Ketika jilbab
hanya sekedar mode
Salah satu kelemahan umat
islam adalah karena pelaksanaan ibadah
yang sekedar menjadi rutinitas simbolik. Ibadah dipandang hanya sebagai
kewajiban dan bukannya kebutuhan sehingga bila tidak dilaksanakannya si
pelanggar akan mendapatkan punishment berupa dosa. Esensi ibadah juga tidak
dapat ditangkap apalagi dapat di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya ibadah hanya menjadi ritus yang selesai begitu sudah dilaksanakan,
begitulah kira-kira kritik yang
dihembuskan oleh Abdul Munir Mulkan.
Sholat tidak ditangkap sebagai
kontrol terhadap kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh panca indera serta
seluruh anggota tubuh. Akibatnya fenomena STMJ ( Sholat terus maksiat jalan )
merupakan kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pejabat yang taat
melaksanakan sholat tetapi tidak sedikit diantara mereka yang tidak sungkan
melakukan korupsi. Setiap hari jumat masjid selalu penuk oleh sesaknya umat
islam. Tetapi berbagai tindakan kejahatan juga tidak pernah surut bahkan
cenderung meningkat. Yang lebih ironi adalah karena pelakunya juga sebagian
besar adalah yang mengaku beragama Islam.
Pun begitu juga dengan
perintah pelaksanaan jilbab. Kewajiban ini sejatinya bertujuan sebagai hijab
guna menutupi dan melindungi aurat kaum muslimat Akan tetapi pada akhirnya
berubah menjadi mode semata. Secara kuantitas
kaum muslimat yang mengenakan jilbab semakin meningkat. Hal ini bisa
dibuktikan dengan semakin banyaknya para pelajar dan mahasiswi di kampus-kampus
yang memamakai Jilbab. Tetapi yang patut disayangkan gerakan jilbabisasi
tersebut kehilangan esensinya. Banyak para pemudi islam yang menutupi kepala
dan telinganya dengan kerudung tetapi sangat suka memakai baju-baju ketat
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya secara kasat mata menjadi kelihatan.
Secara akal, sebenarnya yang
merangsang lawan jenis tentunya bukanlah kepala, rambut maupun telinganya yang
ditutupi, akan tetapi justru penampakan tonjolan dan lekukan tubuh. Jilbabisasi
yang salah kaprah tersebut tentunya tidak bisa menjawab segala problem sossial.
Budaya free seks, kehamilan diluar nikah, pemerkosaan, pelecahan social yang
korbannya tidak sedikit memakai jilbab yang salah kaprah adalah bukti kongkret
dari kealpaan kita dalam menangkap esensi dari suatau ibadah.
Bukan hanya itu, jilbabisasi
tidak lebih dari sebagai komoditas industri yang hanya menguntung para pemilik
kapital, juragan mode dan orang-orang berduit yang telah melahirkan mode-mode
jilbab. Suburnya toko maupun butik yang meyediakan pakaian muslimat bukanlah
suatu hal yang patut dibanggagakan. Berkembangnya sektor tersebut hanya
menempatkan umat islam (pemudi Islam umumnya) sebagai obyek penghasil profit
bagi para pebisnis kakap yang berkecimpung didalamnya.
Untuk itulah sudah saatnya
kita menyadari kealpaan kita. Pemurnian kembali jilbabisasi merupak hal yang
amat penting bukan saja semata-mata untuk melaksanakan tuntutan agama, tetapi
lebih jauh dari itu supaya dapat mengatasi berbagai persolan sosial. Jilbab
hendaknya jangan sekedar dipandang mode dan style apalagi hanya karena tuntutan
sekolah, keluarga, lingkungan maupun agama. Akan tetapi pandanglah sebagai
kebutuhan yang dapat memberikan perlindungan terhadap si pemakai itu sendiri.
Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya, memakai jilbab juga tidak hanya
selesai menutup kepala, melindungi tonjolan dan lekukan agar tidak kelihatan
oleh orang yang bukan muhrim juga merupakan elemen penting yang tidak boleh
ditinggalkan. Syukur-syukur pemakaian jilbab juga dibarengi dengan menutupi (Menjaga)
perilaku dan sikap kita yang tidak patut
dilakukan selayaknya seorang muslimah. Bukankah Demikan !
Penulis: Fayumi Umamah-Penulis adalah
Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Malang [gulbarian_ahmad@yahoo.com ]
0 comments:
Post a Comment