Berbeda
pendapat dalam koridor Islam
Oleh: Ust. Mahfudz Shiddiq
Oleh: Ust. Mahfudz Shiddiq
Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari'ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)
Kemungkinan
Perbedaan
Perbedaan
dalam alam semesta adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi harmonis.
Perbedaan warna membuat kehidupan menjadi indah, kita tidak akan dapat
mengetahui putih jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau dan warna lainnya.
Kita tidak akan dapat bekerja dengan baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan
bentuknya sama, seperti telunjuk semua misalnya, atau kita akan kesulitan
mengunyah makanan jika bentuk gigi kita semuanya sama, taring semua misalnya,
dst. Demikanlah harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada
perbedaan wujud dan fungsinya.
Perbedaan pada wasa'ilulhayat (sarana hidup).
Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin (esensi agama). Firman Allah: " Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya" QS. 40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, AS Sunnah, maupun Ijma'. Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, As Sunnah maupun Ijma' adalah esensi dasar dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para Nabi sebelumnya (QS. 29: 69,5:15 -16, 2:208), kemudian perbedaan tanawwu'
(penganeka ragaman) dalam pelaksanaan syari'ah, antara wajib atau sunnah. Wajib
ain atau kifayah, dst.
Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:
Perbedaan pada wasa'ilulhayat (sarana hidup).
Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin (esensi agama). Firman Allah: " Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya" QS. 40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, AS Sunnah, maupun Ijma'. Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, As Sunnah maupun Ijma' adalah esensi dasar dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para Nabi sebelumnya (QS. 29: 69,
Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:
1. Perbedaan
pada Dzatuddin (esensi) dan Ushul (dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah
diisyaratkan Allah :
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu". QS. 11: 118-119
Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah :
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu". QS. 11: 118-119
Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah :
"Manusia itu adalah umat yang satu.
(setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab
dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan…" QS 2:213
2.
Perbedaan umat Islam pada Qaidah Kulliyah
(kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan
pada dasar prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita
fahami dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh
puluh tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj (konsep) akibat
infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat infiltrasi konsep
Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb.
Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah (benar), sunnah dan bid'ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu'tazilah, Qadariyah, Rafidhah, dsb.
Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah (benar), sunnah dan bid'ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu'tazilah, Qadariyah, Rafidhah, dsb.
3.
Perbedaan pada Furu'iyyah (cabang).
Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada
masalah-masalah dasar prinsipil dan kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini
sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu' (cabang)
syari'ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya.
Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :" …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …"QS 11: 118-119, ia katakan : "adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.
Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59)
Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :" …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …"QS 11: 118-119, ia katakan : "adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.
Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59)
Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran
aplikasi/furu'iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya semasa
hidup atau kepada Sunnahnya setelah rasul wafat. Porsi perbedaan ini dilakukan
oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu'iyyah setelah terjadi
kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : " Siapapun yang
mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang
tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam
masalah furu'iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah
fiqh saja terdapat dua alur:
a. pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid
dalam masalah fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu'iyyah adalah
"semua benar"
b. pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak tersesat.
b. pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak tersesat.
Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam
Syahid Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam
masalah-masalah furu'iyyah tidak boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan,
dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh balasannya. Sabda Nabi :
"Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua
pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala".
Menyikapi Perbedaan
Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari'ah
samawiyah (agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi Sulaiman
dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti yang
diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud
memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai
kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu
diserahkan kepada pemilik kebun.
Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang memutuskan agar
kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya (susu dan
bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing untuk dirawat, dan
masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah klop. Allah memilih
ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan mengurangi derajat Nabi
Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah diberi kelebihan hikmah dan
ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang mengambil keputusan setelah
berfikir mendalam. Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti
ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath'ulliynah (penebangan pohon kurma, QS.
59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.
Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang
terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang
berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua
sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang shalat ashar di tengah
perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat tujuan setelah lewat waktu
Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda pendapat
tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air. Kemudian sebelum habis
waktu shalat, mendapati air. Ada
yang mengulang dan ada yang tidak.
Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini
sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :"
Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka
berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah
(para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu pendapat
mereka tentulah sesuai dengan Sunnah".
Ketika Abu Ja'far Al Mansur hendak menjadikan umat
hanya berkiblat pada Al Muwattha'nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik :
" Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah
banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka
telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu
sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka
fahami "
Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab
yang harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam melakukan penelitian masalah
khilaf far'iy sebagaimana yang pernah ada pada sahabat dan para pengikutnya.
Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta
karena Allah) ta'awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap
menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme aliran.
Adab Berdiskusi Dan Berbeda Pendapat
Adab Berdiskusi Dan Berbeda Pendapat
Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara
efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam
berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat
terealisir. Adab itu ialah :
1. Tidak
mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu
kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar'iy. Ada ulama yang mengatakan :"Barang siapa
yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu
kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta"
2. Tidak
mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi'iy (faktual) atau yang mungkin terjadi
pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan
sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.
3.
Dialog tertutup lebih baik dari pada
forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih
mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk
memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan
riya' atau semangat mengalahkan lawan, benar atau salah.
4.
Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak
boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang
lain. Memandang teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan
yang harus dikalahkan. Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan
menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan
mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar :
"Betul wanita itu dan Umar salah". As Syafi'iy berkata: " Saya
tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran
akan keluar darinya"
5. Tidak
menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu
probelem ke problem lain.
6. Tidak
melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil
ilmunya.
Dengan
memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah
(cinta karena Allah) dan Ta'awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan
terealisir. (selesai).
0 comments:
Post a Comment