Home » » Jabat Tangan, Cium Tangan

Jabat Tangan, Cium Tangan


Jabat Tangan, Cium Tangan
Oleh : Hamid Ahmad

Ini cerita tentang jabat tangan. Rupanya, sejak zaman Rasulullah s.a.w. jabat tangan telah dipakai sebagai cara memberi "selamat" atas pencapaian yang diraih oleh seseorang.
Begitulah yang dialami oleh Ka'ab ibn Malik r.a., seorang lelaki yang saleh dan jujur. Ketika kaum muslimin pergi berangkat ke Perang Tabuk, dia dilanda kegamangan nan hebat. Sampai Rasulullah s.a.w. kembali ke Madinah, dia belum juga berangkat ke Tabuk, padahal dia tidak punya uzur (alasan) apapun, misalnya sakit dan semacamnya.
Dia sudah hendak berbohong kepada Rasulullah s.a.w., seperti dilakukan orang-orang lain yang tidak pergi berperang. Tapi, pada detik-detik terakhir dia memutuskan untuk berterus terang, apapun risikonya.
Rasulullah s.a.w. memuji kejujurannya. Namun, sebagai pemimpin dan sekaligus seorang nabi yang segala sesuatunya harus diserahkan pada Allah, beliau memutuskan untuk mengucilkan Ka'ab. Beliau melarang semua orang berkata-kata dengannya. Pada hari ke-40 dari pengucilan itu, beliau malah memerintahkan supaya Ka'ab menjauhi istri, tanpa menceraikannya.
Sungguh menyiksa berada dalam situasi seperti itu. "Bumi terasa sempit," kenang Ka'ab. Bahkan ucapan salamnya pun tidak dijawab oleh orang-orang. Toh, dia menjalaninya dengan sabar. Dia menunggu keputusan Allah dengan sangat setia. Sebenarnya ada tawaran dari penguasa Ghassan untuk hidup mulia, asalkan dia mau meninggalkan Madinah dan Islam, serta bergabung dengan mereka. Namun, tawaran menggiurkan ini ditolaknya.
Keputusan Allah itu akhirnya datang juga. Berkat kesalehan dan kejujurannya, pada hari ke-50, melalui Nabi-Nya, Allah memutuskan untuk menerima taubatnya. Semua orang memberinya selamat. "Lalu aku datang ke masjid (Masjid Nabawi)," tutur Ka'ab. "Ternyata di sana ada Rasulullah s.a.w. yang dikelilingi para sahabat. Thalhah ibn Ubaidullah tiba-tiba bangkit. Setengah berlari dia berjalan ke arahku, lalu menjabat tanganku. Dia memberiku selamat," kata Ka'ab r.a. (riwayat Al-Bukhari)

Salaman
Jabat tangan dalam bahasa Arab disebut shaafaha (dari akar kata shafhah yang berarti lembaran), karena dua lembar tangan bertemu saat berjabat tangan. Orang Inggris berkata "to shake hands" (menggoyang tangan) karena mereka menggoyang-goyang tangan saat berjabatan. Kita, orang Indonesia, menyebutnya jabat tangan karena kita saling memegang (menjabat) saat bersalaman. Dan orang Jawa berkata "salaman" karena jabat tangan berfungsi untuk mengucapkan salam —seperti didefinisikan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, jabat tangan adalah "berpegang-pegangan tangan saling mengucapkan salam."
Sebenarnya, terdapat banyak cara orang mengucapkan salam kala bersua. Ada yang membungkukkan badannya dalam-dalam (orang Jepang). Ada yang mengatupkan kedua tangannya di depan dada, sambil menggoyang-goyang kepala (orang India). Ada yang melakukan sun pipi sambil berangkulan, seperti banyak terjadi di antara para wanita.
Di tanah Arab, tradisi cium pipi sambil berangkulan tidak hanya berlangsung di kalangan wanita, tapi juga kaum lelaki. Terkadang, bila yang bertemu adalah dua saudara atau dua karib yang lama tak bertemu, mereka akan mendaratkan ciuman pada pipi yang lain hingga berulang-ulang. Kita di Indonesia juga punya tradisi demikian, yaitu bila berjumpa dengan jamaah haji yang baru pulang dari tanah suci.
Konon, orang pertama yang memperkenalkan cara berangkulan saat bertemu adalah Nabi Ibrahim a.s. "Sebelum itu, kalau berjumpa pada orang lain, orang bersujud. Yang ini bersujud kepada yang ini, yang ini bersujud kepada yang ini. Maka datanglah Islam dengan jabat tangan." (riwayat Tamim Ad-Dari)
Namun yang paling universal adalah jabat tangan. Tradisi ini sangat kental di kalangan orang-orang (Islam) Indonesia, terutama yang hidup di desa-desa dan kota-kota kecil. Kalau ada selamatan atau tasyakuran, orang yang baru datang berkeliling menyalami semua orang yang datang lebih dulu. Hal yang sama akan Anda dapati bila Anda pergi ke warung kopi di Pasuruan: orang yang baru datang menyalami semua pelanggan lain yang datang lebih dulu, baik yang dia kenal maupun tidak. Dan kalau orang Arab hanya bersalaman kala bertemu, orang Indonesia berjabat tangan pula kala berpisah.

