Allah berfirman: 'Sesungguhnya Kami
telah memberimu 'al-Kautsar'. Maka sholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang yang membenci ialah yang terputus' (QS. 108:1-3)
Tinjauan
Bahasa dan Beberapa Pandangan Ahli Tafsir
Kata inna
dalam bahasa arab dipakai sebagai pernguat suatu pernyataan yang hendak
disampaikan merupakan sesuatu yang bersifat penting. Sedangkan sebagai pengguna
subyek kami (nahnu) sehingga menjadi innaa, dalam kaidah bahasa
arab berfungsi sebagai litta’dzim (untuk mengagungkan), artinya Alloh
SWT bermaksud mengagungkan |diri-Nya dengan penggunaan kata ganti ini, wallohu
a'lam. Dr. Quraish Shihab dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa
penggunaan kata kami untuk Allah dalam al-Qur’an menunjukan adanya keterlibatan
pihak luar yang selaras dengan ketentuan sunnahtullah. Ini berarti bahwasannya
Allah SWT, dalam memberikan sesuatu yang banyak 'al-Kautsar', tidak secara
langsung Allah sendiri yang menyampaikan, melainkan melalui perantara-perantara
atau asbab kauniah yang ada.
Penggunaan
kata 'A’tha selain dalam surah ini, juga bisa ditemukan dalam al-Qur’an di
surah lainnya, seperti QS 38: 39, QS. 53: 34, QS. 20: 50, QS. 92: 5, dan beberapa
surah lainnya yang memuat kata yang seakar dengannya. Secara umum kata ini
berarti 'memberi dengan sifat yang berkesinambungan'. Sedangkan kata 'ka'
menunjukan seorang lawan bicara, yakni pribadi Nabi Muhammad SAW sebagai khitab
dalam ayat tersebut.
Kautsar, kata inilah yang mendapat tanggapan paling banyak
dan beragam diantara makna kata lain dalam surah ini. Secara bahasa, kata ini
'sangat banyak dan melimpah'. Kata ini merupakan kata ungkapan hiperbolik dari
kata katsir yang berarti 'banyak' (kamus ‘Ashry’, hal 1525). Pengguna
huruf al dalam al-Kautsar dalam kaidah bahasa arab dipakai untuk
menunjukan ma’rifat atau khusus/ tertentu. Artinya, kata tersebut telah diketahui oleh
pendengarnya dan segera dapat dipahami. Huruf al dalam bahasa arab sama
fungsinya dengan kata 'the' dalam bahasa inggris.
Ulama-ulama
tafsir mengemukakan sekian banyak pendapat mengenai al-Kautsar. Al-Qurthubi
misalnya, tidak kurang dari 15 definisi yang dikemukakan, seperti mu’jizat,
syafa’at, ummat yang banyak, shalat 5 waktu. Kenabian, kitab al-Qur’an dan
lain-lain. Demikian sebagaimana ia ungkapkan beberapa pendapat adalah mereka
yang mengartikan al-Kautsar. Pendapat yang sangat terkenal adalah mereka
yang mengartikan al-Kautsar dengan 'sungai di surga'. Dalam kamus ‘Ashry,
kata ini juga salah satunya bermakna demikian (ibid ). Pendapat ini
disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam karya besarnya Tafsir Qur’an (Tafsir
Ibnu Katsir, IV/598-599). Selain itu juga didukung oleh Imam
Jalaluddin dalam Tafsir Jalalainnya. Beliau melandaskan urainya dengan beberapa
riwayat hadits, di antaranya : 'Suatu ketika
Rasulullah istirahat (berbaring) dan kemudian bangun seraya tersenyum kepada
para shahabat di sekelilingnya. Maka para shahabat pun bertanya : ‘Mengapa
engkau tertawa (tersenyum riang) Yaa Rasulullah ? Rasul menjawab : ‘
sesungguhnya baru saja diturunkan kepadaku sebuah surah. Kemudian beliau
membacakan ‘Bismillahirrahmanirrahiim Inna a’tahainaa kal kautsar… (sampai
selesai) kemudian beliau bertanya : ‘Tahukah kalian apakah al-Kautsar?' mereka
menjawab : ‘Allah dan RasulNya yang tahu.’ Rasulullah lalu menjelaskn : ‘Ia
adalah sungai yang Allah anugerahkan kepadaku di surga, disana terdapat
kebaikan yang banyak….’’’ (HR.Ahmad dan Muhammad bin Fadlil dari
Mukhtar bin Falfal dari shahabat Anas bin Malik.
Pendapat
kedua menyatakan bahwa al-Kautsar adalah an-Nubuwwah yaitu kenabian
kepada Nabi Muhammad SAW. Ini dikemuka-kan oleh Ikrimah sebagaimana Muhammad
Abduh lebih cenderung mengikuti pendapat kedua ini. Pendapat berikutnya,
seperti Abu Bakr bin Ayyasy menyatakan al-Kautsar adalah pribadi-pribadi
para shahabat serta pengikut Nabi hingga kiamat. Sedangkan menurut Ibnu Kisan,
ia (al-Kautsar) adalah sifat Nabi yang selalu mendahulukan kepentingan
orang lain atau (itsar).
bersambung ...
0 comments:
Post a Comment