Kedudukan
Niat Dan Pengaruhnya Dalam Amal Ibadat
Oleh: Muhammad Abdul Aziz
AlKhuly
"Dari Umar bin Khathab r.a. ia berkata:
"Saya mendengar Rasulallah SAW bersabda: "Sesungguhnya semua amal
perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang itu akan memperoleh
apa yang diniatkan, barang siapa yang hijrahnya untuk memperoleh duniawi atau
mencari wanita yang akan dikawinnya, maka hijrahnya akan menghasilkan sesuai
dengan niatnya."
HR. Bukhari dan Muslim
Dalam riwayat lain ada tambahan:
"Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan
Rasulnya, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan syafa'at dari
Rasul-Nya."
Keterangan:
Islam cukup besar menaruh perhatian terhadap niat atau perasaan yang
menyertai amal perbuatan manusia.
Karena nilai amal ibadat manusia,
hakikatnya kembali kepada si pemiliknya, dan tergantung kepada niatnya.
Bershadaqah atau mengeluarkan derma, atau memberikan sesuatu kepada
orang lain merupakan perbuatan dan amal yang baik, tetapi kadang-kadang ada
seseorang yang bershadaqah agar dikatakan dia orang baik, atau untuk
mendapatkan kedudukan di sisi pejabat, di sisi orang pembesar, atau agar bisa
mendapatkan pelayanan dari orang yang diberi shadaqah.
Dua orang tersebut di atas mengerjakan suatu macam perbuatan, yaitu
bershadaqah, tetapi nilainya berbeda, sesuai dengan perbedaan niat yang
mendorongnya.
Orang yang pertama, nilai shadaqahnya rendah karena menginginkan
kemanfaatan duniawi yang pribadi. Jika tidak karena keinginan itu, tentu dia
tidak bershadaqah. Maka pendorong yang hakiki, yang ikhlas belum bersemayam di
dadanya.
Orang yang kedua nilai shadaqahnya tinggi, karena shadaqahnya karena
ikhlas, karena didorong memenuhi hati sanubarinya, yaitu dia memang senang
berbuat baik kepada sesama manusia, menjaga kemuliaan mereka dan karena taat
kepada Allah serta mencari keridhaan-Nya. Orang semacam ini dapat diharapkan
kebaikan yang banyak dan dapat diharapkan pula daripadanya kebaikan-kebaikan
yang terus menerus. Dia sumber tetap bagi mereka berhajat. Inilah orang yang
digambarkan oleh firman Allah dalam Al Quran:
"Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka,
seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan
lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak
menyirami, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang
kamu perbuat."
QS. Al Baqarah(2):265
Adapun orang yang pertama, yakni yang shadaqahnya karena keinginan duniawi
maka digambarkan dalam firman Allah:
"Maka perumpamaannya seperti sebuah batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah)."
QS. Al Baqarah(2):264
Orang yang kedua, amal ibadahnya berbuah dan orang yang pertama tidak
berbuah.
Orang yang shalat ingin agar shalatnya dilihat dan dipuji orang, yakni
agar supaya orang-orang menilai bahwa dia orang baik, atau supaya mereka
menyerahkan suatu tugas yang menyangkut urusan duniawi serta dia dapat
mengambil kemanfaatan duniawi, maka shalatnya sah, tetapi pahalanya tidak sama
dengan orang melaksanakan shalat karena Allah semata-mata.
Dengan demikian kita mengetahui makna yang terkandung dalam hadits
tersebut di atas: "Bahwa semua amal perbuatan itu tergantung sesuai dengan
niatnya". Maka nilai setiap amal perbuatan itu sesuai dengan
nilai niat yang membangkitkannya. Apabila niatnya baik, maka baiklah; apabila
niatnya jelek, maka jeleklah; apabila niatnya hina, maka hinalah dan tidak akan
terbalik. Inilah art dari ikhtisar hadits tersebut.
Perkataan bahwa: "sesungguhnya amal-amal itu harus dengan niat", maksudnya bahwa seluruh amal ibadah tidak diakui
oleh syara', melainkan yang disertai dengan niat yang benar-benar untuk
beribadah, yakni karena Allah semata-mata.
Jika kita telah mengetahui, bahwa semua amal perbuatan itu sebanding dan
sesuai dengan nilai niatnya dan bagi setiap amal perbuatan itu ada balasan
bahagia di dunia dan kenikmatan di akhirat atau sebaliknya, maka Rasulallah SAW
telah menjelaskan di dalam jumlah kedua dari hadits tersebut yang berbunyi:
"Barangsiapa yang niatnya untuk memperoleh pahala dan keridhaan
Allah, maka baginya pahala dan keridhaan-Nya, dan barangsiapa yang niatnya
jahat, maka baginya kecelakaan; barangsiapa yang niatnya semata-mata untuk
kemuliaan duniawi, maka dia tidak akan mendapat pahala."
Dan bentuk yang sederhana di dalam hadits ini memberi pengertian, bahwa
sesungguhnya amal tanpa niat, maka seseorang tidak akan mendapat sesuatu atau
tidak berakibat sesuatu.
Hadits ini mengajak kita mengerjakan berbagai urusan yang luhur lagi
tinggi nilainya, menyuruh kita ikhlas di dalam perbuatan taat dan memerintahkan
kita berbakti kepada agama. Dan menjelaskan pula bahwa sesungguhnya semua amal
perbuatan itu tidak cukup dilihat dari segi lahirnya saja, bahkan yang
mendorong melakukannya itulah yang mempunyai pengaruh besar di dalam penilaian
rendah dan tingginya dan disiksa atau diberi pahala.
Tambahan redaksi:
Tentu saja hadits ini dikhususkan untuk
amal perbuatan yang dibenarkan oleh syara' (ketentuan Islam). Jadi bila sebuah
amal secara lahiriah bertentangan dengan syara' seperti mencuri, korupsi,
menipu; maka ia akan ditolak oleh Allah, terlepas dari niat nya apakah untuk
kebaikan atau bukan. Bila sebuah amal sejalan dengan syara', maka
diterima/ditolaknya amalan tersebut tergantung dengan niatnya, bila niat karena
Allah semata-mata maka insya Allah akan diterima, bila niatnya selain dari
karena Allah maka ia akan ditolak.
Jadi di dalam islam tidak dibenarkan
korupsi untuk membangun masjid, mencuri harta orang kaya untuk dibagikan kepada
orang miskin, menipu untuk dapat naik haji. Hal ini diperintah oleh Allah dalam
firman-Nya:
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak
(benar) dengan yang bathil (salah) dan janganlah kamu sembunyikan yang hak
(benar) itu, sedang kamu mengetahui."
QS. Al Baqarah(2):42
Obat adalah kebaikan, namun bila obat
tersebut dicampur dengan setetes dengan hal yang haram, maka para ulama
berpendapat bahwa hal ini termasuk melanggar firman Allah di atas. Wallaahu
A'lam.
Sumber: Muhammad Abdul Aziz Alkhuly, Akhlaq
Rasulullah SAW, CV. Wicaksana.
0 comments:
Post a Comment