Dari Yaman
Jabat tangan sudah umum dilakukan para sahabat Rasulullah s.a.w. Imam Qatadah bertanya kepada Anas ibn Malik r.a. "Apakah jabat tangan berlaku di kalangan sahabat?"
"Ya," jawab Anas. (riwayat Al-Bukhari)
Meski sudah umum di kalangan sahabat, tampaknya jabat tangan bukan asli tradisi Arab, atau setidaknya bukan tradisi asli di Jazirah Arab bagian tengah (tepatnya Mekah-Madinah). Buktinya, ketika Rasulullah s.a.w. mengajak Al-Barra' ibn 'Azib r.a. bersalaman kala bertemu, Al-Barra' berkata, "Saya menyangka cara ini adalah tradisi orang 'ajam (non-Arab)." Beliau menjawab, "Kita lebih berhak untuk berjabat tangan," (riwayat Abu Bakar Ar-Rawyani) Konon, cara ini dibawa oleh delegasi dari Yaman yang bertamu pada Rasulullah s.a.w. (riwayat Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Islam merekomendasikan jabat tangan sebagai cara memberi salam karena cara ini lebih netral, bersih dari unsur-unsur penyembahan. Dituturkan oleh Anas ibn Malik r.a., Rasulullah s.a.w. ditanya, "Apabila seorang lelaki bertemu dengan temannya, apakah ia membungkukkan badan?"
"Tidak," jawab beliau. Lalu beliau meraih tangan orang itu dan menjabatnya. Dalam hadis lain beliau bersabda, "Tidaklah dua orang muslim bertemu, kemudian keduanya berjabat tangan, kecuali mereka mendapat ampunan dari Allah sebelum mereka berpisah," sabda Rasulullah s.a.w. seperti dituturkan oleh Al-Barra' ibn 'Azib r.a. (riwayat Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dalam versi lain, "...dan keduanya saling bertukar senyum dengan cinta dan nasihat."
Dalam versi lain lagi, "... dan keduanya memuji Allah dan beristighfar pada-Nya." Dari situ ulama sepakat, jabat tangan hukumnya sunnah, artinya berpahala.

Makruh
Tidak jarang, jabat tangan disertai cium tangan. Yakni bila yang disalami adalah tokoh agama, politik atau lainnya. Bahkan, kata orang, ada cium tangan politis. Contoh, kalau ada praktisi politik mencium tangan tokoh politik lainnya, atau mencium tangan simpul politik yang memiliki pengaruh besar, biasanya orang langsung menafsirinya sebagai cium tangan politis. Seringkali terjadi, bila tujuan politisnya sudah tercapai, atau tidak ada lagi kepentingan politis yang bisa diharapkan dari tokoh tersebut (karena pemilihan sudah usai, misalnya), cium tangan itu ikut berlalu pula. Terkadang, cium tangan dimaksudkan untuk pamer, yakni supaya diketahui oleh para pengikut tokoh dimaksud bahwa praktisi politik itu bersikap santun padanya.
Bagaimana posisi Islam mengenai tradisi cium tangan? Pada prinsipnya tidak masalah. Rasulullah s.a.w., misalnya, pernah membiarkan tangan dan dua kaki beliau dicium oleh dua orang Yahudi yang sowan pada beliau. (riwayat At-Tirmidzi dan Abu Dawud) Beliau juga membiarkan tangan dan dua kaki beliau dicium oleh anggota delegasi klan Abdul Qais. Jabir r.a. pun pernah memergoki Umar mencium tangan beliau. (riwayat Abu Dawud) Konon, Ka'ab ibn Malik r.a. mencium tangan Rasulullah s.a.w. saat tobatnya diterima oleh Allah.
Para sahabat pun biasa melakukan cium tangan di antara mereka. Zaid ibn Tsabit r.a., misalnya, diceritakan mencium tangan Ibnu Abbas, dan Abu Ubaidah r.a. mencium tangan Umar r.a., Ali ibn Abi Thalib r.a. konon mencium tangan dan kaki Al-Abbas r.a., pamannya.
Memang ada ulama yang memakruhkannya, yaitu Imam Malik ibn Anas. Namun sebenarnya, larangan Malik ini berlaku bila mencium tangan dilakukan untuk mengagungkan orang lain dan karena takabbur. Adapun jika hal itu dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah, yakni dikarenakan keberagamaan orang tersebut, karena ilmunya atau karena kemuliaannya, hal itu dibolehkan.
Lebih jelas lagi adalah kata-kata Imam An-Nawawi, "Mencium tangan seorang lelaki karena kezuhudannya, karena kesalehannya, karena ilmunya, karena kemuliaannya (misalnya orang itu lebih tua, atau lebih tinggi pangkatnya dalam hubungan keluarga seperti ibu-bapak, kakak, paman dan semacamnya), atau karena hal-hal lain yang ada kaitannya dengan agama, maka tidak makruh, bahkan disunnahkan. Namun kalau dikarenakan kekayaannya, pangkat keduniawiannya atau karena kekuatan badannya, maka makruh sekali."
Cium tangan politis, mungkin, masuk kategori terakhir ini.[]


Diterbitkan Oleh : Al Masjidiy Jurnal News Network

Al Masjidiy Murupakan kumpulan dari tulisan-tulisan yang ada dalam beberapa buletin dan artikel ilmiah, soalnya admin pernah menjadi pemred beberapa buletin di Kota Metro Lampung dan Kota Bekasi. Saat ini admin Fokus pada pengembangan media online. Admin juga menerima tulisan dari pembaca melalui email: almasjidiy@gmail.com

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Terima Kasih Telah Membaca Artikel Ini ::

0 comments:

Post a Comment

Opini Terbaru